Tamsil Kiai Dahlan Jaga Keluarga dari Api Neraka dituis oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh-tokoh Islam.
PWMU.CO – Di antara ajaran Islam yang paling mendasar adalah kewajiban untuk menjaga diri dan keluarga dari kemungkinan kelak masuk neraka.
Di titik ini, sangat bisa kita mengerti jika dalam keseharian KH Ahmad Dahlan selalu memberi peringatan-peringatan terutama kepada kawan-kawannya dengan perkataan “Quu-anfusakum” (jagalah dirimu). Hal yang demikian ini diterangkan oleh KRH Hadjid (2013: 180).
Kiai Dahlan kerap mengingatkan hal yang sangat mendasar itu, karena memang bersumber dari ajaran Allah. Perhatikan At-Tahrim 6 berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Tamsil Menarik
Di tengah-tengah masyarakat, sering kita jumpai pemandangan yang cukup ganjil. Banyak orang—biasanya yang terkategori sebagai tokoh—sering menasihati orang lain agar menjadi Muslim yang baik. Dia minta orang-orang untuk, misalnya, taat pada agama. Tapi, sayang, dia sendiri tak melakukan apa yang dikatakannya.
Padahal, mestinya dia tahu bahwa Allah tak suka dengan orang yang tak sama antara yang dikatakannya dengan apa yang diperbuatnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (ash-Shaff 2-3)
Sungguh, jangan pernah kita berada pada posisi lupa menjaga diri. Allah ingatkan kita lewat ayat ini: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (al-Baqarah 44).
Pertanyaannya, jika kepada dirinya sendiri seseorang tak bisa menjaga keselamatannya maka apa mungkin dia memikirkan keselamatan keluarganya? Maka, hayatilah tamsil Kiai Dahlan berikut ini. Bahwa, agar seseorang lepas dari kemungkinan mengalami hal-hal buruk bagi dirinya maka dia akan berusaha dengan berbagai cara yang bisa dia lakukan agar bisa menghindarinya.
Lebih lanjut, Kiai Dahlan meminta kita membayangkan orang yang sedang ditahan dalam sebuah perkara. Orang itu sedang dalam proses akan dituntut di muka pengadilan. Dalam posisi tersebut, di setiap ingat bahwa dia akan dituntut maka dia tidak akan bisa makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak.
Bahkan, kata Kiai Dahlan, dia akan “Berikhtiar untuk mencari advokat dan berikhtiar bagaimanapun supaya dapat selamat dari hukuman”.
Jika atas kemungkinan mendapat nasib jelek di dunia kita berusaha mati-matian untuk menghindarinya, maka sungguh tak bisa kita mengerti jika atas kemungkinan mendapat nasib buruk di akhirat kita malah mengabaikannya. Bukankah nasib jelek di dunia itu hanya sementara saja? Hal itu berbeda dengan nasib buruk di akhirat yang bisa abadi.
Jangan ambil risiko! Persiapkan akhirat kita, juga akhirat keluarga kita. Untuk itu, hiasilah aktivitas hidup kita di dunia dengan sepenuh amal shalih dan jauhilah hal-hal yang tak berhubungan dengan kebajikan. Terkait ini, Kiai Dahlan menasihati: “Kita menghadapi bahaya yang besar yang mesti kita jumpai. Pikirkanlah sungguh-sungguh dan tinggalkan yang lain-lain” (KRH Hadjid, 2013: 183).
Satu Pilihan
Tak ada pilihan lain. Jangan sekali-kali tertipu dengan godaan dunia. Gemerlap dunia, bagi yang lalai, sungguh bisa membuat terlena. Daya tarik dunia, untuk kalangan yang alpa, sungguh dapat membuat lupa akan keberadaan Allah. Padahal, atas sikap seperti ini, sangat tajam sindiran Allah di ayat ini:
“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (al-Hasyr 19).
Sikap kita bijaksana jika tak menjadikan dunia lebih besar daripada yang sekadar kita butuhkan. Sikap kita arif jika menjadikan kehidupan dunia sebagai jembatan aman menuju kehidupan akhirat.
Mari kita cermati lagi at-Tahrim 6, yang tegas memberi peringatan: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Lihat, beriman saja belum cukup. Iman mestilah dipelihara dan dipupuk. Ambil pelajaran dari ujung ayat tersebut. Bahwa, “Malaikat tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. Tirulah sikap ini, bahwa para malaikat bergerak semata-mata hanya dalam konteks menjalankan perintah Allah dengan patuh. Hanya ada satu sikap dalam menghadapi perintah Allah: Patuh dan patuh.
Kemudian, atas prinsip “patuh dan patuh” ini, kepada kaum yang beriman diminta untuk membuktikan kepatuhannya. Caranya cukup mudah: Jaga diri dan keluarga masing-masing sedemikian rupa akan bebas dari kemungkinan masuk neraka kelak di akhirat.
Patuhilah petunjuk Allah itu sebab hal ini akan punya implikasi yang luar biasa positif. Hayatilah, bahwa dari keluarga yang ingin terhindar dari neraka maka pasti di dalamnya akan selalu berada dalam semangat untuk melaksanakan semua perintah Allah. Semua dikerjakan tanpa kecuali.
Selanjutnya, kita tahu, kumpulan keluarga akan membentuk masyarakat. Lalu, berbagai masyarakat akan membentuk sebuah bangsa. Di titik ini bisa kita bayangkan, betapa indahnya suasana keseharian sebuah bangsa jika di dalamnya terdiri dari keluarga-keluarga yang kesemuanya punya sikap “patuh dan patuh” kepada Allah.
Dari keluarga-keluarga dapat dimulai penanaman iman dan pemupukan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, duhai laki-laki para kepala keluarga. Mula-mula, perbaiki diri dan jaga diri Anda supaya jangan sampai kelak masuk neraka. Setelah itu, lindungilah seluruh keluarga (istri dan anak-anak) untuk juga tak tergelincir ke neraka.
Wahai laki-laki segenap kepala keluarga. Amanat di pundak Anda sungguh besar. Sila buka an-Nisa’ 1, yang artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Percikan Air
Ada riwayat menarik di karya Hamka (2003: 7510). Bahwa setelah at-Tahrim 6 (berupa ayat yang memerintahkan agar seseorang Mukmin memelihara diri dan keluarganya dari siksa api neraka) turun, terjadilah dialog antara Umar bin Khaththab Ra dan Rasulullah Saw.
“Kami telah memelihara diri sendiri dari api neraka. Lalu bagaimanakah caranya agar kami bisa memelihara keluarga kami dari neraka,” tanya Umar bin Khaththab Ra.
“Kamu larang mereka dari segala perbuatan yang dilarang Allah dan kamu suruh mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Allah,” jawab Nabi Muhammad Saw.
Berdasarkan hal di atas, maka sangat dianjurkan agar sebagai kepala keluarga suami mengajak istri untuk shalat, puasa, dan mengerjakan perintah-perintah Allah lainnya. Bahkan, yang sunnah-pun, suami disarankan untuk juga bisa membimbing istrinya.
Buya Hamka, masih di tafsir yang sama, meminta kita memerhatikan kisah berikut ini. Bahwa, saat Nabi SAW mengerjakan shalat Tahajud membangunkan pula istrinya. Aisyah yang masih mengantuk, terus bangun dan mengambil wudhu untuk shalat.
Hamka melengkapi pula dengan mengutip hadits riwayat An-Nasa’i, sebagai berikut: “Rahmat Allah atas seorang yang bangun pada sebagian malam, lalu shalat. Lalu dibangunkannya pula keluarganya. Kalau dia tidak mau bangun, lalu dipercikkan air di mukanya. Rahmat Allah pula bagi seorang perempuan yang bangun di sebagian malam untuk shalat. Lalu, dia membangunkan suaminya. Jika tak mau bangun, dipercikannya air ke mukanya”.
Tentu, memercikkan air seperti tergambar di atas bukan dalam konteks memaksa. Tindakan itu sekadar sebagian dari wujud kasih-sayang dari sepasang suami-istri.
Bagaimana perlakuan terhadap anak-anak kita? Sama, kita ajak untuk menaati Allah atas semua perintah dan larangan-Nya. Alhamdulillah!
Visi Tepat
Perhatian Kiai Dahlan terhadap pelaksanaan at-Tahrim [66]: 6 kembali menegaskan, bahwa visi beliau memang jauh ke depan. Penjelasannya, mudah kita ikuti.
Bahwa, dengan keberadaan keluarga-keluarga yang kuat imannya akan terbentuk sebuah bangsa yang kuat pula. Adapun di antara bukti keimanan masing-masing keluarga adalah dengan berusaha agar semua anggotanya terlindungi dari kemungkinan kelak menjadi penghuni neraka. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel Tamsil Kiai Dahlan Jaga Keluarga dari Api Neraka ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 31 Tahun XXV, 30 April 2021/18 Ramadhan 1442.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.