PWMU.CO – Islam dan Katolik soal Pertobatan dan Dosa Tak Sengaja dibahas pada Sarasehan Kebangsaan bertema “Puasa dalam Berbagai Agama“, Senin (3/5/2021).
Dalam pertemuan virtual siang itu, hadir enam pemantik yang mewakili masing-masing agama. Tak ketinggalan, Ketua Umum Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) Prof M Din Syamsuddin selaku penyelenggara juga hadir.
Bermula saat Aria Satriadi, salah satu peserta, mengajukan pertanyaan di kolom komentar Zoom Cloud Meetings, “Apakah berdosa pada saat puasa melihat sesuatu yang terlarang—padahal tidak diniatkan, muncul sendiri—waktu browsing di internet?”
Maka, wakil agama Islam dan Katolik yang hadir menyampaikan pandangan dari agamanya.
Perspektif Islam
Amirah Nahrawi, pemantik wakil agama Islam, menyatakan yang dinilai dosa dalam Islam adalah perilaku sengaja. “Apabila tiba-tiba atau tanpa sengaja datang iklan tidak sebaiknya ditonton, muncul begitu saja, itu tidak dinilai dosa dalam Islam,” ungkapnya.
Waktu pertama masih dalam hati, lanjutnya, Allah masih menunggu: dilakukan atau tidak. “Ketika kita melakukannya, maka baru dicatat oleh Allah (sebagai dosa),” kata dia.
Amirah menekankan, apapun yang tidak manusia sengaja, Allah tidak mencatatnya karena Allah maha adil.
Fadhillah Suralaga, Anggota Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju sekaligus moderator, berpendapat, “Kalau melihat sekilas tidak dosa, tapi kalau lihat kedua-ketiga kali, mungkin iya, karena sudah sengaja.”
Perspektif Katolik
Puspitasari—aktivis awam Katolik—yakin, dalam tradisi umat beragama, puasa itu sarana untuk semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. “Secara spesifik, dalam ajaran Katolik, puasa jadi mekanisme pertobatan,” ungkapnya.
Bicara puasa dan pantang dalam rangka pertobatan, lanjutnya, jika melihat yang terlarang dan merasa berdosa maka gereja Katolik mendorong untuk bertobat.
Menurutnya, hal ini bukan sekadar dilakukan pada bulan puasa. “Pada masa-masa lain pun ketika melihat hal-hal yang kita tau itu sesuatu yang tidak pantas, tentu kita didorong melakukan pertaubatan,” tuturnya.
Dia menerangkan, artinya, puasa dalam bulan Ramadhan menjadi salah satu ruang belajar menahan diri. “Bulan Ramadhan itu menjadi semacam titik awal pertaubatan pada bulan-bulan selanjutnya,” jelas dia.
Puspitasari berkaca pada ajaran Katolik, di mana masa pra-Paskah menjadi semacam titik awal pertaubatan seseorang. Kemudian, mendorong orang itu terus-menerus sadar bahwa dirinya berdosa biarpun cuma mengintip sedikit.
Tapi, orang itu sepenuhnya sadar telah melakukan hal yang salah. “Lalu, didorong terus taubat dan tobat,” ungkapnya.
Akhirnya, lanjutnya, puasa yang mereka lakukan dalam masa pra-Paskah bukan hanya jadi gerakan ritual yang sifatnya hanya formalistik. Melainkan ada dorongan untuk melakukan petaubatan terus-menerus.
Persamaan
Fadhillah—panggilan akrab Fadhillah Suralaga—membenarkan. Puasa di bulan Ramadhan memang dianggap sebagai masa belajar. “Tapi belajar bukan berarti belajar nggak bisa-bisa,” tegasnya.
Menurut dia, seharusnya implementasi dari hasil pengendalian diri itu diaplikasikan pada hari-hari selanjutnya, selama 11 bulan kemudian.
Fadhillah juga menerangkan, mekanisme pertobatan dalam Islam ketika melakukan sesuatu yang dilarang. Yaitu ber-istighfar atau memohon ampun kepada Tuhan dan setelah itu meninggalkan perbuatan yang dilarang itu.
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni