PWMU.CO– Pendekatan konflik dalam praktiknya tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa ini. Karena itu disarankan kehidupan pasca pandemi Covid-19 diusahakan membangun sikap hidup yang ramah atau pro lingkungan, pro kehidupan, dan sekaligus juga pro kesemestaan.
Hal itu disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir dalam Kajian Ramadhan 1442 H secara virtual yang diadakan PWM Jawa Timur, Sabtu (17/4/2021).
Haedar Nashir menjelaskan, dalam perkembangan kehidupan modern sekarang ini, pendekatan politik, ekonomi, mungkin juga budaya pada umumnya pendekatan yang antagonis.
Teori-teori ekonomi seperti Neo Marxisme mempertentangkan antara kaya dan miskin. Mereka yang kaya, aghniya, adalah hasil dari perjuangan hidupnya. Mereka yang miskin karena malas dan tertinggal.
”Pendekatan-pendekatan ini banyak berkembang sekali dan akibatnya mereka yang kaya punya kekuatan konglomerasi. Pendekatan konflik itu lama kelamaan menciptakan sebuah alam pikiran, bahwa mereka harus menjadi sebuah kerajaan yang terpisah dari kaum miskin, dari kaum dhuafa, dari mereka yang mayoritas hidup tertinggal. Mereka bangun kontruksi pemikiran itu,” tutur guru besar sosiologi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Begitu juga bagi kaum miskin, tertinggal, yang tidak beruntung hidupnya, menurut Haedar, sehari-hari ditanami suasana permusuhan dengan teori Neo Marxisme atau pendekatan konflik lainnya bahwa mereka yang kaya adalah musuh kita, mereka yang hidup sukses adalah musuh kita.
”Pendekatan konflik ini sebenarnya menuai banyak kritik di Barat sekalipun dengan teori-teori lain. Ada teori-teori eklektik (memilih yang terbaik dari berbagai sumber) yang coba mencari persambungan. Kecuali mereka yang sukses hidup, kaya, konglomerat tetapi dengan cara hitam. Sebagaimana juga ada yang hidup di bawah juga tidak punya panduan moral,” jelasnya.
Hegemoni
Moralitas, akhlak, dan nilai-nilai itu selalu hadir dalam setiap diri manusia dan golongannya. Problem kita, kata Haedar, kita sudah terwarisi oleh teori-teori konflik seperti itu, persis dengan teori kesetaraan gender, misalkan, pendekatan dengan laki-laki musuhnya perempuan dan perempuan musuhnya laki-laki. Maka masing-masing harus memenangkan pertempuran dan peperangan. Akibatnya siapapun yang menang yang dibangun adalah hegemoni.
”Ketika laki-laki menang yang dibangun adalah hegemoni laki-laki. Ketika perempuan menang yang dibangun hegemoni perempuan kepada laki-laki. Padahal setiap hegemoni itu adalah perbuatan zalim dalam al-Quran dan konteks ini berjalan siapa pun pelakunya,” ujarnya.
Padahal, dia melanjutkan, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan satu pasangan yang memang tidak selalu sama dan sebangun. Justru karena tidak sama dan sebangun itulah terjadi harmoni, terjadi integrasi.
Dia mengutip surat an-Nisa: 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
”Bagaimana manusia laki-laki dan perempuan berasal dari satu jasad yang Wahid. Jadi sudah saatnya menurut saya kita belajar untuk mengoreksi pandangan-pandangan keilmuan perspektif konflik itu,” tegasnya.
”Pandangan-pandangan ilmiah atau juga pandangan keagamaan yang membawa ke teori-teori konflik yang akhirnya kehidupan kita ternyata tidak menjadi lebih baik,” jelasnya.
Di saat menghadapi pandemi musibah besar, sambung dia, mestinya yang dibangun adalah bagaimana mencari titik temu dari keragaman kita melihat kehidupan.
Ta’awun
Dia menawarkan konsep ta’awun untuk hidup pasca pandemi. Menurutnya, ta’awun adalah titik ketika kita bisa bertemu, titik ketika kita harus bersama, titik ketika kita harus menyamakan dan hidup dalam kebersamaan sampai di tengah keragaman sekalipun.
Rujukan surat Al Maidah ayat 2
وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Asbabun nuzulnya ayat ini, dia menjelaskan, ketika ada sekelompok orang mau datang ke Masjidil Haram, menuju Kakbah untuk beribadah dengan cara mereka, cara paganisme. Mereka beribadah juga ingin mencari ridho dan karunia Allah.
Saat itu kaum muslimin dalam suasana Perjanjian Hudaibiyah dan merasa terluka oleh kaum kafir yang sewenang-wenang. Maka sebagian ada yang menghalangi orang pagan dari kawasan timur itu untuk sampai ke Mekkah. Ayat itu memperingatkan jangan sampai menghalangi mereka masuk Masjidil Haram padahal mereka ingin mencari ridho dan karunia Allah.
Dia menjelaskan konsep ta’awun adalah peran kemanusiaan untuk meringankan beban dari musibah dan kesulitan. Dalam Muhammadiyah konsep ini berkorelasi dengan semangat al-Maun. Bagaimana al-Maun dan spirit al-Maun menjadi gerak filantropi, kedermawanan.
Contohnya, MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center) diapresiasi oleh Gubernur Jatim yang bisa memberi pelayanan kesehatan, memberi kepeloporan tentang protokol kesehatan, memberi pemecahan terhadap dampak akibat Covid lewat gerak sosial kemasyarakatan.
”Ta’awun yang berjiwa Al-Ma’un menjadi DNA Muhammadiyah dan kita tidak berhitung lebih dari Rp 400 miliar yang sudah kita keluarkan untuk itu. Jadi kalau kita berpikir untuk kepentingan sendiri ya itu kan bisa dibangun untuk masjid yang megah,” tandasnya.
”Kita berpikir bagaimana Muhammadiyah hadir dengan ta’awun dan al-Ma’un menjadi solusi untuk negeri. Di saat jalankan solusi untuk negeri, kita melupakan berbagai pertikaian apapun atau perbedaan apapun,” ungkapnya. (*)
Penulis Syahroni Nur Wachid Editor Sugeng Purwanto