PWMU.CO – Curhat Non-Muslim saat Diundang Buka Bersama. Cerita itu mengemuka dalam sesi diskusi Sarasehan Kebangsaan bertema Puasa dalam Berbagai Agama, Senin (3/5/2021).
Dalam pertemuan virtual itu, hadir enam pemantik sebagai perwakilan masing-masing agama. Hadir pula Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) Prof M Din Syamsuddin selaku penyelenggaranya.
Nyoman Udayana Sangging, salah satu peserta yang hadir, menceritakan pengalamannya saat menghadiri undangan berbuka puasa dari teman-teman Muslimnya. Ketika teman-teman Muslim shalat berjamaah dalam waktu lama, dia merasa bingung bagaimana mengisi waktu menunggunya.
Hormati Undangan
Merespon cerita itu, wakil dari agama Islam Amirah Nahrawi mengimbau, agar kawan-kawan Muslim—baik jamaah masjid maupun perorangan—saat mengadakan baka puasa dengan mengundang kawan-kawan non-Muslim, maka hendaknya berlaku toleran.
Bentuk sikap toleransi, menurutnya, bisa terwujud dengan sedikit mengubah alur jadwal kegiatan yang biasanya mendahulukan shalat. “Bisa berbuka dulu, ngobrol dulu,” katanya.
Karena, lanjutnya, waktu Maghrib sebenarnya terbagi menjadi tiga: Sepertiga di bawah, sepertiga di tengah, dan sepertiga di akhir. Untuk sepertiga di awal, Amirah menyarankan agar menyempatkan makan dan berbincang bersama kawan non-Muslim.
“Sehingga, mereka pun merasa dihormati sebagai undangan, tidak ditinggal begitu saja. Kita shalat ada mungkin setengah jam lebih, belum doa dan sebagainya, sehingga mereka merasa terabaikan, Padahal mereka diundang,” jelas dia.
Menurut Amirah, inilah salah satu bentuk intoleran, sebagai kekurangan kawan-kawan Muslim, yang perlu mendapat perhatian.
Amirah mengungkap, dalam Islam sebenarnya tidak mewajibkan untuk berbuka atau takjil dulu, baru kemudian shalat. “Allah membebaskan itu dengan masing-masing budaya,” ungkapnya.
Hanya saja, tambahnya, di Indonesia biasanya makan ringan (takjil), shalat, kemudian baru makan yang berat. “Tapi di tempat lain, (setelah adzan) langsung shalat, takjilnya yang manis-manis itu belakangan,” terang Amirah.
Amirah juga menyarankan kepada Nyoman untuk menyampaikan permohonan kepada panitia penyelenggara buka puasa bersama. “Tolonglah menghormati kami sebagai non-Muslim, jadi makan dulu, mengobrol dulu sama kami, sehingga kami tidak merasa terabaikan,” saran dia.
Waktu Maghrib Singkat
Fadhilla Suralaga—anggota DN PIM sekaligus moderator—menerangkan, “Waktu Maghrib singkat, kalau memang pilihannnya setelah takjil kemudian shalat, biasanya tidak panjang shalatnya. Yang panjang shalatnya itu kalau Isya langsung Tarawih.”
Untuk itu, Fadhilla menyarankan agar panitia atau pihak yang mengundang bisa menyediakan agenda lain bagi kawan non-Muslim untuk mengisi waktu menunggu. “Kegiatan menunggu itu bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan lain,” tuturnya.
Misalnya, kawan non-Muslim yang hadir bisa saling berbincang dengan kawan lainnya yang sedang tidak shalat.
Dia menyetujui jika mendahulukan makan dan minum sebelum melaksanakan Shalat, tapi dengan catatan. “Jangan sampai juga karena terlalu asik makan dan minum, akhirnya shalatnya lupa, waktunya hampir habis, kelewatan,” terangnya.
Wakil agama Protestan Pendeta, Patar Napitupulu, berpendapat, “Diskusi ini begitu indah, menjelaskan banyak hal yang jarang kita diskusikan bersama.”
Dia menegaskan, puasa itu berperang melawan keinginan dalam diri maupun hidup. “Puasa ini, selain baik untuk spiritual dan kesehatan, juga baik untuk menjaga harmoni keseimbangan kita sebagai manusia,” terangnya.
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni