PWMU.CO – Organic Wisdom Muhammadiyah ala Prof Dr M Habib Chirzin menjadi kunci sukses menjalani peradaban modern. Hal itu mengemuka dalam sesi diskusi dan tanya-jawab Podcast Green Ramadhan, Sabtu (24/4/21).
Kajian Ramadhan menjelang Maghrib itu membahas tema Ramadhan ramah lingkungan. Penyelenggaranya adalah kolaborasi Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berkolaborasi dengan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, dan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) PP Aisyiyah.
Pada sesi diskusi, Atik Sumiati dari Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) Jawa Timur bertanya, “Bagaimana etika menjaga lingkungan dalam mewarnai pembangunan berkelanjutan? Serta masukan aksi-aksi yang bisa dilakukan Aisyiyah dalam rangka menjaga lingkungan hidup, dimulai dari anggota keluarga.”
Matan Keyakinan dan Kepribadian Muhammadiyah
Prof Habib Chirzin menerangkan, harus memulai dengan etika yang menyangkut kesadaran dan sikap hidup, serta pandangan hidup terkait semesta.
Untuk memahami bagaimana Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhamamdiyah (MKCHM) dan Kepribadian Muhammadiyah itu menjadi kerangka, bisa belajar dari program Green Aisyiyah. “Sebenarnya, Matan Keyakinan dan Kepribadian Muhammadiyah masih butuh bimbingan terkait bagaimana pelaksanaan al-Islam dan Kemuhammadiyahan itu sudah secara organik,” ungkapnya.
Lalu Habib menerangkan, “Kemuhammadiyahan itu sebuah sistem organik yang kalau diurai dan dilaksanakan sebaik-baiknya, maka dengan serta-merta kita sudah melakukan greening (penghijauan).”
Sebab, menurutnya, etika kehidupan itu sudah tertanam dalam ajaran Islam. Sebagai contoh, dalam Kepribadian Muhammadiyah, yang pertama adalah amal dan perjuangan Muhammadiyah untuk perdamaian (peace) dan kesejahteraan (sustainability).
Organic Wisdom
Dia mengaku, sejak muda, hidupnya sudah mengacu pada MKCHM, meski saat itu (1968-1969) belum dirumuskan dengan baik. Tapi sejak waktu itu dia sudah mengadopsinya, sehingga matan keyakinan itu menjadi bagian dari kesadarannya sebagai ‘anak Muhammadiyah’.
Jadi, bagaimana Habib hidup sesuai dengan lingkungan dan kemuhammadiyahan. Inilah yang dia maksud dengan organic wisdom.
Habib lalu menceritakan awal menemukan organic wisdom-nya. Saat itu, zamannya Buya Hamka, Buya Malik Ahmad, dan Pak AR. “Pada waktu itu saya menyadari inilah cara hidup dan cara berpikir yang sebenarnya. Dan saya jadikan cara hidup saya. Itulah kelebihan Muhammadiyah,” ungkapnya.
Bahkan sebelum dia mendirikan Pusat Studi Perdamaian pada tahun 1981, dia memastikan kepada Prodjokusumo terlebih dahulu. “Apakah kepribadian Muhammadiyah nomor satu ‘amal dan perjuangannya untuk perdamaian dan kesejahteraan’,” tanyanya.
Setelah ia tahu, ia menjadikannya cara hidup dan cara berpikir itu untuk meraih kehidupan yang peaceful (penuh damai). Dia kemudian mengutip bacaan doa yang menunjukkan kedamaian hidup: ” Allahumma antas salam wa minkas salam wa ilaika ya’udus salam fahayyina rabbana bis salam“
Cara Ukur Keberhasilan
Habib Chirzin menyatakan, cita-cita Muhammadiyah ada di Anggaran Dasar. Jadi, BPH Muallimin dan Muallimat Muhammadiyah ini menyarankan, untuk mengukur keberhasilan di bidang lingkungan hidup, pendidikan, atau kesehatan, bisa dengan melihat apakah semakin dekat dengan tujuan Muhammadiyah di Anggaran Dasar itu.
“Apakah sudah sesuai dengan matan keyakinan kepribadian Muhammadiyah?” ujar Habib.
Habib mengakui, dirinya semakin sadar dan cinta Muhammadiyah karena dengan melaksanakan mukadimah anggaran dasar, matan keyakinan, dan kepribadian Muhammadiyah, ternyata upayanya semakin berhasil, terutama saat di perkotaan.
Menurut Habib, organic wisdom Muhammadiyah itu, menurutnya sangat sesuai untuk kehidupan modern. “Sangat sesuai dijadikan tuntunan saat berada di masyarakat maju,” komentarnya.
Hadapi Masalah Lingkungan
Untuk itu, dalam menghadapi lingkungan yang semakin tidak ramah, dia mengajak untuk kembali pada organic wisdom Muhammadiyah maupun Aisyiyah. “Kita bisa mulai dari rumah tangga kita, menyadari diri dimulai dari mengatur pola konsumsi dan pola komunikasi yang green,” tuturnya.
Habib menerangkan, pola komunikasi green berarti informasi yang diterima tidak mubazir. “Hidup kita mubazir informasi, bahkan banyak informasi sampah,” ucapnya.
Di ranah keluarga, Habib menyarankan untuk mencoba upaya yang paling sederhana, yaitu zero plastic. “Plastik bisa diganti dengan alat-alat yang bisa di-recycle,” saran dia.
Selain itu, untuk menjaga lingkungan hidup di tingkat keluarga, Habib menawarkan konsep resiliensi keluarga untuk menghadapi perubahan lingkungan yang tidak jelas. “Kita pasti punya ketahanan, resilience … Green Resilience,” ungkapnya.
Habib ingat saat mendatangkan pakar resiliensi, salah satunya profesor wanita dari Universitas Malaya (UM), ke Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya (Unair). Sebab, resiliensi keluarga inilah yang diperlukan di masa lockdown akibat pandemi Covid-19 ini. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni