PWMU.CO – Tiga Level Puasa, Kita Ada di Mana? Salim A Fillah membahas tiga tingkat puasa dengan harapan mampu digapai di bulan Ramadhan. Hal ini dia sampaikan pada Pengajian Ramadhan 1442, Senin (3/5/21) siang.
Pengajian ini diselenggarakan Mugeb Islamic Center (MIC) Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik secara virtual.
Sebelum memaparkan ketiga tingkatan itu, Pengasuh Kajian Masjid Jogokariyan Yogyakarta itu mengungkap keteladanan Nabi Muhammad SAW dalam menyambut Ramadhan. Yaitu menyiapkan secara fisik maupun rohani.
Persiapan Dini Sambut Ramadhan
Salim mengatakan, Rasullullah SAW menyiapkan kedatangan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Seperti yang Aisyah RA kisahkan, Rasulullah mulai intens membiasakan diri berpuasa sejak Rajab, melebihi puasa-puasa di bulan lain.
Lalu, tambah Salim, intensitas puasa Rasulullah lebih meningkat lagi pada Sya’ban. Aisyah ra bersaksi, “Tidak pernah Rasulullah berpuasa selama sebulan penuh tanpa jeda, kecuali puasa fardhu di bulan Ramadhan, dan tidak kulihat puasa-puasa Beliau lebih banyak selain di bulan Ramadhan kecuali di bulan Sya’ban. Seakan-akan beliau mempuasai seluruh bulan Sya’ban, hanya beberapa hari saja yang beliau tidak berpuasa di dalam Sya’ban.”
Tapi, ada waktu yang dimakruhkan berpuasa: satu atau dua hari menjelang masuk Ramadhan. Menurut Imam an-Nawawi, hal ini untuk memisahkan puasa sunnah dan puasa fardhu. Juga, agar tetap merasakan puasa (Ramadhan) sebagai sesuatu yang istimewa. “Karena puasa kalau dilakukan terus-menerus, lama-lama keistimewaannya menjadi berkurang,” ujarnya.
Itulah mengapa, lanjutnya, puasa sunnah terbaik adalah puasa Nabi Daud AS. “Karena sehari puasa sehari tidak, sehingga bisa merasakan nikmatnya berpuasa sekaligus nikmatnya tidak berpuasa,” jelas Salim.
Salim mengungkap, Rasulullah juga mencontohkan doa yang banyak sahabat amalkan: Allahumma bariklana fi Rajaba wa Sya’bana wa ballighna Ramadhan.
Selain itu, lanjutnya, Beliau juga mengamalkan doa: Allāhumma sallimna li Ramadhāna, wa sallim Ramadhāna lana, wa tasallamhu minna mutaqabbala.
“Itu menunjukkan Rasulullah mempersiapkan Ramadhan dengan doa-doa yang menggambarkan (dia) sudah sangat rindu dan ingin bertemu dengan tamu agung: Ramadhan,” ujar Salim.
Siapkan Fisik
Salim mengatakan, dengan persiapan dini, harapannya juga bisa menyiapkan fisik. Sehingga, tidak terjadi fenomena penyesuaian fisik yang biasa muncul di awal Ramadhan.
Dia menjelaskan, karena badan belum terbiasa dengan ritme metabolisme baru—seperti jam makan dan tidur yang baru—sehingga tubuh banyak menghabiskan energi terlalu besar untuk menyesuaikan diri. Akibatnya, bisa ambruk. Misal, banyak tidur, mager, dan menggeletak.
“Aduh, sayang sekali!” komentarnya.
Padahal, lanjut Salim, di setiap detik Ramadhan yang berharga itu Rasulullah telah mencontohkan dengan serius bagaimana fokus mengabdi pada Allah SWT.
“Kalau sekarang sudah lewat, berarti materinya untuk Ramadhan tahun depan,” ujarnya sambil tertawa.
Bagaimana Ramadhan tahun depan, lanjutnya, bisa mempersiapkan dengan serius sejak Rajab.
Dia lalu mengutip hadits: ” Rajab syahrullah, wa sya’ban syahri, wa Ramadhan syahru ummat “. Artinya, Rajab itu bulannya Allah SWT, sya’ban itu bulanku.
Kenapa disebut bulanku oleh Rasul? “Karena Rasulullah cinta bulan Sya’ban sebagaimana Beliau senang hari Kamis. ‘Kalau puasa Senin hari kelahiranku, puasa Kamis hari diangkatnya amal ke hadapan Allah, maka aku suka kalau amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa’,” terang dia.
Tiga Tingkat Berpuasa
Latihan berpuasa lebih awal ini, lanjutnya, untuk melatih ruhiyah atau rohani. Kata Imam al-Ghazali, untuk meng-upgrade (meningkatkan) tingkatan puasa ke level selanjutnya.
Level pertama, shaumul awam. Yaitu puasa untuk menjaga muftirat (sesuatu yang bisa membatalkan) dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Misalnya, tidak makan dan minum.
Selain itu, seorang mukmin juga perlu menjaga muhbithat (yang mencerabut pahala puasa). Dia lalu mengutip sabda Nabi, “Allah tidak butuh lapar dan hausnya orang yang tidak bisa meninggalkan ucapan dusta.”
Level kedua, shaumul khawas. Yaitu puasa yang mempuasakan seluruh indera: mata, telinga, mulut. Termasuk tangan, kaki, dan semua bagian tubuh yang bisa menjadi jalan masuknya hawa nafsu.
“(Puasa) mata dari yang haram dan sia-sia; telinga dari ucapan-ucapan tidak baik dan menjatuhkan kehormatan orang; lisan dari dusta, ghibah (bergunjing), namimah (adu domba), mengumpat, mencela, bertengkar,” terangnya.
Kemudian, tambahnya, menjaga tangan dari perbuatan yang tidak Allah ridhai. Kaki pun tidak melangkah ke tempat-tempat yang membuka pintu dosa.
Level tiga atau puncak, shaumu khawasul khawas. “Puasanya orang VVIP, istimewa,” ungkapnya.
Yaitu puasa hati dan pikiran. Maksudnya, hatinya puasa dari selain Allah, selalu dzikir kepada Allah, puasa dari semua penyakit hati: ujub, sombong, riya’, dengki, dendam, serakah, prasangka buruk baik kepada Allah maupun manusia.
Pikirannya, tambahnya, puasa dari pemikiran negatif maupun berlebihan, seperti hal-hal yang membuat tidak nyaman. Juga puasa dari sedih, senang, dan khawatir yang berlebihan.
Dengan berlatih sejak sebelum Ramadhan, Salim mengatakan, harapannya saat Ramadhan sudah mampu berpuasa di level puncak itu. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni