PWMU.CO – Fikih Zakat dalam Semangat Al-Maun dibahas dalam Kajian Virtual Ramadhan, Sabtu (8/5/2021).
Kajian selama bulan Ramadhan yang selenggarakan oleh Yayasan Pondok Pesantren (YPP) Al Fattah Sidoarjo ini mendatangkan Dr H Syamsudin MAg sebagai pembicara.
Falsafah Al-Maun
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya ini menyampaikan konsep harta dan kepemilikan memberikan ruang untuk mendistribusikan seluas-luasnya. Artinya dalam Islam seseorang tidak dibatasi kepemilikannya dan hak penuh dengan harta yang dimiliki, asal yang demikian diperoleh secara halal.
“Kepemilikan ini bersifat semu atau relatif karena pemilikan mutlak harta sesungguhnya adalah Allah. Itulah sebabnya Allah perintahkan manusia untuk melakukan tindakan intervensi harta yang dimilikinya maka ia tidak boleh menolaknya dan itu merupakan konsekuensi dari iman,” jelasnya.
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim itu menjelaskan, kewajiban zakat bagi orang beriman pada antitesis tradisi jahiliah. Yaitu orang yang mempunyai banyak harta akan mempunyai kedudukan yang terhormat dan justru karena itu ia layak dihormati. Pun sebaliknya pandangan jahiliah orang yang tidak pantas dihormati jika tidak mempunyai harta.
Dalam hal ini, lanjutnya, direkam dalam al-Quran Surat al-Fajr 15-16 yang menjelaskan manusia apabila mengalami kemakmuran hidup maka ia mengatakan, ‘Tuhannku memuliakanku’. Tapi apabila diuji dengan kemelaratan mereka mengatakan ‘Tuhannya menghinakannku.’
Sehingga, kata Syamsudin, dalam al-Quran Surat al-Maun tolak ukur kehormatan seseorang ada pada keterlibatannya dalam kemanfaatannya terhadap sesama.
Sebalikknya, sambungnya, disebutkan dalam surat tersebut dikatakan pendusta agama atau tidak percaya hari pembalasan jika orang tersebut menelantarkan anak yatim dan tidak punya usaha memperbaiki taraf hidup orang miskin, sehingga tidak mempunyai manfaat.
“Memberi bukan meminta, itulah yang dikatakan falsafah al-Maun,” tandasnya.
Arti Zakat
Syamsudin menjelaskan zakat menurut lughawih mempunyai arti bermacam-macam.
Pertama, salah satunya zakat artinya suci. Disebutkan dalam al-Quran zakat berarti menyucikan jiwa manusia. Allah perintahkan kepada nabinya untuk memungut zakat. Dikatakan zakat itu menyucikan orang yang zakat maksudnya mensucikan dan membersihkan jiwanya.
“Karena sifat dasar manusia sangat ananiyah individualisme dan posesif terhadap hartanya dan setiap orang mempunyai sifat seperti itu. Bahasa Jawa-nya kedunyan.,” tuturnya sambil tersenyum.
Dia mencontohkan, “Seperti anak kecil yang saya tes umur sekitar dua tahunan, yang saya kasih roti kemudian kita minta lagi sedikit. Maka anak tersebut bilang ndak mau.
Dia lalau bercerita, “Ada sahabat Rasulullah bertanya, ‘Duhai Rasulullah! Sedekah apakah yang pahalanya paling besar?’ Nabi menjawab, ‘Bersedekah sementara dirimu masih sehat, tamak harta, takut miskin, dan punya cita-cita hidup mewah.‘”
Dalam keadaan itu, kata Syamsudin,, jika bersedekah maka ia luar biasa karena berhasil mengalahkan sifat individualistis terhadap hartanya.
Dia berencerita: suatu hari suami istri datang membawa sertifikat tanah berupa rumah dan toko yang jika ditotal senilai Rp 10 miliar. Orang tersebut ke kantor Muhammadiyah berniat mewakafkan hartanya.
Sambil berkaca-kaca dia berkata, “Pak saya punya rumah dan tanah banyak yang saya dapat dengan menabung sedikit demi sedikit dan letak sangat strategis menghadap masjid dan saya sangat cinta. Saya bertekat memotong cinta saya dengan wakafkan hartaku ke Muhammadiyah.”
“Itulah contoh seseorang yang mewakafkan sesuatu sedang ia sangat mencintainya. Seperti yang dijelaskan nabi kepada orang yang bertanya tadi,” komentar Syamsudin.
Zakat Bermakna Barakah
Kedua, lanjut Syamsudin, zakat bermakna barakah yang memiliki arti tumbuh berkembang. Menurutnya, orang tidak akan miskin bangkrut dikarenakan sedekah asal ia percaya Allah. Karena menurut Allah baik belum tentu menurut akal manusia juga baik. Sesuai dalam al-Quran surat al-Baqarah 276 yang artinya:
“Allah susutkan harta riba dan tumbuh kembangkan harta yang disedekahkan atau dizakati.”
Dia mencontohkan jika kita me-rentalkan uang maka uang akan berkembang. Misalnya ada orang pinjam uang satu juta dalam tempo satu bulan harus bayar satu juta dua ratus ribu. “Itu namanya berkembang dalam pandangan manusia,” ungkap Syamsudin.
