PWMU.CO – 12 Harapan Jelang Milad Ke-12 Berlian School. Jelang genap dua belas tahun usia Berlian School, Ir Marindra Adnan menyampaikan harapan-harapan berdasarkan pengamatan dan evaluasinya, Kamis (6/5/21).
Dialah sesepuh Muhammadiyah Gresik, bagian garda depan perintis lahirnya Berlian School pada 9 Mei 2009 silam. PWMU.CO menuminya di rumahnya Jalan Dr Wahidin Sudirohusodo. Sambil duduk di kursi ruang tamunya, bapak berusia 76 tahun itu membagikan 12 harapan untuk Berlian School.
Asah Kepekaan dan Kepedulian Siswa-Guru
Marindra menekankan perlunya sensitivitas siswa maupun guru. “Kita harus peka terhadap semua keadaan,” tuturnya.
Kepekaan inilah yang menurutnya penting. “Kalau orang tidak peka, tidak bisa mencerna suatu kondisi,” terangnya.
Untuk itu, Marindra mengimbau agar guru membiasakan siswa lebih peka dan peduli, tidak cuek. “Saya sarankan agar mengajarkan anak sensitif terhadap kondisi sosial itu dengan hati,” ujar dia sambil menunjuk hatinya.
Marindra lalu mengilustrasikan cara mengajarkan peduli yang menggugah. “Kalau ada uang kembalian, masukkan infak, kemudian dikumpulkan. Mereka juga yang membelanjakan. Lalu dipandu untuk memberikan ke fakir-miskin,” urainya.
Bangun Sistem Pembelajaran Menggembirakan
Marindra mengimbau, guru-guru sebaiknya jangan memberi punishment (hukuman), tapi membina. “Buat sistem pembelajaran yang menggembirakan!” imbaunya.
Supaya, tambahnya, anak-anak tidak merasa tertekan. “Jangan malah menakut-nakuti. Beri peluang dan motivasi,” tuturnya.
Tekankan Ibadah dan Akhlak kepada Siswa
Marindra mengimbau para guru agar menekankan masalah ibadah dan akhlak kepada siswa. Kata dia, hal sederhana seperti hormat kepada orangtua dan tidak berbicara bohong punya pengaruh besar ketika diajarkan.
Dia juga menekankan pentingnya mengajarkan nilai kebersamaan. “Jangan sampai ada anak yang merasa terlalu tinggi, sehingga merasa tinggi hati,” tuturnya.
Dengan suara bergetar, Marindra mengajak muhasabah, “Bayangkan sekarang, sampai dewasa begini, kita shalat dengan khusuk saja susah.”
Kuncinya, lanjutnya, tidak pernah mempelajari apa yang kita ucapkan. Lalu dia mempraktikkan membaca bacaan shalat dengan seenaknya.
“Bayangkan ini lagi bicara sama Allah, pikirannya ke mana-mana, padahal artinya ‘saya mengabdi pada-Mu… merendah pada-Mu’,” ujarnya terbata-bata sambil menahan isak tangis.
“Ini yang banyak orang tidak menyadari,” ujar bapak yang mulai fokus belajar memahami makna al-Quran ini.
Padahal—ujarnya sambil sambil menitikkan air mata dan mulai duduk bersandar—kalau dalam shalat bisa fokus, dalam hal lain bisa fokus.
“Karena, kita tidak bisa mengandalkan pendidikan itu apa kata saya, ingat ada Allah yang akan membantu memberi hidayah,” ujarnya.
Angkat Instrumen HW untuk Pendidikan Akhlak
Marindra berterus terang, jika mengintip sejarah, dulu pendidikan akhlak (budi pekerti) dan agama yang paling ditinggalkan. “Ini kelemahannya!” kritiknya.
Dia lalu menegaskan, Muhammadiyah punya instrumen berupa Hizbul Wathan (HW). Sehingga, dia menyarankan instrumen ini tidak sekadar menjadi ekstrakurikuler.
“Kalau sekolah Muhammadiyah, yang pertama, mengangkat HW bukan (sebagai) ekstrakurikuler tapi bahkan intrakurikuler,” tutur dia.
Karena, tambah dia, di dalamnya ada pendidikan akhlak atau character building.
Tidak Dogmatis Ajarkan Agama
Anak kandung pendiri Muhammadiyah Gresik, Adnan Haji, itu menekankan agar jangan mengajarkan agama secara dogmatis. Tapi, membina siswa-siswi untuk bergairah melakukan ibadah dan mempelajari agama.
Untuk cara pembinaan, Marindra mengembalikan pada kreativitas masing-masing guru. “Terserah bagaimana pada ustadz kreasinya, karena saya bukan seorang guru, tapi saya bisa menilai itu penting sekali,” ujarnya.
Pembiasaan Kunci Pendidikan Akhlak
Menurut Marindra, dalam hal non-kurikuler, terutama pendidikan akhlak, yang paling penting itu pembiasaan. “Anak-anak itu pembiasaan saja. Apa saja pendidikan karakter itu dibiasakan,” tegasnya.
Tanpa pembiasaan, tambahnya, pendidikan akhlak tidak akan bisa terjadi. Di samping itu, Marindra mengimbau guru untuk benar-benar menjadi panutan para siswa dalam membiasakan akhlak yang baik.
Lebih Aplikatif, Jeli Perhatikan Sistem Terkini
Melihat kondisi sekarang—di mana menurutnya sistem pendidikan kacau balau—Marindra berharap sistem pendidikan Muhammadiyah tidak ikut terganggu. “Karena, sudah punya konsep sendiri,” ungkapnya.
Hanya saja, menurutnya, Muhammadiyah perlu jeli melihat kondisi sekarang. “Waktu saya menangani sekolah ini dulu, saya katakan menurut pendapat saya yang subjektif, kelemahannya terlalu teoritis,” ungkap dia.
Padahal menurut Marindra, yang paling penting adalah bagaimana mengimplementasikan atau mengaplikasikan ilmu yang dimiliki. “Jangan dijejali dengan teori-teori terus,” tuturnya.
Harapannya, moda dari komunikasi guru dan sistem mengajarnya supaya bisa dimajukan, sehingga bisa memenuhi harapan sekarang. “Silakan kembangkan! Pokoknya bertujuan memberikan ilmu untuk diimplementasikan, bukan untuk jadi hafal-hafalan!”
Bina Wawasan, Kreativitas dan Visioner Guru
Marindra meluruskan, aplikasi saja tidak bisa dipahami jika tanpa bekal teori, kecuali gurunya sendiri punya wawasan dan talenta. “Jadi wawasan guru itu penting!”
Ke depan, Marindra berharap, para guru terus menerima pembinaan, sehingga wawasannya meningkat.
Selain itu, menurut Marindra, pengembangan sekolah tergantung pada bagian intinya: tenaga pendidik. Yang paling penting menurutnya, pemimpin sekolah (Kepala Sekolah) dan asisten (para wakil) yang paling dekat perlu mendapat binaan terus-menerus untuk bisa “mengangkat” sekolah.
“Kalau tidak kreatif, tidak visioner, ya tidak bisa (berkembang),” kata Marindra.
Semua Elemen Bergerak Bersama
Marindra menyadari, tidak semua orang punya kapasitas kreatif dan visioner. “Jangan terlalu berharap Kepala Sekolah berbuat semuanya, itu tidak mungkin!” tegasnya.
Jadi, dia menyarankan, agar para guru yang membantu kepala sekolah hendaknya punya kreasi sendiri yang bisa mengembangkan sekolah. “Jadi semua bisa bergerak,” ungkap dia.
Untuk itu, harapan pertamanya, guru-guru tidak hanya mengharapkan apa kata kepala Sekolah. “Bersama-samalah dengan kepala Sekolah bagaimana bisa memajukan lembaga pendidikan ini,” tutur dia.
Merangkak Pelan-Pelan
Menurut pemantauannya, kualitas Berlian School sekarang mampu mengimbangi sekolah pendahulunya: SD Mugeb. “Alhamdulillah, tidak lama (Berlian School) bisa disamakan dengan sini (SD Mugeb),” ujar Marindra.
Kalaupun sekarang hendak mengadopsi apa yang telah diaplikasikan di SD Mugeb, dia mengimbau agar menerapkannya pelan-pelan dengan menyesuaikan situasi lingkungan sekitar.
“Jangan langsung mengadopsi dari sini (SD Mugeb) mentah-mentah,” pesan Penasihat Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik periode 2010-2015 itu.
Mampatkan Administrasi, Beri Ruang Kreasi
Guru, harapannya, bisa diberi keluasan waktu yang besar untuk berinovasi dan berkreasi. Berdasarkan hasil evaluasinya terhadap waktu, guru tidak punya ruang yang cukup untuk berkreasi, karena terlalu banyak pekerjaan administratif.
“Saya bilang, ‘untuk apa ini?’,” kritiknya.
Marindra menerangkan, sebenarnya hal ini sudah ada dalam Pengendalian Sistem Manajemen dan Penjaminan Mutu (PSMPM). “Kalau di bidang industri, memang diperlukan sekali. Karena selip sedikit, sudah batal semuanya,” jelas pria kelahiran Gresik itu.
Tapi untuk pendidikan, menurutnya, pekerjaan administratif tidak begitu perlu. “Beri kebebasan guru untuk mengajar, karena boleh jadi saat mengajar itulah keluar (kreasinya),” tutur dia.
Kalau belum-belum, tambahnya, sudah memegang administrasi akan “melirik” administrasi itu terus. “Bagaimana mau mengembangkan kalau harus melirik ini terus?” tanyanya.
Seperti yang biasanya Marindra sampaikan kepada para guru, “Kalau SD ini cuma begini, untuk apa sampai enam tahun? Tiga tahun aja kan cukup.”
Lalu dia menjelaskan maksudnya, “Kenyataannya kan sekolah ini tidak mungkin berubah jadi tiga tahun, jadi ini aja dimampatkan, kemudian guru-guru punya ruang waktu untuk berkreasi.”
Kemudian, hal-hal mengenai administrasi sederhanakan saja. “Kalau nanti ada pemeriksaan dari dinas? Ya bakukan saja, tidak usah terlalu lempeng di situ, tanpa menulis detil apa saja yang kita ajarkan, (catat) pokok-pokoknya saja!” saran dia.
Sabtu Tidak Rapat, tapi Mengobrol Santai
Marindra mengungkap alasan di balik kebijakan liburnya hari Sabtu bagi siswa. “Supaya gurunya bisa bebas, pada hari Sabtu itu bisa untuk ngobrol-ngobrol, ‘enaknya gimana?’,” terangnya.
Dia menyarankan agar menggunakan bahasa bebas, tidak terlalu formal dalam wujud rapat. “Sebab orang kalau bebas itu enak,” ujarnya.
Tanpa memberi peluang, imbuhnya, selalu mempandu guru menyebabkan kaku dan mati inovasi dan pemikirannya.
Marindra optimis, dengan menerapkan 12 hal ini, Berlian School bisa lebih maju, terus memunculkan inovasi dan kreativitas. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni