Pengaruh KH Mas Mansyur di Madura
Sementara itu, perkembangan Muhammadiyah di Madura tak lepas dari KH Mas Mansur. Ibunyanya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya.
Ayahnya bernama KH Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia juga dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.
(Baca: 70 Tahun Wafatnya KH Mas Mansur, Sapukawat Pembabat Alas)
Kalau disebut Bangsawan Asta Tinggi Mas Mansur, sudah pasti bergelar “Raden Mas Mansyur” atau sematan yang biasa digunakan bangsawan keturunan Raja Raja Sumenep. Dan sekilas tentang Mas Mansyur ini bisa dicari di prasasti raja-raja yang ada di Asta Tinggi Sumenep.
Menurut sumber lisan dan tulis, Muhammadiyah berkembang di Madura karena pengaruh Mas Mansur, yang saat itu jadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah (tempo doeloe). Beberapa Kyai Madura yang terkenal, seperti KH Zainal Arifin, yang mendirikan Pondok Pesantren Tarate Sumenep, KH Abu Suja’ Ulama terkenal Sumenep yang ada di Asta Tinggi, adalah tokoh-tokoh Muhammadiyah yang dinisbatkan dan direbutkan sebagai tokoh Aswaja oleh sesepuh Sumenep.
Mas Mansyur yang tergolong “kibarul ulama” Muhammadiyah adalah tokoh yang menentang perkara-perkara adat, antiadaptasi (yang syar’) dengan memerangi syirik yang berserakan di Jawa Timur. Kitabnya Risalah Tauhid dan Sjirik serta Adab al-Bahts wa al-Munadlarah, merupakan dua kitab yang menuai kontroversi di kalangan tokoh-tokoh Islam di luar Muhammadiyah.
(Baca juga: 5 Cerita Kedekatan Bung Karno-Mas Mansur)
Meskipun dalam hal kebangsaan, lewat Khitab al Wathan (Mimbar Tanah Air), Mas Mansur bisa bersatu dengan tokoh-tokoh NU seperti KH Wahab Hasbullah, prinsip tauhid Mansoer dikenal sangat kuat. Persoalan tauhid dan syirik bagi diri Mas Mansy\ur tidak ada tawar-menawar, atau mengorbankan Muhammadiyah dengan tujuan bisa menarik simpati umat. Hal itu tidak dilakukan oleh seorang Mansyur, yang pernah hidup di pesantren Demangan Bangkalan dan pernah menimba ilmu KH Kholil Bangkalan.
Kitab Adad Berdebat yang diluncurkan oleh Mas Mansur merupakan kitab yang terbit tepat pada waktunya. Karena pada masa itu, terlihat banyak tokoh tokoh Islam terlibat perdebatan yang cukup memilukan hatinya. Isi kitab itu adalah disiplin berdebat dalam Islam.
(Baca: Bisa Dicontoh, dengan Uang Koin Rp 500 Masjid KH Mas Mansur Ini Dibangun)
Bahkan keterlibatan beliau sendiri dalam perdebatan soal hijab dengan Ustad A Hassan Bandung, merupakan polemik yang cukup ulet. Membuat Ustad A Hassan sedikit menguras pengetahunnya dalam menghadapi Mas Mansyur, sebagaimana tertulis dalam majalah “Pembela Islam”.
Ketokohan Mas Mansyur yang kuat prinsip dalam memegang sikap ber-Muhammadiyah itu tercermin dalam berbagai sikapnya, seperti soal TBC (tahayul, bid’ah, dan khurafat). Semangat Mas Mansyur itu juga pernah diikuti oleh dua ahli debat Muhammadiyah, Ustad Ustad Abdul Qadir Muhammadiyah yang menjadi pintu perkembangan Muhammadiyah di Pulau Kangean Sumenep dan Ustad Usman Bahabazy, pakar ulung dalam debat dengan kalangan kyai-kyai se-Madura, dengan lahirnya “Brousur Darussalam” yang pernah berkembang hingga ke Sulawesi dan Kalimantan waktu itu. Bersambung ke hal 4 …