PWMU.CO – Pandemi memperparah kerusakan lingkungan, sehingga Habib Chirzin mendorong untuk menyiapkan post normal, bukan new normal. Hal ini terungkap dalam Podcast Green Ramadhan, Sabtu (24/4/21) menjelang Maghrib.
Kajian Ramadhan virtual itu membahas tema Ramadhan ramah lingkungan. Program ini terselenggara berkat kolaborasi Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berkolaborasi dengan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, dan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) PP Aisyiyah.
Menurut Prof Dr M Habib Chirzin pandemi Covid-19 ini memperparah kerusakan lingkungan. Dengan yakin ia menyatakan situasi ini, dalam banyak hal, tidak banyak berubah ke depan.
Untuk itu, dia menyarankan agar lebih kreatif menghadapi perubahan yang semakin cepat, di samping juga harus merubah life style (pola hidup). Selain itu, dia mengimbau untuk memperhatikan cara konsumsi agar zero waste: sisa makanan tidak ada yang kita buang. Gerakan ini, menurutnya, bisa dimulai dari pesantren, sekolah, maupun rumah tangga, bahkan di bulan Ramadhan.
Saat ini, menurut Prof Habib, kita perlu mengembangkan studi menggunakan pendekatan Islami tentang pemeliharaan bumi ini secara bersama-sama. “Sebagai khilafah, wakil Allah, rahmatan lil alamin,” ucapnya.
“Kita harus merancang masa depan kita! Kalau tidak, masa depan itu akan dirancang orang lain dengan cara, filsafat, etika, dan epistemologi yang lain,” ujar Habib.
Padahal, lanjutnya, gerakan Muhammadiyah itu gerakan keilmuan. Sehingga, butuh tajdid di bidang ilmu pengetahuan dan peradaban. “Sebagaimana perjalanan Muhammadiyah-Aisyiyah sejauh ini (melewati) perjalanan peradaban yang panjang: the long collective civizational journey,” katanya.
Post Normal, Bukan New Normal
Berbicara tentang studi masa depan, Habib telah mengkajinya sejak tahun 1970-an. Dengan pendekatan baru dan menghitung berbagai kemungkinan ke depan, Habib mengharuskan untuk memperhatikan perubahan yang cepat.
“Karena future (masa depan) tidak pernah singular, future selalu bersifat plural!” tegasnya.
Kemudian, dia memberikan referensi buku yang menarik, yaitu Future of Almost Everything (masa depan hampir segalanya).
“Kita ini hidup dalam situasi post normal, bukan new normal!” Demikian kata Habib, sehingga kita perlu melakukan persiapan dan kajian-kajian.
Salah satu kajian yang menurutnya penting untuk menyiapkan masa depan adalah Islamic future studies. Yaitu bagaimana isu-isu masa depan tentang Islam.
Dia juga membahas buku sahabatnya, Osman Bakar, dengan judul “Environmental Wisdom for Planet Earth: The Islamic Heritage“. Dari buku itu, Habib memperoleh info bagaimana Islam mempunyai warisan cara memperlakukan lingkungan hidup.
Gerakan Aisyiyah dan Muhammadiyah untuk Lingkungan
Pakar dari The International Institute of Islamic Thought (IIIT) itu menyatakan, perempuan dan Aisyiyah adalah pelopor. Dia juga menyatakan, tokoh-tokoh dunia sangat menghormati Aisyiyah. Salah satunya, Wan Azizah Wan Ismail Wakil Perdana Menteri Malaysia. Dia pernah memuji Aisyiyah luar biasa sangat menyumbang dunia.
Oleh karena itu, Prof Habib berharap agar ke depan Aisyiyah bekerja sama dengan Muhammadiyah melakukan berbagai gerakan.
“Kita perlu bersama-sama lebih memberikan perhatian terhadap masalah lingkungan hidup,” ajaknya.
Karena, lanjutnya, persoalan climate change dan global warming adalah ancaman bagi bumi. Menurutnya, saat ini dan ke depan, isu yang bisa memadukan Muhammadiyah, Aisyiyah, dan ortom lainnya secara global adalah isu lingkungan hidup.
Habib juga menegaskan, Muhammadiyah beda dengan Greenpeace dan Walhi. “Kita multi-sectoral dan multi-stakeholders,” ucapnya.
Tapi, inilah yang menurutnya malah menguntungkan Muhammadiyah. Sebagai gambaran, Habib menjelaskan Muhammadiyah punya perguruan tinggi, tapi juga punya Paud.
“Kita punya basis komunitas, tidak hanya punya elite, tapi juga punya pusat perencanaan. Perguruan Tinggi sebagai pusat perencanaan, majelis sebagai pusat policy (kebijakan),” terang dia.
Mungkin, imbuhnya, majelis perlu terlibat dalam policy study (studi kebijakan). Sebagaimana dirinya pernah bergabung dalam forum untuk mengkaji lembaga dunia yang tidak relevan, sehingga perlu di reformasi.
Akhirnya, Habib memberi contoh saat dia—bersama rekan lainnya di tingkat internasional—mengkaji Food and Agriculture Organization (FAO), karena programnya justru tidak berpihak pada rakyat.
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni