PWMU.CO – Khutbah Idul Fitri: Menangkap Makna Sosial dan Individual Puasa oleh Pradana Boy ZTF PhD, Dosen dan Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ .وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hadlirin jamaah shalat Idul Fithri yang dimuliakan Allah, Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Islam adalah agama yang menekankan keseimbangan. Prinsip keseimbangan merupakan satu falsafah paling mendasar ajaran Islam. Prinsip keseimbangan ini pada dasarnya melekat dalam semua ibadah yang disyariatkan oleh Islam. Ibadah memang berdimensi ukhrawi.
Namun itu tidak bermakna bahwa ibadah ada untuk kepentingan akhirat semata. Sebaliknya, ibadah selalu mengandung banyak dimensi di luar ubudiah, misalnya sosial, filosofis, ekonomis, atau hukum.
Ibadah puasa bukanlah pengecualian dalam hal ini. Allah menggariskan tujuan di balik disyariatkannya puasa. Puasa sebagai ibadah ritual tidak semata-mata bertujuan dan bermuara pada ketaatan ritual, tetapi juga dimaksudkan sebagai ibadah yang memberikan pelajaran sosial bagi umat.
Dalam konteks peribadatan Islam, umumnya ibadah dibedakan menjadi ibadah syakhsiyyah dan ibadah ijtima’iyah. Jika yang pertama merujuk kepada ibadah individu, yang efek dari ibadah itu juga hanya bisa dirasakan oleh individu, maka yang kedua merujuk kepada sebuah konteks di mana ibadah juga memiliki dampak sosial bagi kehidupan masyarakat.
Puasa betapapun merupakan ibadah ritual. Namun pada saat yang sama juga mengajarkan umat Islam untuk saling menolong. Juga membawa kebaikan kepada sesama Muslim untuk saling memperbaiki dalam aspek apapun. Firman Allah SWT:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (al-Hujurat 10).
Jika menggunakan kerangka ini, maka puasa sebenarnya merupakan perpaduan dari kedua tipe ibadah itu. Pernyatan al-Quran bahwa dengan melaksanakan puasa secara baik dan benar akan bermuara kepada peningkatan ketakwaan seseorang merupakan bentuk penegasan, kepentingan individu bisa dicapai melalui ibadah puasa. Tidak hanya berhenti di situ, peningkatan ketakwaan individu menjadi tidak berarti ketika pada saat bersamaan, puasa tidak membawa orang kepada kepekaan sosial.
Dengan menahan lapar selama sehari penuh, misalnya, pelajaran sosial yang terkandung adalah bahwa sepatutnya dengan merasakan lapar, kita diajak untuk merasakan kehidupan kaum fakir miskin yang bisa jadi dalam kehidupan riilnya makan merupakan barang mewah.
Dengan merasakan kelaparan yang serupa juga diharapkan kaum Muslimin menjadi semakin sensitif dengan problem kemiskinan yang ada dalam kehidupan nyata.
Merasakan Langsung Kepedihan Orang Miskin
Hadlirin jamaah shalat Idul Fithri yang dimuliakan Allah, Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Dalam pandangan antropologis sering dikatakan bahwa penuturan seseorang tentang suatu persoalan yang kemudian melahirkan teori tertentu, akan memiliki tingkat validitas lebih tinggi, tatkala sang penutur mengalami keterlibatan langsung dalam apa yang sedang dituturkan atau ditulisnya.
Pengalaman langsung menjadi satu faktor yang penting. Sebaliknya, penuturan atas suatu persoalan yang tidak dialami secara langsung oleh sang penutur menjadi kurang meyakinkan dibanding dengan konteks yang pertama.
Hal itu bermakna bahwa dengan puasa sebenarnya Islam bermaksud mengajak seluruh umatnya, utamanya mereka yang berkecukupan, untuk merasakan secara langsung bagaimana kehidupan kaum miskin. Dengan kata lain, puasa juga bisa dimaknai sebagai simulasi kemiskinan yang harus dijalani seluruh umat Islam tanpa terkecuali.
Mengapa turut merasakan kepedihan orang miskin menjadi penting? Sayyidina Ali suatu saat pernah berujar bahwa kemiskinan adalah sebuah kondisi yang bisa mendekatkan orang kepada kekafiran.
Pemahaman yang selama ini berkembang adalah bahwa dekatnya kemiskinan dengan kekafiran terjadi karena orang miskin seringkali terjebak pada tindakan-tindakan kriminalitas yang dilarang agama. Pemahaman seperti ini tidak hanya tidak sensitif tetapi juga mengandung unsur dehumanisasi yang cukup kental.
Karena itu, alih-alih memaknai perkataan Ali dengan pemahaman sepihak seperti itu, kita semestinya melakukan pemaknaan yang lebih partisipatif dan manusiawi. Artinya, jika tindakan kriminalitas kaum miskin, yang melakukannya dengan keterpaksaan itu harus dimaknai sebagai tindakan yang menjauhkan orang dari ajaran agama, maka sesungguhnya mereka yang membiarkan kemiskinan itu berlangsunglah yang lebih berhak dikatakan dekat dengan kekafiran.
Dalam sebuah komunitas di mana kemiskinan ada, sementara di sisi lain, dalam komunitas yang sama juga terdapat kelompok orang mampu yang acuh terhadap situasi kemiskinan, maka dosa teologis maupun dosa sosial yang dipikul oleh keacuhan mereka jauh lebih besar daripada tindakan kriminal yang dilakukan si miskin di tengah keterpaksaan.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fithri yang dimuliakan Allah, Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Kemiskinan bukanlah fenomena sosial yang berdiri sendiri. Kemiskinan dalam kaca mata ilmu sosial sebenarnya merupakan akibat dari sejumlah kompleksitas suasana sosial, politik dan ekonomi dalam satu masyarakat.
Secara sosial, kemiskinan bisa saja lahir dari tidak berjalannya sistem sosial dan hubungan antarkelas. Eksploitasi berlebihan yang dilakukan oleh pemodal, misalnya, bisa ditunjuk sebagai salah satu sebab kenapa kemiskinan tidak pernah terselesaikan.
Pola hubungan eksploitatif ini menjadi semakin parah manakala pemilik modal hanya memandang pekerja sebagai mesin produksi untuk memperbesar kapital tanpa memperhatikan sisi-sisi kemanusiaan.
Dalam kaitan ini, selain puasa, zakat adalah ibadah lain yang berdimensi sosial dan ritual. Salah satu tujuannya adalah agar terjadi distribusi harta. Sebagaimana firman Allah:
مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya (al-Hasyr: 7).
Sasaran Negatif Dakwah
Sayangnya, dalam konteks keagamaan, kelompok masyarakat lemah (mustadhafin) justru seringkali menjadi sasaran negatif dari aktivitas dakwah. Ambillah contoh bagaimana para dai menunjuk masyarakat lemah sebagai pendosa yang sering melalaikan ibadah. Penyampaian ajaran agama dengan model seperti ini sama sekali tidak mengandung unsur pelibatan kaum lemah dalam proses beragama.
Seolah-olah, dengan kemiskinan yang mereka miliki, kaum mustadhafin selalu identik dengan dosa dan neraka. Dengan kata lain, alih-alih mendapatkan semangat untuk keluar dari lingkaran kemiskinan yang melingkupinya, kaum miskin justru merasakan agama tidak berpihak kepada kondisi mereka.
Di sisi lain, terdapat agamawan yang mengajarkan semangat asketisme dan fatalisme, sehingga kaum lemah tidak memiliki keinginan kuat untuk keluar dari kondisinya. Ambillah contoh doktrin tentang sabar dan takdir.
Mengajarkan kesabaran adalah sesuatu yang teramat mulia dalam agama. Tetapi ketika pengajaran tentang kesabaran dibarengi dengan pemahaman atas kesabaran yang fatalis, sehingga kemiskinan harus diterima sebagai takdir Tuhan.
Pada saat bersamaan juga ditanamkan doktrin tentang takdir sebagai sesuatu yang harus diterima dengan segala kerendahan hati, maka pada posisi inilah ajaran agama justru melanggengkan kondisi kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat.
Karena itu, puasa seharusnya memberikan inspirasi kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berkecukupan untuk melakukan pemberdayaan terhadap kaum miskin, sehingga mereka bisa keluar dari situasi yang dialaminya. Selain itu, bagi para penguasa, puasa juga seharusnya bisa menjadi media untuk mempertajam intuisi sosial, sehingga problem kemiskinan sedikit demi sedikit bisa teratasi.
Hadlirin jamaah shalat Idul Fithri yang dimuliakan Allah, Allahu Akbar, Allahu Akbar!
Akhirnya, marilah kita tutup khutbah Idul Fitri ini dengan bersamasama berdoa pada Allah SWT.
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ
اللَّهُمَّ أَلِّفْ بَيْنَ قُلُوبِنَا، وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا، وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلَامِ، وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ، وَجَنِّبْنَا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي أَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُلُوبِنَا، وَأَزْوَاجِنَا، وَذُرِّيَّاتِنَا، وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ، وَاجْعَلْنَا شَاكِرِينَ لِنِعَمِكَ مُثْنِينَ بِهَا عَلَيْكَ، قَابِلِينَ لَهَا، وَأَتِمِمْهَا عَلَيْنَا .اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ أَعْمَلَنَا فِي رَمَضَانَ .رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ و َمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُم تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمعِيْدُكُمْ مُبَارَكٌ وَعَسَاكُمْ مِنَ العَائِدِيْنَ وَالفَائِزِيْنَ كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ .وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Naskah khutbah Idul Fitri ini telah dimuat majalah Matan, Edisi 178, Mei 2021.
Editor Mohammad Nurfatoni