PWMU.CO – Muhammadiyah dirikan masjid di Eropa? Haedar: Bukan Hal yang Mustahil. Hal itu mengemuka dalam Syawalan bersama Diaspora Muhammadiyah Eropa, Ahad (16/5/21).
Topik itu muncul saat posisi Muhammadiyah dalam konstelasi di Eropa dibahas Duta Besar RI untuk Inggris Raya 2016-2020 HE Rizal Sukma PhD.
Bagaimana menempatkan Muhammadiyah dalam konstelasi di Eropa? Hal ini, menurut Rizal, penting sebagai bagian dari formulasi operasionalisasi dari program internasionalisasi di Muhammadiyah.
Rizal menyatakan, menempatkan Muhammadiyah dalam konstelasi di Eropa bisa dalam beberapa dimensi. Yaitu dimensi pemikiran, identitas, ideologi, serta agenda dan aktivitas.
Dimensi Pemikiran
Untuk pemikiran, lanjutnya, harus mencari tahu dulu apa yang menjadi isu utama dalam cara pandang orang Eropa terhadap Islam umumnya. Di sini, Muhammadiyah bisa memberikan identitasnya ketika mampu mengartikulasikan pemikiran Muhammadiyah. Misal, mengenai negara, konsep toleransi, pluralisme, demokrasi, HAM, dan seterusnya yang kurang dikenal.
“Lingkungan yang mengenal gerakan-gerakan dan pemikiran-pemikiran Islam sudah sangat sedikit. Apalagi lingkungan yang mengenal pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, lebih sedikit lagi,” ungkap Rizal.
Dimensi Identitas
Rizal menjelaskan, dimensi identitas ini terkait bagaimana Muhammadiyah menjadi teladan. Dia mencontohkan, Muhammadiyah tidak akan pernah menghina-hina polisi. Keteladanan baik seperti inilah yang menurut Rizal harus ditunjukkan di luar negeri.
Dimensi Agenda
Mengenai agenda, Rizal menyatakan dua agenda Muhammadiyah yang sebenarnya luar biasa, tapi orang luar tidak tahu. Misal, melalui pendidikan memberi kontribusi pada pengentasan kemiskinan.
“Bagaimana ya, kita itu takut dibilang riya, jadi diplomasi publiknya buruk. Ini yang perlu kita rumuskan,” terangnya.
Jadi, lanjutnya, membangun narasi berdasarkan studi, bukan berdasarkan emosi, penting untuk bisa dikenal di luar negeri. Ini yang harus diformulasikan melalui pusat diplomasi publik. “You tell your story (katakan kisahmu)!” tuturnya.
Syiar Inspirasi Kebaikan
Rizal mengungkap, Indonesia, tidak hanya Muhammadiyah, kerap dikritik banyak orang di luar negeri sebagai bangsa yang paling buruk dalam menceritakan kebaikan dirinya.
Dia lalu ingat pengalamannya pada tahun 2004-2005. Bersama Din Syamsuddin, dia aktif membantu korban di Aceh. Sedikit berita menolong itu muncul di televisi, tapi banyak “ayahanda” di daerah yang mengirim pesan, mengingatkan jangan sampai riya.
“Tidak perlu diceritakan apa yang sudah kita lakukan dalam menanggulangi bencana,” ujarnya menirukan sesepuh Muhammadiyah saat itu.
Padahal, tujuan Rizal bukan riya. Justru syiar bagaimana membuat orang lain supaya tetarik berbuat kebaikan seperti yang Muhammadiyah lakukan. Ada tiga yang sudah dilakukan dalam upaya syiar ini.
Pertama, meliput di UK saat KBRI mengundang para dosen datang ke Inggris untuk menulis jurnal-jurnal ilmiah dan dibiayai.
Kedua, mulai sekarang bisa mengajak yang ada di Eropa untuk masuk di Indonesia, bekerja sama dengan PTM (perguruan tinggi Muhammadiyah) untuk mengembangkan sektor-sektor yang memang sangat dibutuhkan oleh Indonesia.
Ketiga, generasi milenial membantu membuat konten-konten yang cocok dengan kebutuhan informasi di banyak negara Eropa. Kontennya mengenai apa yang telah Muhammadiyah lakukan.
Pemikiran-pemikiran itu, ungkap Rizal, disyiarkan melalui podcast singkat, video clip, dan lain sebagainya. Produksi bahan diplomasi publik bisa PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah) lakukan.
PR Bertambah, Tanggapan Haedar Nashir
Haedar Nashir langsung menanggapi, “Jadi PR-nya tidak hanya menyusun blue print dan road map , tapi juga perlu bikin pemikiran lengkap dalam bentuk buku atau lainnya.”
Dia menegaskan bahasannya terkait Muhammadiyah dan pluralisme, demokrasi, HAM, serta toleransi. “Jangankan di tingkat dunia, di Indonesia saja masih ada orang yang tidak paham,” katanya.
Bahkan, dia mengatakan orang Muhammadiyah sendiri ada yang tidak paham, serba menolak pluralisme. Padahal saat mengkaji isu-isu strategis, sudah menegaskan mana yang ditolak dan mana yang diterima.
“Sebab kita tidak mungkin bisa mendiplomasikan Muhammadiyah kalau tidak ada bahannya, kan?” tuturnya.
“Tiga bahan ini penting, kalau perlu biaya nanti kita dukung supaya tidak ada kesulitan,” ujar Haedar.
Perlu Mendirikan Masjid?
Kemudian, Pemandu Acara Yosi Ayu membacakan pertanyaan dari perwakilan PCIM UK RS Bekti, di kolom komentar, “Apakah kita perlu mendirikan masjid di luar negeri sebagai pusat dialog Islam berkemajuan?”
Yosi melanjutkan, dia mengacu pada dakwah Ustadz Shamsi Ali. Beliau berhasil mendirikan pesantren dan masjid yang menjadi mercusuar dakwah tersendiri di Amerika.
Menurut Haedar, hal ini mungkin dilakukan pascapandemi. “Nggak masalah, tinggal prioritas. Kalau di Eropa, di mana dulu?” ujarnya.
Sebab, kalau membangun masjid di semua negara tentu memerlukan biaya. “Di satu negara dulu,” tutur Haedar.
“Nanti setelah Covid-19 lah, karena memberikan dana itu juga tidak mudah sekarang. Semua sedang mengencangkan ikat pinggang,” ungkapnya.
Ke depannya kenapa tidak? “Kita sudah punya satu markas dakwah di Kairo, nanti satu masjid di Eropa saya pikir bukan sesuatu yang mustahil,” ujarnya optimis.
Haedar lalu menyarankan alternatif lain, dengan membeli gereja yang dijual. Jadi, formatnya, menurut Haedar, bisa macam-macam. Dia mencontohkan seperti Masjid al-Hikmah di Den Haag yang juga dari gereja. “Tapi ya juga harus hati-hati dan jangan gembira juga kalau beli gereja,” tuturnya.
Haedar menegaskan, membangun masjid di Eropa sangat memungkinkan jadi rencana ke depan, tapi mana yang lebih strategis sebagai prioritas. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni