PWMU.CO – Waspada Islamophobia dari Sesama Muslim. HE Dr Lalu Muhammad Iqbal—Duta Besar RI untuk Turki sekaligus perwakilan di Diasporamu (Diaspora Muhammadiyah) Eropa—membahasnya pada Syawalan bersama Diaspora Muhammadiyah Eropa, Ahad (16/5/2021).
Diaspora Muhammadiyah (Diasporamu) Eropa menyelenggarakan halalbihalal virtual itu dengan mengangkat tema Diasporamu Eropa sebagai Lokomotif Penguatan Islam Berkemajuan untuk Mencerahkan Semesta.
Iqbal—sapaan akrabnya—menerangkan, berdasarkan statistik—kalau semua situasinya sama dan tidak ada hal-hal signifikan yang berubah—maka lebih dari 50 persen populasi di Eropa pada tahun 2035 adalah Muslim.
Tapi, menurutnya ada yang lebih penting dari angka statistik itu. “Sampai tahun itu nanti, apa yang perlu kita lakukan?”
Bangun Kosmopolitanisme Islam di Sesama Muslim
Pertama, menurut Iqbal, bagaimana teman-teman PCIM di Eropa bisa mengembangkan kosmopolitanisme Islam di Eropa. Sebab, sekarang teman-teman Muslim dari berbagai negara dan berbagai mazhab yang berbeda bisa bersatu karena ada “common enemy”: non-Muslim.
Ketika nanti Muslim sudah menjadi mayoritas, lanjutnya, mulai akan muncul proses seperti ini, “Yang Asia Selatan merasa lebih Islam daripada Asia Tenggara, Asia Tenggara merasa lebih Islam daripada Timur Tengah.”
Iqbal memprediksi masa itu akan tiba, maka dia mengimbau untuk mengantisipasi mulai dari sekarang. “Teman-teman PCIM perlu melakukan interaksi lebih dalam dengan teman-teman Muslim dari berbagai negara,” sarannya.
Tujuannya, lanjut Iqbal, supaya membangun benang merah di antara Muslim-Muslim yang berbeda mazhab dan latar belakang kultural. “Sehingga kita tampil satu: sebagai Islam yang kosmopolitan itu tadi,” tuturnya.
Artinya, Iqbal berharap PCIM ikut membantu mewujudkan satu pemahaman yang sama mengenai Islam. “Bahwa ada benang merah yang sama, ini penting sekali dibangun. Saya kira PCIM bisa mulai ikhtiar ke arah itu untuk membangun wajah Islam yang lebih kosmopolitan yang kita persiapkan nanti ketika Islam sudah menjadi mayoritas di Eropa,” jelas dia.
Waspadai Islamophobia dari Sesama Muslim
Iqbal ingat cerita penasihat presiden di Turki—juga seorang pengamat interfaith dan seorang doktor yang sekuler—tentang Islamophobia di Eropa.
Bagi Iqbal, yang mengkhawatirkan bukan Islamophobia di kalangan non-Muslim, melainkan justru di kalangan Muslim. “Karena itu, dalam al-Quran menyebutkan betapa bahaya orang munafik: orang Islam yang memiliki Islamophobia terhadap Islam sendiri,” ujarnya.
Menurut Iqbal, orang munafik seperti ini jauh lebih berbahaya daripada “musuh”. Lalu, dia menegaskan agar tidak takut terhadap Islamophobia di kalangan non-Muslim.
“Karena sudah jelas mereka itu non-Muslim, belum dapat hidayah. Kalau mereka punya persepsi yang buruk tentang Islam ya sudahlah, memang mereka non-Muslim. Jadi nggak usah baper!” tutur Iqbal.
Dakwah Teladan untuk Non-Muslim
Iqbal mengimbau agar tidak reaktif terhadap Islamophobia di kalangan non-Muslim. Justru karena mereka belum percaya pada kebenaran Islam, maka menurutnya PCIM perlu melakukan dakwah kepada mereka. Tapi, dia menegaskan cara dakwahnya tidak boleh emosional.
Iqbal kemudian mengajak untuk melihat statistik jumlah pengikut Rasulullah pada periode Makiyyah (Mekkah). Ternyata, jauh lebih banyak yang masuk Islam karena uswatun hasanah, yaitu melihat model atau teladan Nabi Muhammad SAW.
“Bukan karena dakwah atau ceramahnya, tetapi karena contoh yang diberikan oleh Nabi,” terangnya.
Jadi, lanjut Iqbal, teman-teman sekarang yang berada di Eropa itu berada pada periode Makiyyah. Maka, yang paling efektif untuk melakukan dakwah di Eropa saat ini ke non-Muslim adalah menunjukkan keteladanan yang baik. “Uswah hasanah itu perlu ditunjukkan!” ucapnya.
Iqbal mengimbau agar PCIM bisa menjadi teladan. “Teman-teman PCIM perlu jadi teladan di tengah masyarakat Eropa yang kehilangan orientasi, yang sudah mulai mengalami kejenuhan sosial,” tuturnya.
Menurut Iqbal, dalam kondisi itu, mereka sedang mencari model dan nilai baru yang bisa mereka jadikan pegangan. “Kalau teman-teman bisa jadi uswah hasanah di Eropa, maka mereka bisa memilih Islam karena mendapat hidayah dari melihat teladan kehidupan teman-teman tersebut,” jelasnya.
Iqbal menekankan, Islam atau cara berdakwah yang reaktif (menggunakan kekerasan), yang dogmatis, tidak laku lagi.
Dia kembali menegaskan, “Sekali lagi, jangan baper kalau ada non-Muslim menghina Islam. Yasudahlah, itulah sebabnya mereka disebut non-Muslim, karena mereka belum percaya kepada kebenaran kita. Karena mereka belum mendapat hidayah. Karena mereka belum menemukan identitas Islam. So bring the beauty of Islam! Begitu mereka menemukan itu, Insyaallah mereka akan menemukan hidayah.”
Modelling agar Terdaftar Badan Hukum Setempat
Pada kesempatan ini, Iqbal juga menanggapi cerita Ketua PCIM Jerman Raya Mohammad Rokib MA yang sedang berusaha mendaftarkan PCIM Jerman Raya ke pemerintah untuk dilegalkan
“PCIM Jerman juga mendaftarkan diri ke pemerintah untuk dilegalkan sejak Februari, namun prosesnya ternyata tidak mudah,” ujar Rokib.
Kemudian, Iqbal berbagi pengalamannya saat ditempatkan di Austria dan mengasuh pengajian di sana yang sekarang sudah legal. “Alhamdulillah pengajian itu sudah terdaftar dan memiliki badan hukum di Austria,” ujarnya.
Dia menjelaskan, dengan menjadi badan hukum setempat, maka bisa mendapat pengakuan dan boleh membuat sekolah. “Sekolah Minggu kita menyebutnya, itu sekolah TPA paling top di dunia karena yang mengajar calon-calon doktor semua,” ungkap Iqbal.
Termasuk, lanjutnya, Rangga Almahendra—suami Hanum Salsabiela Rais—ikut mengajar di sana.
Kemudian, Iqbal menambahkan, boleh melakukan fund raising (penggalangan dana). “Di semua festival-festival yang ada, kita boleh buka warung, tanpa kena pajak,” kata dia.
Jatahnya lalu dijual ke pihak ketiga, kemudian dibagi hasil. Kegiatan ini masih berjalan hingga sekarang. Bahkan, teman-teman di Austria sudah mulai membeli masjid di sana.
Melihat besarnya manfaat yang diperoleh setelah menjadi badan hukum setempat itu, Iqbal mendorong PCIM Jerman dan Swiss untuk meng-copy paste model bagaimana upaya Austria untuk menjadi sebuah badan hukum.
Mengingat, mereka menggunakan bahasa yang sama; Iqbal menduga hukum di Jerman, Swiss, dan Austria tidak jauh berbeda. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni