Puncak Spiritual Lailatul Qadar oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Suatu sore bulan Ramadhan, Rasulullah saw berkata kepada para sahabat, bahwa nanti malam adalah lailatul qadar. Malam itu para sahabat banyak menjalankan ibadah sampai waktu shalat malam tiba.
Pada sepertiga malam terakhir mereka shalat Tarawih di masjid. Tiba-tiba hujan turun sangat lebat. Mereka tidak meninggalkan tempat sujudnya sehingga baju mereka basah karena atap rumbia masjid dari daun kurma bocor. Pakaian di badan berlepotan tanah yang basah.
Selesai shalat mereka pulang sebentar untuk berganti pakaian dan makan sahur, terus kembali ke masjid untuk shalat Subuh. Hari itu Rasulullah tidak menjelaskan apapun dan para sahabat juga tidak bertanya apapun.
Para ulama menafsiri peristiwa tersebut sebagai pengalaman puncak spiritual puasa. Puncak spiritual ini diraih ketika seseorang menyadari akan eksistensinya sebagai manusia yang berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Seperti para sahabat yang berlepotan tanah ketika sujud.
Dalam bahasa para wali tanah Jawa, orang akan memperoleh hikmah kebijaksanaan ketika dia menyadari sangkan paraning dumadi. Dari mana kita berasal, untuk apa kita diciptakan, dan kemana kita akan kembali. Dari Allah kita dikirim ke bumi dan kepada Allah kita akan kembali.
Dalam bahasa sufi disebut man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Barangsiapa mengenali jati dirinya maka dia telah mengenali Tuhannya.
Batal Lailatul Qadar
Dalam Sahih Bukhori bab Adab (hadis nomor 5740) Rasulullah keluar menemui para sahabat untuk mengabarkan bahwa pada malam tersebut adalah malam lailatul qadar. Ternyata di luar ada dua orang yang sedang bertengkar.
Kemudian Rasulullah saw menyampaikan, sebenarnya malam ini adalah lailatul qadar, tapi karena ada pertengkaran maka lailatul qadar diangkat kembali oleh Allah swt dan itu lebih baik bagi semua. Lalu Rasulullah menyuruh sahabatnya mencarinya di akhir malam ganjil.
Diangkatnya lailatul qadar ketika ada pertengkaran dianggap oleh Rasulullah sesuatu yang baik. Wa ‘asa antakuna khoiron lakum. Adalah hal yang sangat rugi jika turun lailatul qadar hanya diisi dengan pertengkaran. Malam yang penuh berkah tersebut mestinya diisi dengan kebaikan ibadah, taqarrub kepada Allah, menambah pundi-pundi amal, bukan diisi dengan pertengkaran. Dalam pertekaran tidak mungkin ada berkah.
Karena itulah Rasulullah menganggap baik diangkatnya lailatul qadar di tengah pertengkaran supaya bisa turun lagi ketika para sahabatnya sudah siap menerimanya.
Menilik pada peristiwa tersebut bisa juga lailatul qadar merupakan peristiwa spiritual yang bersifat pribadi. Artinya, suatu malam mungkin memang turun lailatul qadar namun apakah seseorang menerima itu atau tidak tergantung dengan penerimaannya.
Orang yang menghabiskan malam dengan dzikir dan munajat tentu berbeda dengan yang hanya tidur di malam itu. Karenanya puncak spiritual lailatul qadar harus diraih dengan ibadah, bukan hanya ditunggu.
Ketidakjelasan waktu dan tanda-tanda pasti lailatul qadar merupakan hikmah sekaligus anugerah supaya umat Islam terus berusaha meraihnya sepanjang Ramadhan meskipun malam-malam ganjil menjadi prioritas.
Ibarat nelayan pencari ikan, supaya memperoleh hasil yang maksimal dalam misteri air, ia menebar jalanya menyusuri hamparan sungai dengan durasi waktu kerja maksimal. Ada kalanya hanya memperoleh ikan kecil. Namun tak jarang menangkap ikan besar, yang dihitung adalah perolehan kumulatifnya.
Rahasia Pahala Puasa
Keberhasilan selalu mengikuti keistiqamahan, keseriusan dan keuletan kerja. Begitu pula kesuksesan puasa dalam memperoleh lailatul qadar.
Seperti pahala puasa tidak diterangkan secara pasti oleh Allah. Tidak dikabarkannya tanda yang jelas lailatul qadar ini seperti dirahasiakannya pahala puasa. Puasa adalah milik Allah dan hanya Dialah yang akan memberikan pahala.
Ada yang puasa tetapi hanya mendapatkan haus dan dahaga, namun ada pula yang keluar dari Ramadhan menjadi suci sesuci anak yang baru dilahirkan oleh ibunya. Artinya, pahala dan apa yang diperoleh mengikuti usaha yang dilakukan. Semakin baik usahanya maka sebaik pula pahalanya.
Dengan demikian, puasa adalah ajang penguatan spiritualitas. Hampir seluruh aktivitas puasa adalah proses pembentukan spiritualitas. Sekadar makan sahur pun dinilai sebagai keberkahan. Bulannya adalah bulan berkah, ibadahnya juga penuh berkah.
Puasa melatih seseorang untuk menghayati siapa dirinya, untuk apa diciptakan dan kemana akan kembali. Simbol ritual dalam hal ini adalah disunahkannya i’tikaf. Berdiam diri di masjid. Berdzikir, muhasabah, istighfar memohon ampun kepada Allah.
Puasa mengenalkan manusia akan kelemahan dan kekurangan diri, menunjukkan kekuasaan dan kemahasempurnaan Allah rabbul alamin. Inilah maqam puncak spiritual. (*)
Editor Sugeng Purwanto