PWMU.CO – Tes Swab, Merokok, dan Onani saat Berpuasa di bulan Ramadhan disampaikan Prof Dr H Syamsul Anwar MA, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Kamis (22/4/21).
Hal ini dia sampaikan dalam Kajian virtual spesial Ramadhan persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan dukungan Lazismu dan Wardah.
Memasuki hari kesepuluh berpuasa, kajian Ramadhan Sehat dan Aman mengajak untuk mengingat tuntunan ibadah di bulan Ramadhan. Harapannya, bisa lebih memahami hakikat berpuasa.
Batal Puasa VS Tidak
Prof Syamsul menjelaskan, puasa termasuk ibadah wajib bagi kaum Muslimin. Dalam pelaksanannya, ada ketentuan yang membatalkan dan tidak membatalkan puasa.
Dalam al-Quran, yang membatalkan puasa adalah makan dan minum. Selain itu, bagi suami-istri yaitu berhubungan dengan pasangannya. Dalam hadits juga disebutkan muntah dengan sengaja.
Yang diperselisihkan, ungkap Syamsul, adalah bekam. Yaitu mengambil darah kotor menggunakan alat tertentu. “Hadits Bukhari tidak membatalkan puasa, tapi menurut hadits lainnya membatalkan puasa. Hal inilah yang membuat para ulama masih berdebat,” terang dia.
Syamsul menerangkan, dari empat hal yang membatalkan puasa ini, ulama mengabstraksikan prinsip-prinsip umum untuk menentukan batal-tidaknya puasa.
Memasukkan ke Rongga Alami
Untuk makan dan minum yang jelas membatalkan puasa, maka abstraksinya: memasukkan segala sesuatu ke dalam perut manusia melalui rongga alami: mulut, kerongkongan, hidung, telinga, dan dua rongga di bawah.
Yang membatalkan puasa juga, lanjut Syamsul, yaitu istimsha (menghirup air ke dalam hidung ketika berwudhu), lalu airnya tertelan langsung masuk ke kerongkongan dan ke perut. Tapi kalau hanya istimsha yang memasukkan air ke hidung, lalu dikeluarkan, maka tidak membatalkan puasa.
“Termasuk swab —ditusuk-tusuk hidungnya—tidak membatalkan puasa, karena tidak memasukkan zat ke dalam perut,” jelas Syamsul.
Begitu pula dengan mencicip makanan untuk mengetahui rasanya. Kalau tidak masuk ke perut melalui kerongkongan—dikeluarkan kembali, tidak ditelan—tidak batal puasanya. Begitupula dengan mencium aroma masakan yang tidak membatalkan puasa.
Syamsul menerangkan, kalau nyemplung (masuk, berenang) dalam kolam, tidak membatalkan puasa. “Ada tukang kepanasan dan kehausan, lalu nyemplung kolam. Segar tapi tidak menelan air kolam itu, termasuk tidak membatalkan puasa,” jelasnya.
Merokok Batalkan Puasa?
Syamsul menegaskan, menurut ulama, merokok termasuk yang membatalkan puasa, karena memasukkan sesuatu ke dalam tubuh. “Rokok dihisap, asapnya masuk ke dalam kerongkongan dan ke paru-paru,” terang dia.
Alasan pertama, asap rokok yang masuk ke rongga tubuh itu suatu zat atau materi. Jadi memasukkan materi melalui rongga tubuh manusia melalui mulut, lalu ke kerongkongan, itu membatalkan puasa.
Yang kedua, rokok itu membukakan selera karena menimbulkan kenikmatan. Ini bertentangan dengan tujuan puasa, yaitu menahan selera demi mencapai kemaslahatan yang lebih besar.
“Puasa bertujuan menciptakan manusia bertakwa, yaitu manusia yang mampu mengendalikan diri dengan menahan kenikmatan sementara,” tegasnya.
Hubungan Suami-Istri
Syamsul menjelaskan, dari hubungan suami-istri diabstraksikan prinsip mengeluarkan air dengan menimbulkan rasa nikmat secara sengaja.
Jadi yang juga termasuk membatalkan puasa adalah melakukan onani bagi laki-laki atau masturbasi bagi perempuan, yang diabstraksikan dari prinsip dilarang berhubungan suami-istri saat berpuasa.
“Tapi jika laki-laki di siang hari bermimpi, secara tidak sengaja, itu tidak membatalkan puasa,” tuturnya.
Ibadah di Masa Pandemi
Syamsul mengimbau untuk tidak beramai-ramai di masjid, terutama jika di lingkungannya ada orang yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Seperti yang telah disampaikan berdasarkan fatwa Majelis Tarjih, boleh shalat berjamaah di masjid dengan ketentuan jumlah jamaahnya hanya sebesar 30 persen dari normal. Tentunya juga tetap menggunakan protkes.
Ia juga menyarankan untuk membawa peralatan shalat sendiri ketika ke masjid. “Kalau tidak bawa sajadah, saat sujud jangan-jangan kita tertempel virus atau menularkan virus,” jelasnya.
Selain itu, yang perlu tetap diperhatikan adalah shalat berjarak.
Dia juga mengatakan, fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid membolehkan nakes untuk tidak berpuasa, apabila dikhawatirkan kalau tetap berpuasa maka kondisi kesehatannya kurang prima, sehingga tidak kuat menghadapi virus berbahaya. Nantinya, mereka mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
Bagi tenaga kesehatan yang memakai alat pelindung diri (APD), juga boleh menjama’ shalatnya. Hal ini, menurutnya, menunjukkan kemudahan dalam agama Islam.
Akhirnya, Syamsul mengutip ayat al-Quran, “Jangan menjatuhkan dirimu ke dalam marabahaya!” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni