Haedar Nashir: Semuci Bukan Sifat Terpuji

Haedar Nashir: Semuci Bukan Sifat Terpuji (Tangkapan layar Mohammad Ikhwanuddin/pWMU.CO)

PWMU.COHaedar Nashir: Semuci Bukan Sifat Terpuji. Halalbihalal semestinya bisa menjadi momentum untuk mereduksi watak anāniyyah (egoisme) pribadi dalam berorganisasi dan bermasyarakat.

Sembari bergerak bersama dan seirama, menjadikan aktivitas di amal usaha Muhammadiyah sebagai ibadah merupakan karakter penting yang perlu kita refleksikan di Idul Fitri ini.

Demikian salah satu pesan yang disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir MSi dalam acara virtual Halalbihalal Sivitas Akademik UMSurabaya, 19 Mei 2021. Pada kesempatan itu, seluruh dosen, karyawan, dan beberapa diaspora Muhammadiyah turut hadir.

Jangan Semuci

Haedar Nashir mengingatkan sikap semuci atau merasa diri suci, bukanlah karakter terpuji. Pembersian diri (tazkiyyat al-nafs) memang penting dan perlu, namun jika hal itu disertai dengan perasaan semuci, hal itu justru yang dilarang.

“Surat an-Najm 32 yang memberikan larangan itu berupa ‘wa lā tuzakkū anfusakum‘ (janganlah kamu menganggap dirimu suci), layak untuk kita renungkan dalam halalbihalal,” ujarnya.

Dia menerangkan, jika karakter tidak semuci itu bisa timbul, maka sikap anāniyyah akan tereduksi, sikap mau meminta dan menerima maaf akan mudah terjadi, dan semangat untuk bisa bekerja bersama akan mudah terjalin.

Dari sinilah, lanjutnya, keberadaan kita bersama orang lain tidak hanya perlu secara fisik, namun juga diirngi perjumpaan secara hati.

“Berjumpa tapi tak bertemu,” kata Prof Haedar, bisa jadi terlihat berjabat tangan dan bersama namun hati tidak dalam satu frekuensi. Kelihatan bersama, tapi justru yang terjadi taḥsabuhum jamīan, wa qulūbuhum syattā (al-Hasyr 14): engkau mengira mereka bersatu, padahal hati mereka terpecah-belah.

Suasana halabihalal virtual UMSurabaya (Tangkapan layar Mohammad Ikhwanuddin/pWMU.CO)

Fitri, Fitrah, dan Fuṭūr

Idul Fitri memang berarti perayaan fitrah. Beberapa kalangan, mengartikan “Idul Fitri” sebagai kembali pada Fitrah. Haedar Nashir tidak menampik pengertian itu. Hanya saja, dalam bahasa Arab, bentuk maṣdar dari kata kembali (عاد) itu bukan al-Īd (العيد), tapi al-‘aud (العود) dan iyādah (العيادة) (kamus al-Munawwir: 982).

Maka, kata Haedar, idul atau īd yang bentuk pluralnya al-a‘yād, itu perayaan. Jadi Idul Fitri itu perayaan fitrah—sebuah perayaan yang lazimnya dilakukan dengan gembira. Gembira karena telah diperkenankan berbuka puasa (al-fiṭr, al-ifṭār). Di sanalah letak kebahagiaan (farḥtah) Muslim yang telah berbuka puasa. Kebahagian yang lain adalah berkaitan dengan perjumpaan kita pada Allah.

Haedar Nashir melanjutkan dengan mengutip hadits dari Abi Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ

“Bagi orang yang berpuasa, ada dua kebahagiaan. Kebahagian karena berbuka puasa, dan kebahagian saat bertemu dengan tuhannya.”

Hadis tersebut ada dalam al-Bukhari No.7492. Al-Bukhari juga meriwayatkan dalam jalur transmisi sanad lain, pada No. 1904, dengan tambahan fariḥa bi ṣaumihi, seseorang merasa senang dengan puasanya saat bertemu dengan Allah.

Artinya, terang Haedar Nashir, dalam Idul Fitri, ada makna transedental yakni pertambahan kedekatan kita terhadap Tuhan. Di sinilah signifikansi makna al-fitrah sebagai penciptaan (al-ibtidā’) dan agama, sunnah (al-dīn wa al-sunnah) (al-Munawwir: 1063). Bahwa fitrah penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah, sebagaimana pesan dalam al-Dzāriyāt 56.

Beibadah kepada Allah, pesan Prof Haedar, akan lebih bermakna jika ibadah yang kita lakukan melahirkan sikap iḥsān, berbuat baik kepada orang lain. “Itulah dimensi positif dari halalbihalal. Dan itu pula makna gerakan dakwah Muhammadiyah yang menyantuni dan mengayomi orang lain,” jelas dia.

Secara lebih khusus, Prof Haedar Nasir memberikan pesan kepada rektor dan seluruh sivitas akademik Universitas Muhammadiyah (UMSurabaya) untuk menjadi pilar strategis atas kemajuan Muhammadiyah.

Karena bagi dia, instrumen penting dalam kemajuan Muhammadiyah ada di dalam perguruan tinggi. Karena di sanalah, SDM (sumber daya manusia) terdidik telah dan akan selalu muncul. (*)

Penulis Mohammad Ikhwanuddin Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version