Kristolog KH Bahudin Mudhary
Ulama Muhammadiyah tangguh lainnya dari Madura yang mendunia yaitu adalah KH Bahauddin Mudhary. Sosok kelahiran Sumenep, Madura 23 April 1920 itu, merupakan tokoh yang cukup fenomenal dalam Kristologi.
Kemampuan KH Bahauddin Mudhary menangkal Kristenisasi tersohor hingga ia disebut-sebut sebagai pionir Kristologi di Tanah Air. Ini setidaknya terbukti ketika ia sukses mendebat para misionaris. Puncaknya, ia berhasil mengislamkan penganut taat yang juga misionaris Kristen Katolik, Antonius Widuri, pada 18 Maret 1970. Perdebatan antara keduanya berlangsung alot, lebih dari sepekan.
(Baca: Penebar Visi Islam Berkemajuan di Madura)
Perjalanan debat itu, terekam dengan baik dalam bukunya yang berjudul Dialog Masalah Ketuhanan Yesus. Buku ini diterbitkan ulang oleh Cambridge University Press, Inggris. Dalam buku ini tercatat jelas bagaimana Antonio Widuri harus mengakui kekuatan argumentasi Bahaudin terkait kerancuan Trinitas. Antonio akhirnya berikrar syahadat. Hingga saat ini, keberadaan buku yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dengan judul Dialoog over de Goddelijkheid van Jezus ini diposisikan sebagai referensi otoritatif kajian perbandingan agama.
Bahaudin boleh saja tak pernah lulus pendidikan formal meski sempat bersekolah di Kweek School Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1940. Dan, dari sinilah kemampuan bahasanya bermula dan semangat belajar autodidaknya menggelora. Ia menguasai bahasa asing, antara lain, bahasa Arab, Jepang, Jerman, Prancis, dan Belanda. Modal ini cukup membantunya dalam mengakses berbagai versi Bibel.
Meski demikian, bakat dan bekal kecerdasannya itu warisan genetik dari sang ayah, KH Ahmad Sufhansa Mudhary. Bahaudin dikenal cerdas. Ia mampu memainkan hampir seluruh alat musik mulai petik, gesek, tiup sampai tuts piano. Atas kelangkaan ilmunya itulah, ia berjuluk “Tera Ta Adamar”, yang dalam bahasa Madura berarti benderang tanpa pelita.
Ini lantaran, kedalaman ilmunya berpangkal pada ilmu hakikat yang berpusat di hati. Bahaudin tak hanya didaulat sebagai Kristolog ulung. Ia dikenal pula piawi berorganisasi. Sejumlah jabatan penting pernah ia pegang.
Pada 1947, ia dipercaya sebagai Komandan Resimen Hizbullah, dua tahun kemudian mendirikan Yayasan Pesantren Sumenep, Komandan Sudanco, Ketua Muhammadiyah, Ketua Masyumi Wedana di Bangkalan serta Ketua Perserikatan Muslim Tionghoa di Madura (sekarang PITI).
Pada 1954, sebagai Ketua Muhammadiyah Cabang Sumenep, Kepala SMA Yayasan Pesantren, mengajar bahasa Jerman dan Prancis di SMA Sumenep sekira 1960-1965, serta dosen di IKIP Negeri.
Sepanjang hidupnya, Bahaudin hidup dalam kesederhanaan. Ia juga dikenal sangat humoris dengan petuah yang penuh warna parigan (sesemon Madura). Ada pesan menjelang akhir hayatnya yang hingga kini menjadi pegangan putra dan cucu-cucunya, “Jangan sesekali meninggalkan shalat, selalu rukun dan memelihara tali silaturahim, serta jangan berebut harta pusaka, usahakan setiap malam shalat lail (tahajud).”
Pada pengujung usianya, ia masih mengasuh Pesantren Kepanjin Sumenep dan menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Sumenep, Ketua Umum GUPPI Jawa Timur, Ketua MUI Jawa Timur dan anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur.
Semangat Sapukawat Jawa Timur dan “Tera Ta Adamar” dari Pulau Garam ini didapat dari kekuatan Ilmu, gerak ekonomi-sosial serta improvisasi kultural yang menghasilkan Muhammadiyah Jawa Timur seperti sekarang. Estafet yang berimbang mencerminkan berjalannya perkaderan dan transisi pengetahuan pengelolaan organsasi menjadi tahassus kepemimpinan yang unik di Jawa Timur. Sebanyak 38 Kota/Kabupaten se-Jawa Timur telah bergerak menuju kemajuan. Selamat Milad 104 tahun Muhammadiyah-ku. (*)
Catatan Nugroho Hadi Kusuma, Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting PWM Jatim.