Tuntunan Rasulullah ketika Hari Raya Idul Fitri oleh Ustadz Mubarok ‘Ainul Yaqin, Anggota PCIM Arab Saudi.
PWMU.CO – Rasulullah ﷺ dan umat Islam kali pertama kali menggelar perayaan hari raya Idul Fitri pada tahun kedua Hijriiah (624 M) atau dua pekan usai Perang Badar (17 Ramadhan).
Disebutkan, para sahabat menunaikan shalat Idul Fitri pertama dengan kondisi luka-luka yang masih belum pulih akibat perang. Bahkan, sampai Nabi ﷺ bersandar pada Bilal RA, ketika menyampaikan khutbahnya.
Hingga kini, Idul Fitri telah dilakukan kaum Muslimin sebanyak kurang lebih 1440 kali. Di setiap daerah dan negara, umat Islam memiliki tradisi masing-masing untuk merayakan dan mengisi hari raya itu.
Bagaimana tuntunan Rasulullah sendiri dalam menyambut dan merayakannya?
Memperbanyak Takbir
Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) Allah atas petunjuk-Nya kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (al-Baqarah 185).
Perintah bertakbir d iatas bersifat am’ (umum) untuk setiap Muslim, baik tua muda, laki perempuan, anak kecil. Jumlah takbirnya juga tak terbatas. Waktu dan tempatnya terserah, bisa di mushala, pasar, rumah atau jalan. Sembari membersihkan rumah, berjualan, memasak atau yang lain (sesuai kaidah ushul, al’am fil asykhosy ‘am fil hal wa zaman walmakan).
“Hiasilah hari rayamu dengan takbiran” (Talhis habir : 2/605)
Adapun bentuk susunan takbir pada permulaan lafadz yang ditarjihkan oleh Majelis Tarjih yaitu dua kali yaitu:
الله أكبر ، الله أكبر
لا إله إلا الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد
(Tuntuanan Ibadah Ramadan hal 58)
Jika dibanding dengan Idul Adha yang sampai berhari-hari, takbiran di lebaran Idul Fitri cuma sebentar. Mulai terbenam matahari pada malam 1 Syawal sampai shalat Idul Fitri. Kurang lebih sekitar 13 jam dalam setahun.
Maka, sebaiknya malam yang sebentar itu diisi dengan takbiran. Bukan ikut-ikutan saja, tapi karena menjalankan perintah Allah لتكبّروا الله (agar kalian mengagungkan Allah)
sembari terus menghadirkan niat dalam hati.
Memakai pakaian terbaik dan parfum
Termasuk amalan sunah pada hari raya adalah berhias diri dengan pakaian yang bagus, dan tidak berlebihan. Memang setiap pergi ke tempat ibadah kita sudah dianjurkan untuk selalu berpakaian indah
خذوا زينتكم عند كل مسجد_ .
Akan tetapi ada tuntunan khusus saat lebaran, yaitu berhias. Sahabat Umar pernah menawarkan pakaian bagus yang dibelinya dari pasar untuk baginda Nabi, agar dipakai khusus di hari lebaran dan menerima tamu. Akan tetapi beliau menolaknya, karena ia terbuat dari sutera (lihat : Bukhari, 948).
Imam Al-Bukhari meletakkan hadis itu dengan judul Bab Tentang Dua Hari Raya dan Berhias di Dalamnya.
Rasulullah ﷺ juga memiliki jubah khusus yang beliau gunakan untuk Idulfitri dan Idul adha, juga di hari Jumat.. (HR Ibnu Khuzaimah_ 1766)).
Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan secara tegas bahwa beliau menyuruh mereka di hari raya untuk menggunakan pakaian yang paling bagus dan wangi-wangian yang bagus yang mereka temui atau miliki pada hari lebaran.” (HR Alhakim 256/4).
Jadi memakai baju spesial Lebaran memang boleh, ada tuntunannya, bahkan bernilai pahala jika diniatkan ittiba’ bukan riya’. Dan ingat redaksinya, pakaian terbaik yang kita miliki, alias bukan terbaru yang kita miliki.
أمرنا أن نلبس أجود ما نجد
Adapun mandi khusus sebelum shalat Idul Fitri, memang belum ditemukan hadits yang shahih, yang sampai kepada Rasulullah ﷺ (at-tamhid 266/10). Akan tetapi beberapa atsar dari sahabat diantaranya Abdullah bin umar, Ali bin Abi thalib selalu membiasakan mandi sebelum shalat Id (al-Muwatho’_1/177).
Sehingga ulama sepakat menyimpulkan bahwa mandi sebelum shaolat Idul Fitri adalah perkara baik (Bidayatul Mujtahid 216, al-Istidzkar 7/11).
Mengerjakan Shalat di Tanah Terbuka
Rasulullah ﷺ selalu keluar pada hari Idul Fithri dan Idul Adha menuju mushala (lapangan) …” (HR Bukhari : 956, Muslim : 889). Beliau belum pernah shalat ied di mesjid nabawi kecuali sekali, yaitu ketika turun hujan ( Zadul Maad (1/425)
Di antara hikmahnya adalah agar terkumpul kaum Muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat termasuk wanita yang berhalangan.
Imam Syafii berkata. “Telah sampai hadis kepada kami bahwa Rasulullah keluar untuk melaksan shalat ied ke musholla (lapangan terbuka) kecuali ada udzur hujan dan sejenisnya.” (al-Umm 1/207)
Dianjurkan Makan sebelum Shalat Ied
Sebelum berangkat ke tempat shalat, dianjurkan untuk makan kurma dalam bilangan ganjil. Jika tidak ada kurma, dapat diganti dengan makanan apa saja. Di antara hikmah makan sebelum sholat idul fitri adalah untuk menepis anggapan atau keyakinan bahwa tidak boleh berbuka sesuatu sebelum shalat Idul fitri (Fathul Bari 2/442).
Anjuran makan ini bersumber dari riwayat bahwa: “Rasulullah ﷺ tidak pergi untuk melakukan salat Idulfitri sampai beliau memakan tujuh buah kurma.” (HR Bukhari 953)
Pergi dan Pulang dengan Rute Berbeda
Mengambil jalan yang berbeda saat pergi dan pulang dari shalat Idul Fitri adalah sunnah yang dianjurkan, sesuai dengan Hadits, “Nabi ﷺ ketika hari raya mengambil jalan yang berbeda .” (HR Bukhari 986).
Ada beberapa alasan mengapa Nabi Muhammad ﷺ mengambil rute yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari shalat Ied.
Disebutkan oleh Ibnul Qoyyim di antaranya untuk menampakkan syiar Islam, untuk menyapa kepada penduduk di sepanjang jalan tersebut (Zadul Maad 1/449).
Imam nawawi menyimpulkan: “Meski tak diketahui secara jelas tujuannya,tapi yang pasti (mengambil rute yang berbeda) adalah sunah Rosulullah.” (Raudhatu Thalibin (2/77)
Mengambil jalan yang berbeda, tentunya akan bertemu dengan orang yang berbeda pula. Sehingga semakin banyak kebahagiaan, keceriaan yang dapat disebarkan dengan sapa, salam, senyuman, dan silaturrahim.
Menampakkan Kebahagiaan
“Cukupilah mereka (orang-orang miskin) dari meminta-minta di hari ini (Idul Fitri).”
Pesan tersirat ﷺ di atas, bertujuan agar semua berbahagia di hari raya. tidak boleh ada umat Islam yang kekurangan, kelaparan. Sehingga semua bisa merasakan kebahagiaan di hari itu.
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.”( Yunus 58)
Mengekpresikan kebahagiaan di hari lebaran boleh dengan cara masing-masing selama tidak mengandung maksiat, tidak mengganggu atau menimbulkan madhorot kepada orang lain.
‘’Biarkanlah mereka bermain wahai Abu Bakar.” Rasulullah ﷺ menegur Abu Bakar ketika menghardik dua wanita remaja yang sedang bersenandung dengan menabuh rebana merayakan Idul Fitr.
“Teruskanlah wahai Bani Arfida!” Perintah Nabi saat melihat sebagian sahabat memainkan permainan tombak di areal masjid di tengah suasana Id dan mengizinkan Aisyah untuk menyaksikannya.
لتعلم اليَهُودُ أَنَّ فِي دِينِنَا فُسحَةً
… agar orang Yahudi tahu bahwa di dalam agama kita ada kelonggaran, keceriaan. (Ahahihul Jami 3219)
Bergembiran di hari Lebaran ini bukan hanya melepas lelah setelah beribadah, namun juga berpahala menghidupkan syi’ar. Ibnu Hajar Asqalani mengatakan:
إِظْهَار السُّرُورِ فِي الْأَعْيَادِ مِنْ شِعَارِ الدِّينِ
” Mengekspresikan kegembiraan di hari hari ied adalah salah satu syiar di dalam agama.” (Fathul Baari 2/443).
Sehingga tak seyogyanya menampakkan kesedihan, seperti kesedihan yang mendalam dengan kepergian Ramadhan. Karena sunnah Idul fitri adalah kegembiraan dan kebahagian (الفرح والسرور) bukan ( الحزن)
Dengan penuh rasa bangga, Nabi ﷺ tegaskan:
إن لكل قوم عيدا وهذا عيدنا
“Sungguh Setiap kaum mempunyai hari raya sendiri , dan hari ini adalah hari raya kita.’’ (HR Bukhori 94).
Akhirnya, kalau Ramadhan adalah momen untuk memperbaiki hubungan dengan Allah (hablumminallah), hari raya ini adalah saat yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan sesama, orangtua dan kerabat (habluminannas).
Sungguh, memiliki hubungan yang baik dengan Allah dan sesama adalah kunci kebahagiaan hidup dunia akherat .
Allah berfirman: “Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka mau ber-hablumminallah dan ber-hablumminannas.” (Surat Ali Imran 112).
Selamat berhari raya! Selamat berhabluminannas!
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا مِنْكُمْ
Taqabbalallaahu minnaa wa minkum. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni