Ancaman Kanibalisme Antara PAN dan Partai Ummat, ditulis oleh Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris Pimpinan Wlayah Muhammadiyah Jatim.
PWMU.CO – Partai Ummat telah dideklarasikan pada Kamis (29/4/21). Waktu deklarasinya dipilih tepat pada 17 Ramadhan, hari diturunkannya al-Quran (Nuzulul Quran). Harapannya ada spirit Qurani yang mendasari perjuangan aktivis Partai Ummat.
Kolega sesama partai telah mengucapkan selamat dan sukses. Tak terkecuali, sejumlah elite Partai Amanah Nasional (PAN). Partai yang kelahirannya dibidani Prof Amien Rais ini pun mengucapkan ahlan wa sahlan pada Partai Ummat.
Meski mengucapkan ahlan wa sahlan, namun sebagai kompetitor semua partai pada saatnya akan saling bersaing. Persaingan antarpartai biasanya semakin keras pada setiap pelaksanaan pemilu.
Persaingan bisa melibatkan partai Islam dan berbasis ormas keislaman dengan partai berideologi nasionalis. Persaingan juga bisa terjadi sesama partai berideologi Islam dan berbasis ormas keislaman. Demikian juga dengan persaingan yang melibatkan antarpartai berideologi nasionalis.
Persaingan antarpartai itulah yang kemudian melahirkan semangat saling mereduksi, bahkan mematikan. Setiap partai berpeluang saling memakan. Bahkan itu terkadang dilakukan dengan segala cara. Yang terpenting adalah memenangkan pertarungan.
Persaingan untuk saling memperebutkan suara terutama akan terjadi pada partai berbasis ideologi sama. Pada konteks inilah, sesama partai Islam dan partai berbasis ormas keislaman bisa saling memakan. Fenomena ini bisa disebut “kanibalisme” antarpartai Islam, antarpartai berbasis ormas keislaman, dan antarpartai berideologi nasionalis.
Rivalitas PAN dengan Partai Ummat
Pertanyaannya, bagaimana dengan peluang terjadinya rivalitas antara PAN dan Partai Ummat? Jawabnya, persaingan keduanya pasti menarik untuk dinantikan. Itu karena keduanya memiliki basis pemilih yang kurang lebih sama.
Rivalitas keduanya sangat mungkin akan mengeras. Apalagi kedua partai itu tidak dapat dilepaskan dari figur sentral Amien Rais—yang merupakan tokoh utama yang di balik pendirian PAN dan Partai Ummat.
Di samping itu, PAN dan Partai Ummat juga pasti akan saling merebut hati calon pemilih dari kelas menengah. Termasuk memperebutkan basis suara dari warga Persyarikatan Muhammadiyah.
Meski dalam khittah-nya Muhammadiyah menyatakan sebagai gerakan nonpolitik, namun publik memahami bahwa ada hubungan emosional antara PAN dan Muhammadiyah. Bahkan sebagian orang terlanjur memahami bahwa PAN merupakan partai utama Muhammadiyah.
Pandangan ini terasa tidak terlalu salah. Apalagi realitas di sejumlah daerah seringkali menunjukkan bahwa warga Muhammadiyah merupakan penyumbang suara terbesar PAN.
Semua itu tentu tidak lepas dari hubungan emosional dan historis Muhammadiyah dan PAN. Terutama pada saat periode awal pendirian PAN. Bahkan Amien Rais yang saat itu menjadi Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah langsung tampil memimpin PAN.
Ancaman Electoral Threshold
Bagaimana dengan Partai Ummat? Partai ini jelas menempatkan ketokohan Amien Rais sebagai magnet. Dalam konteks ini kemungkinan terjadinya kanibalisme antara PAN dan Partai Ummat sangat mungkin menjadi kenyataan.
Dengan demikian, kelahiran Partai Ummat jelas menjadi ancaman serius PAN. Karena itulah jangan heran jika nanti Partai Ummat lolos verifikasi hingga menjadi kontestan pemilu, maka Partai Ummat bisa mereduksi perolehan suara PAN. Jika itu terjadi, posisi PAN tentu sangat rawan. Bahkan PAN bisa jadi tidak lolos ambang batas perolehan suara (electoral threshold).
Kondisi yang sama juga bisa dialami Partai Ummat. Hal itu terjadi, sekali lagi, karena suara yang diperebutkan PAN dan Partai Ummat nyaris sama dan tidak terlalu banyak. Sebagai partai baru, apalagi tidak didukung dana yang cukup, tentu akan sangat berat bagi Partai Ummat mengarungi rivalitas antarpartai yang sangat keras.
Jika kondisinya seperti itu, maka PAN dan Partai Ummat bisa sama-sama tidak lolos electoral threshold. Dampaknya, representasi politik kelompok Islam modernis akan semakin tergerus. Kondisi ini dapat mengakibatkan posisi tawar kelompok Islam modernis tidak lagi diperhitungkan dalam kancah politik nasional. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni