Takut dan Harap pada Diri Kiai Dahlan, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi tokoh-tokoh Islam.
PWMU.CO – RH Hadjid adalah murid termuda KH Ahmad Dahlan. Di antara kelebihannya, dia sangat rajin mencatat apa saja yang diajarkan oleh Kiai Dahlan. Hasilnya, antara lain, berupa buku mungil tapi sangat penting. Judulnya, Pelajaran KHA Dahlan; 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok Ayat Al-Quran.
Tentu semua isi buku itu bernilai tinggi. Di buku yang sama, di bagian awal, ada juga berbagai kesaksian Hadjid terkait sang guru. Ini, juga bermanfaat. Misal, pertama, beliau berkesaksian bahwa Kiai Dahlan orang yang memiliki keistimewaan dalam hal khauf (takut) dan raja’ (harap).
Bahwa, khauf adalah rasa takut terhadap “berita besar” dan raja’ adalah mengharap-harap rahmat Allah (2013: 5). Kedua, beliau berkesaksian bahwa Kiai Dahlan cerdas dan itu ditandai dengan kesukaannya membaca banyak kitab bermutu. Di antara yang dipelajari Kiai Dahlan adalah karya Imam Al-Ghazali (2013: 3).
Berita Besar
Kiai Dahlan memiliki ketakutan luar biasa terhadap berita besar di seputar hari berbangkit sebagaimana disampaikan al-Quran dalam Surat an-Naba’. “Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan” (an-Naba’ 17).
“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah’.” (an-Naba’ 40).
Di antara “berita besar” yang membuat Kiai Dahlan takut adalah al-Qaari’ah. Surat inilah yang kerap dipikirkan Kiai Dahlan dan banyak murid yang menyebarkannya (Hadjid, 2013: 174).
Surah bernomor 101 itu terdiri dari sebelas ayat. Berikut ini terjemahnya: “Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)-nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)-nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas”.
Atas “berita besar” itu, berkatalah Kiai Dahlan: “Kita semua akan dihadapkan ke ‘Mahkamah Agung’ di hari kiamat. Akan ditanya segala yang kita kerjakan (hal-hal yang berdasarkan perintah Allah) dan yang kita tinggalkan (karena dilarang Allah). Seterusnya akan dihisab / diperiksa dan diperbandingkan” (Hadjid, 2013: 173).
Takut dan Harap pada Diri Kiai Dahlan
Kiai Dahlan banyak membaca. Beliau pasti tahu bagaimana para Nabi, misalnya seperti Musa, Daud , dan Muhammad saw punya rasa takut yang sangat besar terhadap “berita besar”. Kiai Dahlan pasti paham dengan Aisyah Ra, Abubakar Ash-Shiddiq Ra, Umar bin Khaththab Ra, Usman bin Affan Ra, Abu Dzar Ra, dan lain-lain-lainnya yang takut dengan “pembalasan di hari esok”.
Sekarang kita buka karya tulis Imam Ghazali. Takut dan harap termasuk jenjang-jenjang spiritual yang harus dilewati oleh para penempuh Jalan Keutamaan. Ia juga merupakan kondisi-kondisi yang harus dicapai oleh para pencari kebenaran. Demikian, terang Al-Ghazali di Mukhtashar Ihya Ulumiddin (2010: 385).
Apa “takut” dan apa pula “harap”? Masih di buku dan halaman yang sama, disebutkan bahwa jika sesuatu yang ditunggu membuat hati tersiksa maka hal ini disebut khauf (takut). Tapi jika ia membuat hati gembira maka hal ini disebut raja’ (harap). Dengan demikian, khauf adalah menunggu sesuatu yang dibenci. Sementara, raja’ adalah menunggu sesuatu yang disukai.
Terkait itu, jadilah orang yang bijak yaitu orang yang bisa menempatkan secara tepat posisi khauf dan raja’. Orang dengan kriteria ini akan secara cermat menjalani hidup dengan bekal takwa. Orang dengan bekal takwa akan dapat mengendalikan dirinya sedemikian rupa keseluruhan langkah hidupnya menjadi amal shalih yang buahnya berguna di akhirat kelak.
Sebaliknya, jangan jadi orang dungu. “Orang yang bijak adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sementara itu orang yang dungu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada karunia Allah (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Hakim, dan Baihaqi).
Ekspresi Takut
Rasa takut akan “Kemahakuasaan Allah dan adanya Hari Pembalasan” harus menjadi pembawaan semua kaum yang beriman. Para Nabi dan umatnya yang shalih telah meninggalkan kisah yang menggugah terkait rasa takut itu.
Musa pernah pingsan, seperti yang diabadikan dalam al-A’raaf 143. “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Yaa Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.’ Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: ‘Maha Suci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman’.”
Nabi Daud pernah ditegur karena sering menangis. Kemudian dia menjawab, biarkanlah aku menangis sebelum datang hari penuh tangisan yaitu akhirat (Al-Ghazali, 2010: 391).
Nabi Muhammad SAW pernah mengekspresikan rasa takut yang menghinggapinya. Bahwa, Aisyah Ra meriwayatkan, ketika itu cuaca berubah dan angin bertiup kencang. Wajah Rasulullah Saw juga ikut berubah. Beliau Saw berdiri kebingungan di dalam kamar. Lalu, masuk dan keluar kamar. Hal itu terjadi karena Beliau SAW mencemaskan siksa yang akan diberikan oleh Allah (HR Ahmad dan Haitsami). Sementara, di riwayat lain, Rasulullah Saw pernah membaca ayat di dalam Surah al-Haaqqah, kemudian pingsan (Al-Ghazali, 2010: 389).
Ketika Umar bin Khaththab mendengarkan bacaan ayat al-Quran dia jatuh pingsan karena ketakutan selama beberapa hari. Atas hal ini, dia dijenguk sahabat-sahabatnya.
Masih tentang Umar bin Khaththab. Pada suatu hari beliau mengambil segenggam tanah sambil berkata, “Seandainya aku menjadi tanah ini. Seandainya aku tidak disebut-sebut. Seandainya aku tidak pernah dilahirkan oleh ibuku. Seandainya aku dilupakan sama sekali” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah).
Bagaimana ekspresi takut Kiai Dahlan? Di dekat meja tulis beliau, terdapat papan tulis. Di papan itu ada tulisan dalam bahasa Arab. Terjemahnya, kurang-lebih: “Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkanmu dan pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah apa yang terdekat kepadamu dan tinggalkanlah lainnya.”
Sepasang Takut dan Harap
Hidup proporsional memang penting. Takut, boleh! Hanya saja, jangan berlebihan. Jika melewati takaran yang pas, maka takut akan menjadi penyakit. Imbangilah rasa takut dengan rasa harap.
Kata Al-Ghazali, “Harapan dapat mengobati dua kondisi hati yang tidak stabil”. Pertama, orang yang hatinya dipenuhi oleh rasa putus asa sehingga ia tidak melaksanakan ibadah. Kedua, orang yang hatinya dipenuhi oleh rasa takut dan berlebihan dalam beribadah hingga membahayakan diri serta keluarganya. Kondisi orang-orang seperti itu harus distabilkan kembali dengan harapan.
Harapan dan ketakutan, masih kata Al-Ghazali, bagaikan dua cambuk yang masing-masing digunakan sesuai dengan kondisinya. Ali Ra berkata, “Orang yang berpengetahuan adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa terhadap rahmat Allah dan tidak pula membuat mereka merasa aman dari siksa Allah” (2010: 387).
Harapan merupakan obat yang berguna dan hal itu dapat dilakukan dengan cara merenungi nikmat Allah yang tak terbilang. Meski takut, tetaplah punya harap. Hayatilah, Allah memanggil kita dengan kasih seperti di ayat berikut ini: “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah’. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (az-Zumar 53).
Jangan putus asa! Terus, teruslah berharap hanya kepada Allah. Sungguh, rahmat Allah itu mendahului murka Dia.
Sepasang takut dan harap itu ideal. Keduanya harus ada pada diri kita. Perhatikanlah dan ambillah pelajaran dari riwayat berikut ini.
Rasulullah Saw pernah mengunjungi orang yang hampir meninggal. Beliau Saw bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Orang itu menjawab, “Aku merasa takut akan dosa-dosaku dan berharap kepada rahmat Allah”. Kemudian Nabi Saw bersabda, “Tidaklah dua rasa itu, harapan dan ketakutan, menyelimuti hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan menghindarkannya dari yang ditakutinya” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Pesan Akhir
Kita jangan sampai lengah dalam menjalani hidup. Perhatikan nasihat Kiai Dahlan ini: “Lengah, kalau sampai terlanjur terus-menerus lengah, tentu akan sengsara di dunia dan akhirat. Maka dari itu jangan sampai lengah. Kita harus berhati-hati. Sedangkan orang yang mencari kemuliaan di dunia saja, kalau hanya seenaknya-tidak bersungguh-sungguh-, tidak akan berhasil. Apalagi mencari keselamatan dan kemuliaan di akhirat. Kalau hanya seenaknya, sungguh tidak akan berhasil.”
Agar tak lengah, selalulah mengagendakan amal shalih. Cermatilah tuturan Kiai Dahlan ini: “Bermacam-macam corak ragamnya mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan soal agama. Tetapi tidak ada satupun yang mengajukan pertanyaan demikian: Harus bagaimanakah supaya diriku selamat dari api neraka? Harus mengerjakan perintah apa? Beramal apa? Menjauhi dan meninggalkan apa?”
Bagi Kiai Dahlan, rasa takut-lah yang menjadi salah satu unsur pendorong beliau dalam berjuang fii-sabilillah. Terkait ini, Surah Al-Qaari’ah termasuk yang kerap dipikirkan sekaligus menjadi pendorong Kiai Dahlan. Surat Al-Qaari’ah ini pulalah yang juga disebarkan oleh banyak murid Kiai Dahlan (Hadjid (2013: 174).
Turutlah kiprah Kiai Dahlan. Beliau mengimbangi rasa takut dengan rasa harap, yang bobotnya sama. Dengan cara itu, semangat hidupnya terjaga. Ghirahnya dalam berdakwah terus menyala hingga di hari-hari akhir hidupnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni