Basa-Basi Silaturahmi Idul Fitri, Baperin Hati? Ditulis oleh Sayyidah Nuriyah, Guru SD Muhammadiyah 2 GKB Gresik (Berlian School).
PWMU.CO – Usai shalat Idul Fitri, kaum Muslimin kompak berbondong-bondong menyambung tali silaturahmi dengan tetangga, sahabat, dan kerabat. Kegiatan ini sudah jadi tradisi. Tidak lengkap prosesi berlebaran jika tanpa silaturahmi
Ajang silaturahim paling mudah dan murah, dimulai saat di lokasi Shalat Id. Sejak khutbah berakhir, berlanjut melipat mukenah (bagi Muslimah) dan sajadah (bagi Muslim). Ada yang langsung menyempatkan bersalaman dengan “tetangga” shalat kanan-kirinya. Karena mereka yang terdekat saat itu.
Tulus Lantunkan Ungkapan Khas Lebaran
Syukur-syukur jika benar-benar bertemu tetangga, teman, atau kerabat yang dikenal. Alhasil bisa mempercepat “halal bi halal” dengan mengucap: “Taqabbalallahu minna wa minkum“, “maaf lahir batin”, atau “minal aidzin … (kadang diucapkan dalam versi lengkap dengan menambahkan …wal faidzin)”.
Meskipun, kata para ulama tidak ada ungkapan khusus untuk merayakan hari raya Idul Fitri, tapi sekali lagi, sudah jadi tradisi yang diperbolehkan. Maka, terlantunlah ungkapan-ungkapan khas Lebaran itu menggantikan lantunan gema takbir.
Kalau dulu—sebelum pandemi membatasi—ada yang menambah dengan cium pipi kanan-kiri. Juga senyum ikhlas berseri-seri. Tapi kini, dengan melekatnya masker, senyuman tulus itu hanya tampak dari kerutan di sisi mata.
Jangankan cium pipi, menjabat tangan saja berganti “salaman jarak jauh”: mengatupkan tangan di depan dada. Tak apa, itu semua tak mengurangi esensi silaturahim di lokasi pertama: tempat Shalat Id.
Yang terpenting, mau saling menyapa dan memaafkan, baik di bibir maupun sampai dalam hati, sejak di hari nan fitri sampai nanti bertemu Ramadhan lagi.
Obrolan Basa-basi
Sayang, kadang tak berhenti pada ungkapan-ungkapan syar’i khas lebaran itu saja. Karena begitu guyubnya orang-orang Indonesia, berlanjutlah pada obrolan basa-basi untuk mengisi pertemuan kilat pascashalat Id tersebut. Mumpung bertemu, kali ya!
Beribu sayangnya lagi, obrolan basa-basi ini juga sering muncul di lokasi-lokasi silaturahmi selanjutnya. Berulang-ulang terucap. Sepertinya sudah jadi bagian tradisi, sepaket. Kurang afdhal jika sudah terlanjur bertemu, tapi tidak tahu kabar “kondisi pribadi” terkini. Sepakat?
Misal: “Kok gemukan (atau kurusan) ya? Sudah lulus sekolah? Lulus kuliah? Bekerja? Naik pangkat dan… gaji, eh! Sudah menikah? Sudah punya momongan? Sudah menambah anak? Anaknya sudah bisa apa saja? Anaknya sudah punya anak? Anaknya anak sudah lulus-kerja-menikah … dan seterusnya.”
Kadang, penyampaiannya dengan (menurutnya) lebih halus. “Skripsinya sampai mana? Undangannya (menikah) mana? Mana calon (istri atau suami)-nya? Kenalkan calonnya dong! Itu si sulung kelihatannya sudah pengin punya adik, yakin nggak nambah?”
Tak jarang, komentar-komentar menggelitik mengiringi pertanyaan-pertanyaan itu. “Lama juga ya kuliahnya, kamu jarang bimbingan mungkin, jadi lama lulusnya! Sudah umur segini, masak belum nikah-nikah, keburu tua lho! Anaknya baru dua gitu, nambah momongan lagi aja.”
Demikian kurang-lebih yang ringan terucap, tapi ternyata jejaknya sampai menggores hati sang lawan bicara. Bikin baper istilah kekiniannya.
Pesan untuk Kaum Muda Anti-Baper
Wahai para sasaran basa-basi-bikin-baper, pada lintas generasi itu rentan muncul beda gaya komunikasi. Sebab beda pola-pikir dan corak kebudayaan yang menyertai. Maka, wajar jika tak mudah membangun komunikasi yang menyenangkan.
Dengan para kerabat dari generasi pendahulu itu membuka pembicaraan basa-basi, inginnya untuk menjaga ikatan persaudaraan yang lama berjarak waktu, lokasi, dan kesibukan masing-masing. Bukan untuk ikut mencampuri urusan pribadi. Mereka tentu percaya pada kemampuanmu menimbang dan memutuskan perkara pribadi.
Sebab, bisa jadi, sebagian kecil mereka terlalu sibuk untuk mengikuti tren budaya terkini. Tak tahu apa lagu, film, buku, atau wajah teknologi khas anak muda kekinian. Apalagi game online yang jadi magnet pelajar hingga pekerja untuk mengobati bosannya rutinitas sehari-hari. Mereka belum mengenal itu pada zamannya.
Kini yang lebih penting bagi mereka adalah menularkan nilai kebaikan pada generasi selanjutnya dan terus memahami hakikat kehidupan. Magnet perhatian mereka, bagaimana keluarganya tetap bertahan sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat kelak. Dan yang terpenting, bagaimana semakin mendekatkan diri pada Ilahi, agar tak lupa jalannya kembali.
Jangan berharap jika obrolan yang muncul saat silaturahmi itu tentang apa yang kita suka dan harap. Kadang apa yang jadi harapan kita terlalu asing bagi mereka. Kadang, apa yang mereka tanyakan jadi pengingat, agar terus semangat memperbaiki diri. Bukan untuk wujudkan pertanyaan dan saran-kritik mereka, karena kendali hidup sepenuhnya pada masing-masing diri.
Biarkan basa-basi itu menjadi pemantik untuk melejit dan bangkit. Jika terlalu sakit, bisa jadi memang basa-basi itu butuh kita dengar, lalu saring kemudian. Agar saran yang baik kita upayakan, sedangkan cara penyampaiannya kita jadikan pelajaran untuk tidak dilanjutkan.
Dan karena mereka sedang basa-basi, tidak serius, maka jawaban paling tepat adalah canda yang sopan. Lihatlah bagaimana mereka melontarkan tanya dan komentarnya dengan canda, maka jawaban bercanda itu pula yang pantas mengimbangi.
Kalaupun terlanjur masuk hati, ingatlah kini sedang dalam nuansa yang fitri. Menerima dan memaafkan noda di hati tentu lebih indah dari menangisi basa-basi. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni