PWMU.CO – PR Besar Aisyiyah: Menggerakkan Isu Lingkungan disampaikan Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Hening Parlan, Sabtu (24/4/21).
Hening menyampaikannya dalam Podcast Green Ramadhan. Yaitu kajian virtual spesial Ramadhan yang membahas tema Ramadhan ramah lingkungan.
Kajian ini diselenggarakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah berkolaborasi dengan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, dan Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) PP Aisyiyah.
Dalam kajian ini, hadir pula pakar dari The International Institute of Islamic Thought (IIIT) Prof Dr M Habib Chirzindan Ketua LLHPB Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Dra Hj Nurni Akma. Mereka mendiskusikan tema “Kepeloporan Perempuan dalam Menyelamatkan Bumi”
Kepemimpinan Perempuan dan Isu Lingkungan
Bicara soal kepemimpinan perempuan, Hening mengawali dengan bahasan tokoh pemimpin perempuan dari berbagai negara. Dia menyatakan, banyak perempuan yang menginisiasi gerakan eco feminism di seluruh dunia.
Begitupula Hari Bumi yang kelahirannya terinspirasi dari novel dengan penulis perempuan. “Artinya, dari gerakan isu lingkungan dan perempuan di berbagai negara adalah isu yang tidak bisa dipisahkan dan harus terus-menerus digaungkan,” ujar Hening.
Persoalan lingkungan, termasuk perubahan iklim, tidak bisa ditunda lagi. “Kita harus memilih melakukan sekarang atau akan kehilangan banyak hal di generasi selanjutnya karena lingkungan sudah rusak parah,” tuturnya.
Kepemimpinan Perempuan di Aisyiyah
Dalam sejarah 104 tahun kepemimpinan Aisyiyah, Hening kurang menemukan catatan keterlibatan Aisyiyah dalam gerakan lingkungan. “Antara tahun 1950-1960 ada catatan,” ungkapnya.
Artinya, mulai pergerakannya sama dengan gerakan lingkungan di Amerika yang melahirkan Hari Bumi. Tapi kemudian, lanjutnya, ada jeda gerakan lingkungan cukup lama.
Sehingga, perlu instrospeksi bersama-sama. “Apakah di Aisyiyah tidak digerakkan atau ini tidak menjadi gerakan yang membudaya?” tanyanya. Sebab, Hening menyatakan, ada dua sifat gerakan: kultural dan struktural (terkait tata kelola). “Jika keduanya tidak dikelola dengan baik, maka tidak akan menjadi jejak sejarah,” ujar Hening.
Antara tahun 1980-1990an, Hening mengingat Aisyiyah pernah mendapat penghargaan atas gerakan menanam pohon, namun gerakan itu tidak lanjut pada tahun berikutnya. “Lagi-lagi terhenti, belum muncul lagi,” komentarnya.
Artinya, Hening mengungkap, PR terbesar Aisyiyah adalah bagaimana menggerakkan kembali atau menciptakan momentum agar bisa bergerak bersama dalam urusan lingkungan.
Padahal, menurut Hening, harusnya hal ini menjadi urusan keseharian. “Kita tidak bisa yang bekerja hanya (mengandalkan) Lembaga Limgkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB), sama sekali tidak bisa!” tegasnya.
Hening memaparkan, untuk dua tahun mendatang, lembaga ini hanya fokus pada dua program: Green Aisyiyah dan Green Resilience (Kelentingan Keluarga). Green Aisyiyah meliputi Green school, energi, sampah, dan banyak lainnya.
Sedangkan, lima tahun ke belakang, lembaga ini punya lima program terkait lingkungan, yaitu: Hijau Indonesiaku, Pengurangan Sampah Plastik, Memperhatikan Dampak Asbestos, Peningkatan Kapasitas dan Sosialisasi, dan Program Kelentingan Keluarga.
Dorong Gerakan yang Luas
Bagaimana menggerakkan secara luas, bagi Hening, menjadi PR terberat LLHPB saat ini. “Di internal LLHPB, bagaimana menggerakkan ini di wilayah dan nasional agar menjadi cita-cita bersama?” ujar Hening.
Misal, jika seorang perempuan sudah mampu melakukan satu atau dua langkah, tugas selanjutnya adalah menarik teman-teman perempuan lainnya untuk bergerak bersama. “Isu lingkungan tidak bisa dikerjakan sendiri,” katanya.
Dengan bekerja dan belajar sama, harapnya, bisa menjadi kekuatan bagi Aisyiyah dalam menjalankan gerakan di bidang lingkungan ini.
“Tantangan internal maupun eksternal tidak membuat Aisyiyah putus asa untuk terus menggaungkan isu lingkungan menjadi pekerjaan besar,” ujarnya optimis.
Selain itu, Hening berharap Aisyiyah bisa konsisten merangkul semua orang dan menggerakkan dari program menjadi budaya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni