Tanpa Mudik, Silaturahmi Tetap Wajib ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berangkat dari hadits riwayat Abu Dawud
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ. رواه أبو داود
Dari Abu Bakrah ia berkata, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersama dengan adzab yang ditangguhkan (tersimpan) baginya di Akhirat, selain dosa kezaliman dan memutus tali shilaturrahim.’ (HR Abu Dawud)
Mudik dan Silaturahim
Mudik merupakan budaya yang sudah mengakar di negeri kita, dan momen ini seolah menjadi kesempatan emas bagi kaum mualimin, khususnya yang tinggal jauh dari tempat kelahirannya, entah karena faktor pekerjaan atau karena memang telah berkeluarga. Tentu hal ini merupakan kegiatan yang positif dengan niat untuk silaturrahim dengan keluarga dan sanak kerabat juga dengan para tetangga.
Terutama yang dari desa-desa terpencil nan indah, sungguh pulang kampung merupakan kegiatan yang sangat dirindukan, karena kesempatan yang ada biasanya langka yaitu kadang setahun sekali, bahkan kadang tidak tentu. Apalagi di masa pandemi ini pulkam atau mudik tidak diperkenankan oleh Pemerintah. Pun demikian silaturrahim tidak boleh terputus, apalagi teknologi sudah sedemikian canggihnya.
Faedah dari silaturrahim adalah dalam rangka saling mencintai karena Allah terhadap keluarga dan sanak famili, sebagaimana hadits dalam Sunan Tirmidzi.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَمَعْنَى قَوْلِهِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ يَعْنِي بِهِ الزِّيَادَةَ فِي الْعُمُرِ. رواه الترميذى
Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Belajarlah dari nasab kalian yang dapat membantu untuk silaturrahim karena silaturrahim itu dapat membawa kecintaan dalam keluarga dan memperbanyak harta, serta dapat memperpanjang umur.” (HR Tirmidzi) Abu Isa berkata: Ini merupakan hadis gharib melalui jalur ini.
Oleh karena itu dalam rangka saling bersilaturrahim ini tidak ada unsur pamer kesuksesan atau sifat-sifat kesombongan lainnya, karena hal itu dapat mencederai nilai dari silaturrahim itu sendiri. Tetapi bagaimana nasihat-naiehat keagamaan harus selalu disampaikan dalam rangka meneguhkan diri dalam kebenaran dan kesabaran secara Bersama-sama.
Ada upaya sinergi untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan menghindarkan dari mafsadah atau kerusakan. Ketulusan dalam hal ini sangat dibutuhkan, sehingga tidak ada yang merasa dilecehkan atau direndahkan. Semua bersyukur atas limpahan kasih sayang Allah dengan dipertemukan bulan suci Ramadhan dan sampai pada hari raya Idul Fitri.
Pelaku Zalim Disegerakan Hukumannya
Sebagaimana uraian dalam hadits di atas, ada dua yang adzabnya disegerakan oleh Alllah Subhanahu wa Taala. Pertama, Rasulullah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak berbuat zalim. Dalam riwayat yang lain doa orang yang terzalimi itu tanpa hijab yakni tidak tertolak dan akan dikabulkan oleh Allah.
Mafhum mukhalafahnya bahwa dalam kehidupan kita ini berkaitan dengan diri kita dan orang lain hendaknya tetap bertindak sesuai nilai keadilan, keadilan di antaranya berarti menjaga keseimbangan antara kepentingan diri dan orang lain, atau dengan kata lain ada keseimbangan antara hak diri kita dan hak orang lain sesuai dengan tanggung jawab atau kewajiban masing-masing.
Keadilan berhimpit dengan nilai ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Taala, tiada ketakwaan tanpa sikap adil ini. Tentu berat malaksanakan keadilan ini sesuai proporsinya, karena yang sering terjadi justru kepentingan pribadi harus lebih dominan daripada orang lain. Maka agama ini mengatur terhadap dimensi kehidupan ini dan disitulah letak nilai keadilan itu. Hanya dengan mengikuti Syariah ini nilai keadilan itu akan terwujud dengan baik.
ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Maidah 8)
Pemutus Silaturrahim Disegerakan Adzabnya
Kedua, Rasulullah memberikan peringatan kepada umatnya agar tidak memutus tali silaturrahim. Karena hubungan kekerabatan ini telah diikat oleh Allah sedemikian rupa di antara hamba-hamba-Nya. Maka hibungan silaturahim ini harus terus dijalin dan jangan sampai terputus, apalagi faktornya hanyalah persoalan duniawi yang sebanarnya sangat remeh-temeh di sisi Allah Subhanahu wa Taala.
Oleh karena itu faktor utama tali silaturrahim ini adalah nilai keimanan, dan bukan faktor lainnya. Dan hal ini menjadi bukti akan kualitas keimanan kita kepada Allah. Banyak terjadi seseorang lebih cinta dan akrab kepada orang lain yang bukan sanak keluarga karena faktor keduniawiaan dari pada kepada saudara sendiri. Hal ini sungguh sangat ironi sebagai seorang mukmin.
ٱلَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهۡدَ ٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ مِيثَٰقِهِۦ وَيَقۡطَعُونَ مَآ أَمَرَ ٱللَّهُ بِهِۦٓ أَن يُوصَلَ وَيُفۡسِدُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ
(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. (al-Baqarah 27)
Dan lebih banyak lagi karena factor rebutan warisan sampai sesama saudara tidak saling mengakui, padahal harta pusaka atau harta waris itu sudah diatur sedemikian detail oleh Allah dan Rasul-Nya, tinggal apakah kita mau atau tidak mentaatinya. Tanpa kesediaan menerima dengan ikhlas hukum Allah ini, keberkahan akan lenyap dan hanya dengan tidak merasa keberatan terhadap hukum Allah maka kehidupan ini akan mencapai sejahtera lahir dan batin. Dan itulah bukti kesempurnaan iman kepada Allah dan RasulNya.
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa’ 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzab 36) (*)
Editor Mohannad Nurfatoni