Hardiknas Terjerat Kapitalis oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Hari ini kelahiran Ki Hadjar Dewantoro diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas. Jika memimpin adalah mendidik melalui teladan, lalu belajar adalah memaknai pengalaman, maka kita justru menyaksikan sebuah periode dalam sejarah Indonesia kontemporer yang dipenuhi teladan buruk elite bangsa: kebohongan dan pengkhianatan.
Alih-alih pendidikan dijadikan strategi untuk menyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka, dengan slogan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, namun hampir seluruh pengalaman berbangsa dan bernegara sebagai sistem pendidikan gagal membangun manusia Indonesia yang merdeka.
Saatnya arah Hardiknas dikoreksi. Sebab yang terjadi selama 20 tahun terakhir ini tidak saja warga negara menjadi jongos ekonomi, tapi kini juga jongos politik.
Pengalaman adalah guru terbaik. Pengalaman hidup berbangsa dan bernegara adalah guru terbaik bagi warga negara. Jika sejarah adalah narasi pengalaman kolektif bangsa ini, sekelompok kaum sekuler kiri radikal telah mencoba menulis kembali sejarah nasional sebagai bagian dari proyek sekulerisasi dan deislamisasi besar-besaran sejak reformasi.
Peran tokoh-tokoh Islam dalam sejarah nasional dipinggirkan untuk memberi justifikasi bagi degradasi dan kriminalisasi ulama dan tokoh Islam yang terjadi selama lima tahun terakhir.
Agenda Sekulerisasi
Agenda sekulerisasi dan deislamisasi ini adalah bagian dari upaya Huntingtonian nekolimik untuk melemahkan Islam dalam rangka membuka jalan bagi penjajahan baru dan terbarukan di Abad 21 Indonesia.
Setelah UUD 45 dirusak melalui amandemen sembarangan menjadi UUD 2002, maka perjalanan sejarah bangsa ini telah dibelokkan makin jauh dari cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Instrumen terpenting dalam proxy and assymmetrical war ini adalah sistem persekolahan massal paksa. Persekolahan sejak Orde Baru tidak pernah dirancang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang merdeka.
Bahkan kemerdekaan adalah ide buruk bagi persekolahan massal paksa. Hingga hari ini, persekolahan adalah instrumen teknokratik untuk menyediakan buruh yang cukup cerdas untuk menjalankan pabrik-pabrik sekaligus terus bekerja siang malam dengan penuh disiplin mengabdi untuk kepentingan pemilik modal, terutama asing.
Keberhasilan agenda sekulerisasi dan deislamisasi melalui sistem persekolahan massal paksa ini adalah kenyataan bahwa bangsa ini makin terbelah, mudah diadu domba, sehingga makin lemah dan mudah untuk dijajah.
Menjauh dari Tuhan
Penyelenggaraan republik ini makin menjauh dari Tuhan, tidak adil dan tidak beradab, rapuh persatuannya, tidak berhikmah politiknya dan makin menganga kesenjangan sosial ekonominya.
Kaum sekuler kiri radikal mengaku Pancasilais, tapi menuduh mereka yang setia pada UUD 45 anti-Pancasila, bahkan anti-NKRI. Mereka mengaku Kristen tapi menuduh yang setia mengikuti Yesus radikal. Mereka mengaku muslim tapi menuduh pengikut setia Muhammad sebagai teroris.
Bahkan kini risetpun akan dijadikan sebagai instrumen untuk memberi pijakan yang lebih kuat bagi penjongosan nasional. Tugas pendidikan dan riset makin teknokratik untuk melayani kepentingan oligarki ekonomi dan partai politik.
Jalan untuk menjadi tuan ekonomi dan politik di negeri sendiri makin sempit dan terjal. Merefleksikan itu semua, pada hemat saya, seperti belajar tidak lagi harus di sekolah, maka berekonomi tidak harus jadi buruh pabrik, dan berpolitik tidak boleh berhenti di bilik suara pemilu yang makin memilukan.
Jatingaleh, Semarang 2/5/2021
Editor Sugeng Purwanto