Kisah Orang-orang Berpuasa oleh Bekti Sawiji, penulis.
PWMU.CO– Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelummu agar kalian bertakwa.
Al-Baqarah ayat 183 itu sangat populer dibacakan hampir di setiap ceramah Ramadhan. Ayat itu menyeru orang-orang beriman untuk berpuasa. Faktanya, respon manusia atas seruan itu bermacam-macam sikap dan prinsipnya.
Dari situlah kita dapat mengetahui seseorang itu benar-benar beriman, pura-pura beriman, atau benar-benar tidak beriman. Bisa kita amati di lingkungan kita kisah orang-orang berpuasa.
Dulu saya bertetangga dengan seorang petani. Di malam-malam Ramadhan, dia tidak pernah absen shalat Isya dan Tarawih berjamaah di mushala. Shalat, dzikir, dan doanya sangat khusyuk seperti lazimnya aura malam Ramadhan.
Tetapi betapa terkejutnya ketika bertemu dia keesokan harinya. Sambil menuntun sapi untuk membajak sawah, di sela jari kanannya terselip sebatang rokok lintingan. Rokok itu menyala. Sesekali rokok itu diisapnya sambil terus berjalan. Asap tebal keluar dari mulutnya hingga menyelimuti muka dan kepalanya. Kemudian terhembus angin.
Ah, ternyata petani yang khusyuk shalat Tarawih itu merokok di pagi hari. Mungkin saja petani itu menganut fikih bahwa merokok tidak membatalkan puasa karena tak termasuk kategori makan dan minum.
Ada lagi tetangga yang berpuasa saat di rumah. Di hadapan anak dan istri. Di luar rumah, kakinya melangkah ke warung kopi. Pilih tempat duduk di dalam yang tak terlihat orang. Mengobrol bersama orang-orang penikmat kopi di pagi hari.
Orang-orang ini termasuk golongan yang berprinsip: puasa itu kewajiban, nyeruput kopi pagi menikmati hobi.
Orang-orang seperti ini tetap tenang menjalankan prinsipnya. Justru orang berpuasa yang melihat mereka menjadi gelisah. Lekas-lekas menghindar agar tak terlihat. Bukan apa-apa, orang yang berpuasa merasa tidak nyaman jika mereka tahu bahwa tidak berpuasanya diketahui orang.
Berkah Ramadhan
Ada lagi yang aneh. Warung-warung yang saat di luar Ramadhan biasanya sepi pembeli, masuk bulan Ramadhan pembelinya malah membeludak. Di siang hari.
Meskipun warungnya dipasang tirai tapi pengunjungnya bisa diketahui ramai dari kendaraan yang parkir di depannya. Atau kaki-kaki pembeli tampak berjajar di bangku panjang warung.
Ustadz Abdul Somad menyebutnya sebagai warung hantu karena orang di luar hanya bisa melihat kaki-kaki tanpa tubuhnya. Warung ini ramai waktu sarapan dan makan siang.
Tergelitik pertanyaan. Apakah Allah juga menurunkan ”berkah” Ramadhan kepada warung ini?
’Keimanan’ pengunjung warung ini bertingkat. Orang yang mantap ’iman’ langsung terang-terangan masuk abaikan orang-orang. Percaya diri kelas dewa.
Pengunjung warung yang ’kurang beriman’ masuk dengan ragu-ragu. Tengok kanan-kiri, depan dan belakang. Kondisi aman, langsung duduk di warung. Dengan helm dan masker masih di kepala.
Puasa Bedug
Saya juga mendapatkan cerita dari tetangga. Suaminya hari itu puasa bedhug. Tertawa mendengarnya. Jenis puasa ini untuk anak-anak kecil yang masih belajar berpuasa. Waktu bedhug Duhur terdengar, anak-anak itu makan. Lalu lanjut puasa lagi hingga Magrib.
Lha ini orang sudah berjenggot minta puasa bedhug. Tahu alasannya? Karena tidak sempat makan sahur. Dia pun mengambil solusi paling gampang. Ambil ’fikih’ puasa bedhug.
Ada cerita unik dari teman kantor. Dia bercerita, suaminya jarang berpuasa. Alasannya, mengidap penyakit maag. Bila puasa, maagnya kambuh. Diberi dalih bahwa puasa bisa menyembuhkan maag, malah ngotot tak percaya. Kalau perutnya perih, dia makan. Tak peduli dia, apakah perih benar-benar sakit maag ataukah perihnya orang lapar.
Orang-orang macam ini juga tak mau tahu bunyi fikihnya. Bahwa kalau dia meninggalkan puasa hari itu maka harus qodho di hari lain. Ya tetap harus puasa lagi. Mestinya kalau dia cerdas ingin bebas puasa, ada cara yang lebih syar’i. Bayar fidyah ke orang-orang miskin.
Berpuasa memang diserukan buat orang-orang yang beriman. Namun kita temui kisah orang berpuasa yang aneh-aneh ini. Semoga puasa kita diterima oleh Allah swt. (*)
Editor Sugeng Purwanto