PWMU.CO – Usulan Desentralisasi Muhammadiyah Dahlan Iskan Dapat Respon Seru dari H Asep Purnama Bakhtiar MSi, Dr Agus Samsudin MA, dan Dr Siti Noordjannah Djohantini.
Hal ini berlangsung pada sesi diskusi dan tanya-jawab pada Pengajian Ramadan 1442 Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang digelar secara daring dengan tema Tajdid Organisasi: Muhammadiyah di Era Perubahan, Subtema Model Organisasi, Kepemimpinan, dan Manajemen Perubahan, Sabtu (17/4/21) malam.
Mereka bertiga—sama-sama menjadi nara sumber pada pertemuan yang digelar secara virtual itu—menyampaikannya untuk menjawab permohonan salah satu peserta dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Mataram, Drs Rawinggit MPd.
Baca berita terkait: Dahlan Iskan Usulkan Desentralisasi Muhammadiyah Hadapi Tiga Tantangan
Beda Struktur dan Kultur
Menurut Asep Purnama Bakhtiar, tidak bisa jika membandingkan struktur organisasi Muhammadiyah dengan dengan struktur negara—pusat, provinsi, kota, kabupaten—yang memang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah.
“Kalau menyamakan dengan struktur hirarki birokrasi pemerintahan, tentu berbeda struktur dan kulturnya. Ini tidak akan bisa sama!” ujar Lektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu.
Sebetulnya, lanjut Asep, bukannya berbangga diri tapi memang harus tahu, di Muhammadiyah—dari muktamar ke muktamar sepanjang yang dia ketahui—ada distribusi program dari pusat ke wilayah, daerah, cabang, dan ranting. Distribusi program ini bersifat menyeluruh.
“Ada yang sama jenis programnya, ada juga yang memiliki stressing atau aksentuasi pada struktur ke bawahnya melalui wilayah, daerah, dan seterusnya,” ungkap lulusan Universitas Gadjah Mada itu.
Sehingga, menurutnya, yang perlu dilakukan sebenarnya bukan perkara otonomi penuh atau semiotonomi seperti yang Dahlan Iskan sampaikan, melainkan penguatan kapasitas organisasi mulai wilayah sampai ke bawah untuk mengeksekusi program-program yang memang didistribusikan ke struktur di bawahnya itu.
Pada kesempatan diskusi tanya jawab ini, Asep lantas menyampaikan kritiknya untuk internal organisasi Muhammadiyah. “Bagaimana bisa mengurus persyarikatan Muhammadiyah kalau rapatnya sebulan sekali? Tidak akan mungkin!” ujarnya.
Maka, ia mengingatkan sifat voluntary (kesukarelaan) warga Muhammadiyah yang seharusnya sudah memikirkan persyarikatan maupun majelis dan lembaga. “Memang bukan sekadar ada nama kita dalam struktur, tetapi juga memang bekerja. Inilah yang seharusnya kita gelorakan!” tutur Asep.
Dia menyatakan, berkecimpung dan berkhidmat di Muhammadiyah itu identik dengan bekerja. Karena itulah yang kita warisi dari Kiai Dahlan: “Dadio kiai sing kemajuan lan ojo kesed-kesed angger kuwi nyambut gawe kanggo Muhammadiyah“.
Konsep nyambut gawe (bekerja) di persyarikatan bukan karena memperoleh gaji atau honor, jadi bukan lagi ujrah (upah) yang kita harapkan, tapi ajrun (pahala).
Apa yang mengikat hal itu? Yaitu konsep tijarah yang diingatkan dalam al-Quran sebagaimana populer dalam surat as-Shaff ayat 10. Yā ayyuhallażīna āmanụ hal adullukum ‘alā tijāratin tunjīkum min ‘ażābin alīm Tuminụna billāhi wa rasụlihī wa tujāhidụna fī sabīlillāhi bi
amwālikum wa anfusikum.
Belajar dari ayat ini, Asep mengingatkan untuk berjihad di jalan Allah dengan totalitas kemampuan diri kita dan harta-harta kita. “Itulah transaksi perniagaan kita dengan Allah, bahkan kita aktif menikmati persyarikatan itu kita sedang berdagang dengan Allah. Di sini, organisasi dan persyarikatan menjadi media/sarana/wasilah,” jelasnya.
Maka menurut Asep, bukan konsep otonomi yang mestinya kita kembangkan. Karena melihat dari beberapa kebijakan dan program, memang itulah yang secara institusional sudah didistribusikan ke struktur pimpinan di bawahnya.
Asep memaparkan, kalau pada negara atau struktur organisasi pemerintahan, pelimpahan program pembangunan itu lengkap dengan pengucuran dananya. Tapi kalau di persyarikatan tidak ada pengucuran dana tersebut.
