Indonesia di Bawah Sepatu Kets oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Di masa Orde Baru dahulu aktivis mahasiswa yang ditahan dan diadili melakukan pembelaan atas penindasan hak mahasiswa dan mengkritisi rezim yang menekan rakyat dengan menggunakan aparat keamanan.
Pledoi Caretaker Presidium Dewan Mahasiswa ITB Sukmadji Indro Tjahjono cukup menarik karena berjudul Indonesia di Bawah Sepatu Lars. Pledoi itu kemudian dibukukannya, meskipun pernah dilarang.
Di masa sekarang, melihat penangkapan Munarman di kediamannya oleh sepasukan berseragam dan bersenjata lengkap Densus 88 Antiteror yang sama sekali tidak memberi kesempatan memakai sandal kemudian menutup matanya, jadi teringat masa represif Orde Baru dahulu.
Semestinya tak perlu dilakukan penangkapan dengan cara seperti itu. Munarman sehari-hari ada di sekitar kita. Bahkan tiap agenda pengadilan HRS selalu muncul sebagai pembela.
Jadi bukan orang yang sembunyi, menyiapkan peledakan, atau sedang membangun jaringan bawah tanah untuk melakukan teror ini dan itu. Munarman advokat yang terang benderang ada di permukaan publik. Dikenal media serta berada di ruang rutinitasnya. Tentu operasi penangkapan oleh Densus 88 dapat membangun citra bahwa memang Indonesia di bawah sepatu lars kembali.
Pergeseran Sepatu Lars
Pergeseran dari sepatu lars TNI menjadi lars Polri tidak boleh terjadi. Sebab wajah Indonesia sebagai negara hukum harus tetap dijaga. Indonesia bukan negara kekuasaan. Terlalu mahal biaya politiknya jika rezim Jokowi yang berpenampilan politik sipil tetapi mengimplementasikan peran-peran politiknya secara militeristik dan polisional. Apalagi jika dengan cara memojokkan umat Islam.
Radikalisme, intoleransi, hingga terorisme yang disematkan pada aktivis Islam akan membuat traumatic experience yang tidak perlu. Kecurigaan dan dendam politik berkepanjangan. Akibatnya kepercayaan pada pemerintahan rendah bahkan hilang.
Ketika terjadi krisis nasional yang memerlukan penanganan kolektif, pemerintah akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan dukungan publik.
Indonesia di bawah sepatu lars kini berada pada sikap berlebihan Angkatan Bersenjata Kepolisan: Brimob dan Densus 88. Sebaiknya dua kesatuan ini diintegrasikan pada TNI saja, agar lebih proporsional dalam kaitan pertahanan dan keamanan negara.
Ketika berada di bawah kepolisian, maka masyarakat bukan merasa aman atau nyaman melainkan tertekan dan justru terteror. Kasus penangkapan Munarman adalah contoh iklim yang dibangun secara tidak sehat.
Indonesia di bawah sepatu lars tidak boleh terjadi. Indonesia adalah negara merdeka yang sangat menghormati hak-hak warga negara, hak-hak sipil, dan hak-hak asasi manusia. Aparat bersenjata harus melindungi keamanan rakyat bukan menakut-nakuti.
Mengubah citra Indonesia di bawah sepatu lars adalah mengembalikan secara proporsional porsi dan fungsi TNI-Polri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan implementasi yang bersahabat dengan rakyat, sang pemilik.
Tanpa harus mengubah dengan citra palsu sok kasual atau milenial, menjadi Indonesia di bawah sepatu kets atau di bawah sepatu kelinci. (*)
Bandung, 1 Mei 2021
Editor Sugeng Purwanto