PWMU.CO – Dubes Ini Bahas Falsafah Jawa ‘Wani Ngalah Luhur Wekasane’ pada program virtual Mutiara Nusantara, yang diasuh Prof Din Syamsuddin dan Rashda Diana, Jumat (7/5/21) sore.
Drs Hajriyanto Y Thohari mengemukakan, sebuah ungkapan local wisdom dalam kebudayaan Jawa: ‘Wani ngalah luhur wekasane’ (berani mengalah, akan mulia di kemudian hari).
Duta Besar Republik Indonesia untuk Lebanon itu mengungkap, ada cara membaca yang sedikit berbeda, meski maknanya sama. ‘Ngalah nduwur wekasane’, dimana kata luhur dan nduwur memiliki makna yang sama.
Makna Ganda Luhur “Belakangan Nanti”
Hajriyanto menjelaskan artinya, “Orang yang mau mengalah, menekan egonya, dalam suatu pergaulan atau persaingan, maka dijanjikan justru akan mendapat kedudukan yang lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih luhur pada akhirnya nanti.”
Hikmahnya, lanjut Hajri, orang yang suka mengalah, tidak ngototan, atau tidak memaksakan kehendak—bahkan cenderung mempersilakan orang lain yang lebih ambisius atau ngotot—maka ia mendapat janji memperoleh kedudukan yang lebih tinggi, mulia, dan luhur di “belakangan nanti”.
Istilah “belakangan nanti” atau “pada akhirnya nanti” bisa bermakna ganda. Pertama, belakang dalam kehidupan di dunia ini. Berarti, justru mendapat kedudukan lebih tinggi di dunia ini sebagai upah sikap mengalahnya.
Kedua, di alam akhirat nanti. “Kita mengalah di dunia ini, toh apa yang akan kita kejar di dunia ini cuma sebentar,” ujarnya.
Dia ibaratkan mung mampir ngombe, suwe angunduh kelopo. Maka dari itu, dia menyarankan untuk mempersilakan saja kepada orang lain. “Kita mengalah, dalam arti, nanti di alam akhirat akan mendapat kedudukan yang lebih mulia, luhur, duwur, dan lebih tinggi lagi,” terang dia.
Mengalah Bukan Kalah
Din Syamsuddin lantas berkomentar, “Falsafah ini dalam sekali, walaupun terdiri dari 4 kata!”
Din pun meluruskan, dalam ungkapan itu bukan ‘kalah’, melainkan ‘mengalah’. Menurutnya, melakukannya bukan sesuatu yang mudah. “Tapi keberanian untuk bersikap mengalah itu perjuangan yang menuntut kesabaran, ketabahan, kearifan; tapi tidak kehilangan optimisme dan harapan untuk mencapai kemenangan,” jelas Din.
Justru, tambahnya, mengalah itu ibaratnya mundur selangkah untuk maju dua-tiga langkah.
Indah Kusumaningrum, orbiter pada edisi ini, mengibaratkan seperti main ketapel. “Ketapel itu ditarik dulu ke belakang, kemudian dilepaskan jadi majunya lebih jauh,” terangnya.
Din menyetujui, “Semakin ditarik… Semakin kencang!”
Dia menekankan, falsafah ini baiknya diterapkan dalam konteks yang tepat. Yaitu saat berhadapan dengan pihak kedua, yang jika terus dipaksakan untuk maju akan terjadi konflik yang tidak diharapkan.
“Dalam situasi perang, wani ngalah (berani mengalah) itu mundur dulu untuk menyusun siasat atau taktik. Bila perlu, mengirim wakil untuk berdamai. Kalau terjadi perdamaian, itu suatu kemenangan tertinggi,” ungkap Prof Din.
Dia mengingatkan, “Jangan kemudian kita paksakan diri, boleh jadi kita menang, tapi dengan kerugian besar.”
Sing Waras Ngalah
Rashda Diana ingat masa lalunya saat ibunya mengingatkan, “Diana, sing waras ngalah (yang ‘sehat’ mengalah)!”
Jadi, lanjutnya, saat berdebat, tarik diri untuk bersabar. “Meski kamu benar, biar Allah yang menunjukkan, bukan kamu yang mengakui bahwa kamu benar,” terang dia.
Din memperjelas, “kalau lagi berhadapan dengan orang tak waras, beradu argumen dengan orang tak waras, sudah mengalah saja!”
Wani Ngalah dalam al-Quran
Menguatkan isyarat al-Quran terhadap berani mengalah, Diana mengutip surat al-Anfal ayat 46: “Walaa tanaaza’u fa tafsyalu watazhabarihukum wasbiru innallaha maashabirin.“
Diana lalu menerangkan artinya, “Janganlah kamu ribut bertengkar berdebat yang tidak baik ujungnya, sehingga itu buang-buang energi, dan akan menghasilkan perpecahan dari berdebat tadi.”
Bersabarlah, lanjutnya, karena Allah bersama orang-orang yang sabar. Orang sabar menghasilkan yang terbaik, daripada bertahan memaksakan pendapatnya yang benar. Karena, seumpama orang yang bersalah itu Allah beri petunjuk bahwa dia salah, nanti akhirnya akan minta maaf kepada orang yang tadinya benar dan mengalah.
“Itu lebih indah dan mulia bagi orang yang sabar,” tegas Diana.
Din menyatakan pendapatnya tentang makna ayat tersebut. “Jangan bertikai, berpecah-belah, kamu akan gagal kalau kamu paksakan kehendakmu. Gagal bukan berarti tidak menang, tapi energi habis. Dan kewibawaanmu akan hilang,” jelasnya.
Melihat perintah di akhir ayat itu untuk bersabar, Din menegaskan, “Bersabarlah, tahan ego dan emosi, itulah yang membawa pada kemenangan sejati (tinggi) dan itulah hakikat hidup bersama ini.” (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni