Jejak KHA Dahlan di Jatim
Perjalanan KHA Dahlan di Jatim tidak berhenti di Surabaya. Ternyata dia juga mengunjungi berbagai kota lainnya. Tempat-tempat yang dikunjungi dan membuahkan hasil adalah Kepanjen (21 Desember 1921), Blitar (1921), Sumberpucung (1922), dan Ponorogo (1922).
Tahap selanjutnya, Muhammadiyah juga berdiri di Jombang (1923), Madiun (1924), Ngawi (1925), Jember (1925), Situbondo (1925), Malang (1926), Gresik (1926), Lumajang (1927), Trenggalek (1927), Bondowoso (1927), Bangkalan (1927), Sumenep (1927), Sampang (1927), dan Probolinggo (1928).
(Baca berita terkait : Masjid Kiai Dahlan saat Bertetirah di Pasuruan yang Sudah Berubah)
Pada tahap selanjutnya, Muhammadiyah juga didirikan di Pamekasan (1928), Kediri (rentang waktu 1927-1933), Tulungagung (1932), Banyuwangi (1933), Magetan (rentang waktu 1932-1933), Nganjuk (1933), Pacitan (1933), Tuban (1933), Mojokerto (1933), Sidoarjo (1935-1936), Bojonegoro (1947), dan Lamongan (1951).
Dilihat dari orientasi perjuangannya, Muhammadiyah Jawa Timur memiliki jati diri ideologis yang unik. Keunikan ini terlihat bahwa gerakan ini sangat modern di bidang tehnik pengembangan program, tetapi sangat “fundamentalis” pada bidang agama, dalam pengertian kesederhanaan metodologis–sesuai Alquran dan Hadits. Hal itu berbeda dengan mitra dakwah yang lain, seperti NU di Jawa Timur, yang melakukan tradisionalisasi dakwah sehingga terbentuk opini harmonitas dan berbagi ladang dakwah.
(Baca juga: Bagaimana Anak Cucu KHA Dahlan sampai Tinggal di Thailand dan Dituduh Ahmadiyah? Ini Kisah Cicitnya, Diah Purnamasari)
Keunikan Muhammadiyah Jawa Timur itu tercermin dari pola dakwah yang khas sebagaimana Ki Bedjo Darmoleksono, yang hanya dengan personal terbatas bersama Ust. Abdul Ghoffur, Ust Suyuti Cholil, Ust Abdullah Hasyim, dan beberapa orang di Malang. Melalui pengajian Tafsir Ibnu Katsir setiap Ahad, mereka mampu membendung pergerakan komunisme.
Mereka juga mampu meletakkan dasar-dasar bangunan dakwah melalui pendidikan dan kesehatan yang kini dapat kita lihat bagaimana eksistensi Muhammadiyah di Malang, dan Universitas Muhammadiyah Malang, yang keberadaannya diakui secara internasional.
(Baca juga: Mengapa KH Ahmad Dahlan Berpoligami? Inilah Penjelasan yang Diungkap oleh Keluarga Besarnya)
Muhammadiyah mulai masuk di daerah Lamongan sekitar pada tahun 1926 M, dibawa oleh H Sa’dullah, tepatnya di Desa Blimbing Kecamatan Paciran. Beliau dibantu juga oleh seorang wanita Islam yang bernama Zainab atau lebih dikenal dengan sebutan “Siti Lambah”. Mereka berdualah yang banyak memperjuangkan Muhammadiyah di wilayah sekitarnya.
Muhammadiyah Kabupaten Lamongan berkembang di wilayah Tengah tepatnya di Desa Pangkatrejo. Sebelumnya perlu diketahui bahwa sejak tahun 1950 sampai 1960-an, Desa Pangkatrejo merupakan penghasil kain tenun ikat terbesar di Kabupaten Lamongan. Gerakan ekonomi inilah yang mendinamisasi dakwah Persyarikatan hingga menampakkan pengaruhnya hingga kini. Bersambung ke hal 3 …