PWMU.CO – Gapai kemuliaan hidup dengan al-Quran Salim A Fillah bahas pada Pengajian Ramadhan 1442, Senin (3/5/21).
Pengajian virtual melalui Zoom Clouds Meeting ini diselenggarakan Mugeb Islamic Center(MIC) Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) GKB Gresik. Temanya: Teladan Nabi SAW di Bulan Ramadhan.
Salim mengatakan, Jibril datang setiap Ramadhan untuk menguji bacaan al-Quran Rasulullah SAW. Pada tahun terakhir, sebelum beliau wafat, Jibril bahkan datang tiga kali untuk menguji bacaannya.
“Artinya, Ramadhan sebagi syahrul Quran perlu kita manfaatkan untuk berinteraksi, bermesra-mesra dengan al-Quran!” ajak Salim.
Al-Quran Sumber Kemuliaan
Salim mengutip surat al-Anbiya ayat 10 yang maknanya: “Sungguh benar-benar telah kami turunkan kepada kalian sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sumber-sumber kemuliaan bagi kalian.”
Lalu dia menjelaskan, maka Allah SWT membukakan pintu-pintu kemuliaan melalui al-Quran. Bulan Ramadhan di mana al-Quran turun menjadi bulan paling mulia. Padahal dulu, bulan paling mulia Rajab, Zulqa’dah, Zulhijjah, dan Muharram.
“Tapi sejak Allah menurunkan al-Quran, bulan Ramadhan naik status menjadi penghulu seluruh bulan,” ujarnya.
Malam di mana al-Quran turun pun, lanjutnya, jadi malam paling mulia: Lailatul Qadar. Malaikat paling mulia adalah yang menyampaikan wahyu al-Quran. Manusia paling mulia adalah yang menerima wahyu al-Quran: Rasulullah Muhammad SAW.
Begitu pula tempat-tempat di bumi yang paling mulia. Yaitu tempat turunnya al-Quran: al-Madinatul munawarah. “Jadi barangsiapa ingin meraih kemuliaan, jalannya adalah al-Quran,” tegas Salim.
Baca Al-Quran Bersihkan Hati
“Kita bisa mengisi waktu dengan tilawatil Quran,” kata Salim. Meskipun, lanjutnya, kita masih terbata-bata, tertatih-tatih, plegak-pleguk kata orang Jawa; tetap agendakan membaca al-Quran!
Salim bercerita ketika seorang anak menegur bapaknya, “Bapak ini membaca al-Quran tidak bisa, plegak-pleguk ngapalke bolan-baleni (terbata-bata, berulang-kali menghafal) tidak hafal-hafal, tapi kenapa Bapak tidak menyerah?”
Sang bapak menjawab, “Iyo nak, gak apa nimba pakai keranjang.” Salim lalu mengibaratkan, bapak ini seperti menimba air pakai keranjang. Bukan ember!
Anaknya bertanya heran, “Lho kok pakai keranjang? Kan nggak dapat air kalau nimba pakai keranjang.” Belum sampai ke atas airnya sudah habis lagi, karena bocor semua.
Bapaknya menjawab bijak, “Tapi kan minimal keranjange resik (keranjangnya bersih), Nak!”
Salim menerangkan, keranjang untuk menimba air berulang-kali itu bersih. Paling tidak, katanya, itulah yang al-Quran lakukan pada hati pembacanya. Meskipun tidak mengerti artinya dan tidak lancar, tapi tetap membaca dan berinteraksi dengan al-Quran.
Tanda Serius Berislam
Yang penting juga kata dia, menjadwalkan memahami makna al-Quran. Salim melontarkan pertanyaan kepada para peserta, “Bapak Ibu ada yang pernah khatam baca terjemahannya terbitan Kemenag?”
Hal ini, ungkapnya, bisa menjadi instrumen tes apakah seseorang serius ber-Islam. Sambil tertawa, Salim bercerita saat dulu gurunya bertanya apakah dia sudah pernah khatam al-Quran. “Belum kiai, tapi saya khatam baca Quran dan mengerti artinya,” jawabnya.
Sang kiai pun memuji, “Oh ya, bagus!”
Lebih dahsyat lagi, menurut Salim, jika bisa khatam membaca tafsir al-Quran. Paling tidak, sarannya, biasakan membaca tafsir atau terjemahan al-Quran dua lembar setiap hari. Sedikit demi sedikit lanjut sampai khatam.
“Ini bekal penting untuk kita tadabbur malamnya,” ungkap Salim.
“Renungkan, ‘kok tadi artinya begini?’,” ujarnya. Sehingga, dia yakin, memahami makna yang berujung pada perenungan ini bisa menjadi obat hati atas izin Allah SWT.
Cermin Kedudukan di Sisi Allah
Dia lalu mengutip kata Imam Yahya, “Siapa yang ingin tahu kedudukannya di sisi Allah, maka hendaklah dia memperhatikan bagaimana dia menempatkan al-Quran dalam hidupnya.”
Sebab, lanjut Salim, siapa yang memuliakan al-Quran, maka Allah akan memuliakannnya. Begitu pula sebaliknya, siapa yang menghina al-Quran, Allah juga yang akan memcampakkannya.
Salim mengingat sebuah ungkapan, “Semua yang kita buang menjadi sampah…”
Misal, makanan atau pakaian kita buang jadi sampah. “Kecuali al-Quran, karena kalau al-Quran yang kita buang, kita yang jadi sampah!” tegasnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni