PWMU.CO – Din Syamsuddin: Jaga Fitrah Anak dengan Pendidikan Holistik. Prof M Din Syamsuddin MA PhD menyampaikannya pada Silaturrahim Ramadhan 1442, Ahad (9/5/21) pagi. Penyelenggaranya Forum Komunkasi Kepala Sekolah Muhammadiyah (Foskam) SD-MI Jatim.
Bertema Mengantarkan Generasi Islam Sukses Dunia-Akhirat, lebih dari 170 wali siswa kelas VI SD/MI Muhammadiyah se-Jawa Timur hadir dalam acara yang digelar secara virtual itu.
Muhammadiyah Kembangkan Holistic Education
Prof Din menyatakan, pada tahun 2010—ketika dia terpilih kali kedua sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah—Majelis Dikdasmen Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam musyawarah nasional menyimpulkan, pendidikan Muhammadiyah sebelum dan ke depan dikembangkan menjadi holistic education (pendidikan yang menyeluruh).
“Tidak hanya pintar secara ilmu pengetahuan, tapi juga harus berakhlak. Tidak hanya pintar menguasai ilmu agama, tapi juga pintar ilmu yang lain, karena semua ilmu berasal dari Allah,” terangnya.
Tidak hanya dalam bidang akademik, lanjutnya, tapi juga dalam bidang keterampilan. Prof Din mengingatkan ini seperti halnya dalam doa yang sering dipanjatkan:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Yaitu, doa untuk menggapai khasanah (kebahagiaan) di dunia dan akhirat, lalu terbebas dari neraka.
Empat Hal Jamin Kebahagiaan Dunia
Tapi Din menyayangkan, tidak banyak yang memahami penjelasan ‘kebahagiaan di dunia’ dalam doa sapu jagat ini. Kemudian dia mengutip doa lainnya:
اَللهُمَّ اِنَّا نَسْئَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ
Din menjelaskan, dari doa ini diketahui empat syarat yang menjamin bahagia di dunia. Pertama, selamat dalam beragama. Kedua, kesehatan. Ketiga, ilmu. Keempat, rezeki.
Dia menerangkan, “Sehat dulu karena kalau tidak sehat tidak bisa menuntut ilmu. Jangan rezeki dulu. Rezeki nomor empat di situ. Rezekinya pun harus yang berkah ya!” tuturnya.
Din lalu menekankan maksud ‘selamat dalam beragama’ pada doa di atas. “Kita amalkan dalam berkehidupan ini harus berdasarkan agama,” jelasnya.
Jangan hidupnya melupakan agama, lanjutnya, seperti tidak mendidik putra-putri—amanat Allah SWT—dengan nilai-nilai agama.
Anak Bawa Fitrah Kemanusiaan
Kemudian, dia mengutip potongan hadits:
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ…
“Bayi yang baru lahir itu dilahirkan atas fitrah kemanusiaan….”
Apakah fitrah kemanusiaan itu? “Kesucian, bebas dari dosa bagai kain putih,” terang pendiri dan pengasuh Pesantren Modern Internasional Dea Malela Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu.
Din pun melanjutkan hadits tersebut:
…فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Kedua orangtuanya lah yang bisa menjadikan anak yang sudah telrahir atas fitrah kemanusiaan yang suci, yang pernah berjanji kepada Allah sebelum diembuskan ke dalam jasad….”
Din lalu bercerita, saat ruh manusia ditanya, “Bukankah aku ini Tuhanmu?” Ruh manusia menjawab, “Ya, kami benarkan Engkau Tuhan kami.” Inilah, lanjutnya, syahadat pertama kita umat manusia.
Anak Bisa Menyimpang dari Fitrahnya
Din menjelaskan, begitu manusia itu lahir, bisa jadi menyimpang dari fitrah kemanusiaan dan syahadat pertamanya. Siapa yang bertanggung jawab? “Kedua orangtuanya!” tegasnya.
Din lalu melontarkan pertanyaan kepada Ketua Majelis Dikdasmen PWM Jatim Dr Arbaiyah Yusuf MA yang hadir juga pada forum itu, “Mana yang kuat, faktor dasar atau faktor ajar?”
“Faktor ajar,” jawab Arbaiyah.
Din sepakat, “Berdasarkan hadits tadi, yang mempengaruhi adalah faktor ajar!” ungkapnya.
Faktor dasar, lanjutnya, dibawa anak sejak lahir. Seperti potensi dan bakat. “Tapi faktor ajar—keluarga, masyarakat, sekolah—itu bisa menentukan,” jelas dia.
Pendidikan, Perkuat Faktor Ajar
Din bersyukur para wali siswa yang hadir telah menitipkan anaknya ke sekolah Muhammadiyah, “Insyaallah para pendidik, pimpinan sekolah, memegang amanah itu,” ucapnya.
Dia menekankan betapa pentingnya pendidikan, terutama pendidikan agama, sebagaimana dalam al-Quran an-Nisa ayat 9:
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
Din menjelaskan, kaum beriman itu khawatir jika meninggalkan generasi setelahnya (anak-cucunya), generasi yang lemah. “Kalau ada orang Islam (Muslim) yang tidak ada rasa kekhawatiran adanya generasi lemah, itu imannya lemah,”
Kekhawatiran yang Din maksud berupa takut anaknya sesat, tidak bisa mandiri dalam hidupnya, atau melanjutkan kehidupannya dengan baik.
Din mengutip ujung surat al-Ahzab ayat 70:
اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ
Dia lalu menjelaskan, pada ujung ayat itu terdapat perintah untuk bertakwa kepada Allah, di mana manifestasi takwanya adalah memperhatikan pendidikan anak. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni