Hadits Qadha Puasa Tidak Berlaku untuk Shalat ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Hadits Qadha Puasa bagi Wanita Tidak Berlaku untuk Shalat ini berangkat dari hadits riwayat Muslim.
عَنْ مُعَاذَةَ رضي الله عنه قَالَتْ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رضي الله عنها، فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصَّلاَةَ؟ فَقالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرْورِيَّةٍ. وَلكِنِّي أَسْأَلُ. قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ. رواه مسلم
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’
Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.” (HR Muslim)
Darah Wanita
Sesuai dengan fitrah atau kodrat yang telah ditetapkan bagi wanita adalah keluarnya darah dari farji-nya dalam waktu tertentu. Dalam hal ini ada tiga jenis yaitu: darah haid, darah nifas, dan darah istihadhah.
Darah haid, yaitu darah yang berwarna merah kehitaman, yang keluar ketika telah usia baligh dan masanya antara enam sampai tuuh hari. Adakalanya kurang atau lebih dari itu yaitu seperti kebiasaan bagi wanita tersebut dan bukan disebabkan setelah melahirkan.
وَيَسۡئَلُونَكَ عَنِ ٱلۡمَحِيضِۖ قُلۡ هُوَ أَذٗى فَٱعۡتَزِلُواْ ٱلنِّسَآءَ فِي ٱلۡمَحِيضِ وَلَا تَقۡرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطۡهُرۡنَۖ فَإِذَا تَطَهَّرۡنَ فَأۡتُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haih; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (al-Baqarah 222)
Ayat di atas menurut beberapa mufassir berkaitan dengan adanya orang-orang Yahudi dan juga Majusi, di mana ketika istrinya lagi haid mereka menjauhi istrinya dan tidak mau makan bersama dan bahkan tidak mau tinggal serumah, sampai istri kembali suci. Hal ini sungguh sangat berlebihan dalam memperlakukan wanita atau istri, maka turunlah ayat di atas yang menjelaskan bahwa larangannya hanyalah bersetubuh.
Kedua, darah nifas, yaitu darah ketika setelah melahirkan.
Ketiga, darah istihadlah, yaitu darah yang keluar dari farji wanita yang waktunya di luar kebiasaan haid dan nifas serta sifatnya juga berbeda dengan darah haidl, jadi waktunya tidak tertentu.
عن عائشة رضي الله عنها: أنَّ فاطمة بنت أبي حُبيش كانت تُستحاض, فقال لها رسولُ الله ﷺ: إنَّ دمَ الحيض دمٌ أسود يُعْرَف, فإذا كان ذلك فأمسكي عن الصَّلاة, فإذا كان الآخَرُ فتوضَّئي وصلِّي. رواه أبو داود, والنَّسائي, وصحَّحه ابنُ حبَّان, والحاكم
Dari Fathimah binti Abi Hubaisy bahwasanya dia pernah mustahadlah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apabila darah haidl maka darah itu berwarna hitam, sebagaimana yang diketahui (oleh wanita). Apabila darah itu ternyata demikian, maka tinggalkanlah shalat. Apabila darah itu berwarna lain, maka berwudhulah dan shalatlah.”
Qadha Puasa, Tidak Ada Qadla Shalat
Saat wanita sedang haid atau nifas maka sebagaimana penjelasan hadits di atas, dilarang untuk berpuasa, shalat dan berhubungan badan. Jika haid dan nifas itu terjadi pada bulan suci Ramadhan, maka seorang wanita yang mendapat rukhshah atau dispensasi tersebut haruslah mengganti puasanya di lain hari. Berbeda dengan shalatnya, ia tidak diperintahkan untuk mengqadhanya ketika telah suci.
Hal ini merupakan bentuk rahmat dan kemudahan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para wanita, karena shalat merupakan ibadah yang rutin setiap hari lima waktu. Tentu akan memberatkan bagi para wanita jika harus dibebani dengan mengqadha shalat sesuai waktu yang ditinggalkannya.
Sedangkan puasa Ramadhan dalam setahun hanya sebulan, sehingga dapat digantikan di bulan atau hari yang lain, yang demikian tidak terlalu memberatkan bagi wanita yang mengalaminya.
Dalam hal darah haid dan nifas, khususnya berkenaan dengan masa habisnya bagi para wanita harus berhati-hati, karena jangan sampai berhentinya itu sudah jelas tetapi karena faktor malas sehingga menunda waktu shalatnya. Yakni seharusnya ketika suci itu sudah masuk waktu shalat maka segera bersuci untuk menunaikan shalatnya. Jangan ditunda menunggu waktu shalat berikutnya karena faktor malas bersuci. Hal demikian dapat dikategorikan meninggalkan salah satu dari waktu shalatnya itu.
Para ulama berbeda pendapat tentang wanita yang haid kemudian membaca al-Quran. Ada dua pendapat yaitu haram dan boleh. Tetapi yang lebih kuat adalah boleh, karena tidak ada riwayat yang melarangnya. Sedangkan berdzikir, membaca tasbih, membaca kitab hadits, mendengarkan bacaan al-Quran semua berpendapat boleh tanpa ada khilaf.
Demikian pula jika darah itu termasuk darah istihadlah, maka tidak ada rukhshah untuk meninggalkan shalat, sehingga kewajiban shalat tetap melekat dan harus tetap ditunaikan dengan cara disucikan, sebagaimana penjelasan dalam hadits kedua di atas. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni