PWMU.CO– Waktu puasa zaman dulu tidak berdasarkan fajar dan Magrib. Namun kondisi tidur. Orang yang tertidur sore jelang buka puasa maka dia mulai puasa pada malam hari usai berbuka. Waktu puasa seperti ini sangat berat. Hal itu diceritakan dalam hadits Sahih Bukhori.
Hadits berasal dari Al Barra’ ra, di berkata, biasanya apabila ada orang di antara para sahabat Nabi Muhammad saw yang puasa, maka apabila tiba waktu berbuka dia tidur sebelum berbuka maka dia mulai berpuasa pada malamnya dan keesokan hari hingga Magrib.
Diceritakan Qais bin Shirmah al-Anshari berpuasa. Setelah tiba waktu berbuka, dia pulang menemui istrinya dan bertanya,”Apakah kamu menyediakan makanan?”
Istrinya menjawab,”Tidak. Tapi aku akan mencarikannya untukmu.”
Hari itu Qais bekerja karena itu matanya mengantuk. Sambil menunggu istrinya menyiapkan makanan, dia tertidur. Kemudian istrinya datang. Melihat suaminya tertidur, dia langsung berkata,”Rugi kamu.”
Maka usai berbuka malam itu, Qais mulai berpuasa hingga esok hari. Waktu tengah hari dia jatuh pingsan karena kelaparan. Lalu diceritakannya kejadian itu kepada Rasulullah saw.
Tak lama kemudian turunlah ayat: uhilla lakum lailatash-shiyamir-rofatsu ilaa nisaaikum. Artinya, dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istrimu. (Al-Baqarah: 187).
Maka sangat bergembiralah umat muslim dengan turunnya ayat itu. Setelah itu turun pula ayat sambungannya: wa kuluu wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul khoithul abyadhu minal khoithil aswad. Artinya, makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dan benang hitam.
Batas Sahur Pakai Benang
Dalam Sahih Bukhori juga diceritakan bagaimana para sahabat memahami ayat wa kuluu wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul khoithul abyadhu minal khoithil aswad pada awal turunnya ayat 187 surat al-Baqarah itu. Makna kalimat itu dipahami letterlijk seperti apa yang tertulis.
Hadits dari Adi bin Hatim ra, dia berkata, ketika turun ayat makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dan benang hitam, lantas aku ikatkan seutas benang hitam kepada seutas benang putih. Dua benang itu lalu kuletakkan di bawah bantalku.
Tengah malam kulihat benang itu, tapi tidak pernah jelas bagiku (mana benang hitam dan mana benang putih). Esok pagi kutemui Rasulullah saw dan kuceritakan pengalamanku itu.
Rasulullah saw lalu menjelaskan,”Sesungguhnya maksud ayat itu adalah gelap malam dan cahaya siang.”
Hadits lainnya menjelaskan lagi. Dari Sahl bin Sa’d ra, dia berkata, ayat wa kuluu wasyrabuu hatta yatabayyana lakumul khoithul abyadhu minal khoithil aswad masih seperti itu. Belum turun kalimat lanjutan minal fajri.
Maka orang-orang yang berpuasa mengikat benang putih dan benang hitam di kakinya. Mereka makan sahur hingga jelas kelihatan kedua macam benang itu.
Kemudian Allah swt menurunkan firman: minal fajri dalam ayat itu. Barulah mereka tahu bahwa yang dimaksud dengan ayat itu adalah malam dan siang. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto