“Ya, sudah biar Din saja yang di situ,” jawab Buya pada Hajri.
Cerita Hajri, yang membuat gerr-gerran peserta adalah statemen Buya yang disampaikan oleh Hajri. “Sudah biar Din saja. Dia itu perlu tampil biar jadi tokoh besar Din itu,” kata Buya.
“Kenapa, Buya?” tanya Hajri mencari alasan Buya. “Karena dia itu datang dari pulau kecil,” cerita Hajri tentang jawaban Buya merujuk pada asal Din Syamsuddin yang memang dari pulau kecil, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
(Baca juga: Berusia 107 Tahun tapi Masih Muda Belia, Amien Rais soal Perjalanan Muhammadiyah)
Buya Syafii memberi kesempatan Din Syamsuddin agar berpidato dalam acara itu. “Kalau dia datang, tentu yang akan pidato kan Pak Syafii Maarif karena ada Ketuanya,” tambah Hajri. Karena itu, Buya Syafii yang berada di kamar PP tidak mau datang.
Kisah kedua tokoh Muhammadiyah itu diceritakan oleh Hajriyanto ketika mengupas tradisi egalitarianisme dalam ber-Muhammadiyah. Menurutnya, salah satu tradisi besar Muhammadiyah adalah ketiadaan “darah biru” sebagai syarat menjadi orang besar di Persyarikatan.
Karena itu, siapa saja bisa dipilih oleh warga Persyarikatan sebagai pucuk pimpinan. Bahkan tak pernah memandang asal muasal daerah. Para tokoh yang diamanahi sebagai Ketua (Umum) PP Muhammadiyah bisa berasal dari siapa saja, yang penting punya kompetensi dan integritas. (kholid)