“Jadi distribusi program saja, tapi pembiayaannya silakan masing-masing wilayah, daerah, cabang, dan ranting sendiri. Inilah yang membedakan dengan konsep negara atau struktur hirarki birokrasi pemerintahan,” ucapnya.
Akhirnya, yang lebih penting menurut Asep adalah penguatan kapasitas, independensi, loyalitas dan komitmen untuk keseluruhan program kegiatan yang membutuhkan biaya dan dana besar.
Optimis Bisa Terapkan Usulan
Agus Samsuddin menyatakan, organisasi Muhammadiyah telah menjalankan konsep otonomi yang Dahlan Iskan usulkan. Menurutnya, hal ini tampak dengan adanya sebuah cabang yang bisa membuat rumah sakit tipe B.
“Ini menunjukkan otonomi sudah diberikan sepenuhnya dari Pimpinan Pusat kepada pimpinan di bawahnya. Karena seperti yang Pak Asep katakan, semua diusahakan sendiri,” kata Agus.
Begitu pula di Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), lanjutnya, tidak dikasih uang tapi program mesti jalan dan uang juga harus dicari. Jadi, Ketua MCCC ini menegaskan, bermuhammadiyah itu bagian pengamalan dan pemahaman terhadap agama Islam.
Lantas ia memaparkan hasil penelitian terbarunya tentang manajer di beberapa rumah sakit Pembina Kesehatan Umum (PKU). “Ternyata teman-teman manajer di rumah sakit itu kenapa masih mau di Muhammadiyah? Karena ada kesamaan nilai-nilai dan pemahaman terhadap agama Islam yang kemudian dia jalankan,” ungkap Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.
Pemahaman nilai dan agama Islam inilah yang menurutnya harus benar-benar kita jaga, agar ruh pemahaman dan pengamalan Islam tetap konsisten dilakukan.
Dalam beberapa hal, Agus menyatakan setuju dengan apa yang Dahlan Iskan sampaikan. “Kalau memang dirasakan organisasi kita dengan pusat atau wilayah itu perlu perubahan, ya kenapa tidak?” ujarnya.
Mungkin, tambahnya, ada yang perlu di kurangi dan di tambah di tempat lain. Karena organisasi sebenarnya menjadi alat untuk mencapai tujuan yang kita inginkan, bukan merupakan tujuan akhir.
Jadi Agus optimis, di organisasi Muhammadiyah, bisa dilakukan proses perubahan yang perlu dilakukan. “Itu sah-sah saja. Di Muhammadiyah, baik di wilayah maupun cabang, diberikan kewenangan yang luas untuk melakukan apa yang diinginkan,” jelas Komisioner di Komisi Kedokteran Indonesia (KKI) itu.
Jadi, merespon usulan Pak Dahlan, menurut Agus usulan itu bisa dilakukan dan bukan merupakan hal tabu di Muhammadiyah— apakah mau menambah, mengubah, atau mengurangi organisasi.
Refleksi Kepemimpinan Silaturahim
Siti Noordjannah Djohantini menyatakan, persyarikatan memang harus berikhtiar maju dengan manajemen yang modern. Jadi menurutnya, perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pengelolaan manajemen itu tidak menjadi persoalan.
Tapi, Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah sejak tahun 2010 itu mengajak refleksi dulu mana hal-hal yang betul-betul strategis.
Apakah selama ini, sebenarnya, hal-hal yang sudah dimiliki dan diregulasi itu termaktub di dalamnya secara efektif? Apakah sudah dievaluasi dan mencapai target-target? Apakah peran masing-masing level sudah berjalan?
Inilah yang menurutnya perlu dikaji secara internal, jika perlu ada tim khusus yang mengkajinya. Sehingga, bisa diketahui jika ada kekurangannya. Misal kurang dinamis, butuh bantuan, atau perlu kolaborasi. Karena menurutnya, bisa tidak sama antar provinsi dengan potensi daerahnya yang berbeda-beda.
Selain itu, di Muhammadiyah, orang ingin beribadah. Mencari jalan kebaikan baik di pimpinan persyarikatan maupun di amal usaha. “Kita tahu persis bagaimana pimpinan-pimpinan di amal usaha itu luar biasa bergelut dengan keringat dan pikiran, yang semua itu berdasarkan keinginan menjalankan nilai-nilai persyarikatan; bagian dari ibadah,” ujarnya.
Untuk itu, menurutnya, yang perlu sama-sama kita lakukan adalah mengoptimalkan peran-peran pemikiran kita di masing-masing level. Jadi jika ada persoalan, tidak menggunakan pendekatan struktur. “Oh ini (persoalan) pusat, ini (persoalan) wilayah,” kata Noordjannah.
Di Muhammadiyah juga harus dikembangkan “Kepemimpinan Silaturahim”. Yaitu kepemimpinan dengan hati yang pendekatan-pendekatannya selama ini sudah diikuti Pimpinan Pusat Muhammadiyah. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni