Kebangkitan Guru Besar Gasak Korupsi oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.
PWMU.CO– Segera setelah Hardiknas dimulai dengan slogan Serentak Bergerak Wujudkan Merdeka Belajar, sebanyak 70 lebih guru besar dari berbagai kampus serentak bergerak mewujudkan slogan itu dengan mendesak agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan permintaan agar UU Komisi Pemberantasan Korupsi 2019 dibatalkan dan dikembalikan seperti semula sebelum direvisi.
Jika korupsi adalah buah jiwa budak, maka pendidikan adalah ikhtiar untuk meyediakan prasyarat budaya bagi bangsa yang merdeka, bebas dari perbudakan. Pantaslah jika para guru besar ini keberatan jika korupsi justru membesar sejak KPK dilumpuhkan oleh UU KPK yang berlaku saat ini.
Walaupun oleh kawan saya, James Wharram, dikatakan bahwa sebagian besar koruptor Indonesia masih amatiran, kasus korupsi tetap saja sangat mengganggu pembangunan sebagai upaya memperluas kemerdekaan.
Selama dua tahun terakhir ini demokrasi, korupsi, dan pemerasan justru memburuk. Ini berarti kemerdekaan kita makin menghilang. Ini tentu saja menggelisahkan para guru besar itu. Apapun yang mereka ajarkan bagi warga muda di kampus akan habis ditelan oleh praktik koruptif yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya sinyalemen Ben Anderson bahwa kampus Indonesia telah dirundung penyakit “profesionalisasi” di mana para guru besar hanya bicara di antara mereka sendiri, tertolak oleh sikap para guru besar tersebut.
Birokrasi Buruk
Korupsi adalah narasi yang sebenarnya masih sulit dipahami oleh awam, tapi dampaknya langsung mereka rasakan pada kehidupan sehari-hari dalam maladministrasi publik dan pelayanan publik yang buruk.
Birokrasi yang buruk adalah resep bagi praktik koruptif. Setiap investasi publik (sertifikasi guru, vaksinasi, panser Brimob dan kapal selam dll) hanya akan value for money (bermanfaat bagi publik) jika memenuhi dua syarat: birokrasinya bersih dan operatornya kompeten.
Jika salah satunya tidak dipenuhi, investasi publik itu akan hanya value for monkey. Akibatnya, investasi publik itu gagal meningkatkan pendidikan, kesehatan, keamanan dan pertahanan.
Pada saat Mahkamah Konstitusi disinyalir Efendi Gazali dirundung gejala masuk angin dan sontoloyoitis, kebangkitan guru besar itu sadar bahwa mereka ingin mendidik warga muda agar mandiri, bertanggung jawab, sehat dan produktif.
Korupsi sebagai bagian dari maladminsitrasi publik yang makin liar selama dua tahun terakhir ini adalah ancaman langsung atas misi kerja-kerja para guru besar ini.
Penguatan KPK adalah keharusan dan MK berintegritas adalah asumsi yang menggelisahkan. Mereka mulai berani mengatakan bahwa korupsi tidak bisa dibiarkan terus berlangsung menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Enough is enough. (*)
KA Darmawangsa, 3/5/2021
Editor Sugeng Purwanto