“Sebaliknya kita punya uang satu juta disedekahkan lima puluh ribu, maka uang susut menjadi sembilan ratus lima puluh ribu,” tandasnya.
Ketiga, para ulama mengatakan zakat bermakna ashalah berarti beres. Dalam kajian psikologi ia akan merasakan kepuasan batin yaitu kepuasan yang tingkatannya sangat tinggi.
“Sangat bahagia ketika bisa menolong orang. Itulah yang disebut kepuasan abstrak. Beda dengan kepuasan konkrit yaitu Seperti jika kita memakai pakaian yang mahal, merasa pede dihadapan orang dan akan merasa puas. Itulah kepuasan konkrit karena barangnya ada,” tandasnya.
Lazismu Amil Terpercaya
Syamsudin mengatakan, lembaga zakat seperti Lazismu milik Muhammadiyah sudah menolong banyak orang, seperti yang dialami orang Nasrani di Nusa Tenggara Timur (NTB). Bukan berarti jika tidak beragama Islam, tidak menolongnya. Karena in menyangkut masalah kemanusiaan yang merupakan perintah untuk menjaga kelestarian manusia.
“Demikian juga jika zakat dikelola secara baik dan terorganissasi seperti Lazismu. Subhanallah akan memberikan manfaat dan kekuatan yang sangat besar,” tandasnya. Dan jika bersifat individual tidak akan memberikan energi yang besar.
“Pada banjir Pacitan orang yang kehilangan rumah dan tanah. Lazismu turun tangan. Ada orang yang wakaf tanah sehingga Lazismu bisa membangun 16 unit rumah untuk korban banjir dan longsor tersebut. Itulah contoh pengelolaan yang baik,” cerita Syamsudin.
Pada kajian melalui Zoom Cloud Meetings ini, Syamsudin memaparkan zakat yang diwajibkan Allah untuk orang-orang yang berhak menerimanya dengan kadar hal tertentu dan memenuhi syarat dan rukunnya.
“Dalam hal ini zakat memiliki aspek mahdhah dan ghairu mahdhah. Aspek vertikal juga horizontal sesuai prosentase dan aturannya,” jelasnya.
Pun juga sesuai perkembangan zaman komoditas harta yang dizakati pada zaman dahulu beda dengan sekarang. Pada literatur fikih pekerjaan jasa dokter, kontraktor, konsultan zaman dulu tidak ditemukan dan tidak dianggap profesi. Tetapi sekarang mempunyai penghasilan tinggi.
“Lawyer pada zaman nabi tidak ada, maka apakah jika tidak ada dalilnya tidak dizakati? Tidak seperti itu, karena dunia sudah berkembang,” tuturnya.
Semacam komoditas burung walet, sambungnya, dahulu tidak memiliki barang ekonomis juga dahulu tidak ada, dan sekarang ada wajib zakatnya.
Zakat Fitri
Zakat fitri—atau umumyan disebut zakat fitrah—artinya zakat yang dilaksanakan atau ditunaikan pada akhir bulan Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri. Kepala keluarga yang ada di tanggungannya harus dibayarkan zakatnya dengan besaran per jiwa satu sha’ yaitu antara 2,5 sampai 3 kilogram.
Dalam kajian yang berdurasi selama satu jam tiga puluh menit ini, Syamsudin menjelaskan orang yang mempunyai kelapangan harta wajib mengeluarkan zakat, sehingga orang yang tidak mempunyai kelapangan harta ketika hari raya bisa merasakan makanan.
Ulama fikih, jeas dia, sepakat zakat menggunakan makanan pokok daerah setempat. Walaupun zaman nabi berupa kurma dan kismis yang tidak perlu proses. Kalau beras perlu proses dan perlu teman minimal sambel. “Hehe seperti ketika saya di pondok dulu,” candanya.
Zakat Fitri setelah Shala Id
Acara yang dimoderatori oleh Zidan Irfan, ini memberikan kesempatan bertanya kepada peserta.
Akun Zoom Ummi Aida mengajukan pertanyaan melalui kolom chat dengan pertanyaan: ‘Bolehkah amil zakat mengelola zakat yang terkumpul tersebut untuk dibagikan tidak hanya berupa beras atau uang. Dan pembagian dilakukan sepanjang tahun.
Syamsudin menjawab, “Boleh, orang yang zakat menyerahkan zakatnya saat akhir Ramadhan. Dan fikih Hanafiah menyerahkan zakat kepada penerima zakat sebelum sholat Idul fitri itu hanya sebuah anjuran saja,” jawabnya.
Lembaga amil Lazismu, sambungnya, menyerahkan kepada penerima sesuai kebutuhannya. Tidak mungkin membagi dalam waktu singkat semalam. Tetapi zakat fitri tetap difokuskan pada fakir miskin juga untuk kebutuhan hari berikutnya karena butuh makan setiap hari.
“Dan pendistribusian bisa diperpanjang sesuai kebutuhan lapangan bisa untuk biaya sekolah atau kebutuhan lainnya,” jelasnya.
Akun Azriel Ulya bertanya,”Manakah yang lebih afdhal zakat fitri berupa uang atau beras?
Syamsudin menjawab : Ulama Syafii harus pakai beras. Tapi di Muhammadiyah zakat boleh berubah uang. Jadi lebih baik mana? Jawabannya sama saja. (*)
Penulis Kusmiani Editor Mohammad Nurfatoni