PWMU.CO – Mengapa Nakes Disebut Lebih Dekat ke Surga? Hal itu disampaikan dr Slamet Budiarto SH MH Kes pada Silaturahmi Syawalan Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Dengan mengambil tema “Tajdiduniyyah Filantrophy Menguatkan Rumah Sakit Muhammadiyah/Aisyiyah dan Klinik Muhammadiyah/Aisyiyah sebagai Media Dakwah Persyarikatan Muhammadiyah”, acara digelar secara virtual melalui Zoom Cloud Meetings, Kamis, (20/5/2021).
Slamet Budiarto mengatakan menurut khittah, tujuan didirikan rumah sakit dan klinik Muhammadiyah/Aisyiyah itu adalah penolong kesengsaraan umum. Tapi, kita tidak bisa ke arah filantropi tanpa membangun dan memperkuat sisi internal.
Indikator Keberhasilan AUM Kesehatan
Indikator keberhasilan AUM kesehatan adalah social value (nilai sosial) dan juga ada economic value (nilai ekonomi). “Artinya bahwa RS atau klinik utamanya adalah bagaimana social value itu bisa dinikmati masyarakat,” ujarnya.
Slamet Budiarto menjelaskan, indikator sosial value ini bukanlah sebuah gedung yang tinggi atau akreditasi yang tinggi, “Tapi bagaimana masyarakat bisa merasakan keberadaan amal usaha di bidang kesehatan di lingkungan Muhammadiyah,” terang Wakil Ketua MPKU PP Muhammadiyah itu.
Untuk hardwere, sambungnya, kita sudah mampu menunjukkan dengan 113 RS Muhammadiyah yang terbanyak di banding milik Kristen yang hanya 90 RS.
“Tetapi untuk menunjukkan bahwa apakah masyarakat memilih RS Muhammadiyah sebagai tujuan utama, itu yang harus kita perbaiki,” ujarnya.
Ibaratnya kalau di Jakarta ada orang sakit larinya ke RS Islam Cempaka Putih atau RS Islam Pondok Kopi. “Apakah sudah seperti itu atau belum. Artinya mendorong gerakan dakwah kita terhadap masyarakat,” ucapnya.
Dia lalu menyampaikan intospeksi. “Melihat RS, mohon maaf, tanda kutip, non-Muslim atau RS profit yang lain dengan pelayanan yang jauh lebih tinggi ‘islami’-nya dari pada kita, sehingga mereka itu mendapat kepercayaan yang lebih dari masyarakat,” ujarnya.
Jadi, menurutnya, bagaimana kita mengubah budaya sebagai intitusi RS atau klinik yang betul-betul memberi kesan kepada masyarakat bahwa RS kita adalah RS Islam, RS PKU Muhammadiyah. “Kita tidak hanya menunjukkan shalat tepat waktu, puasa, zakat, dan lain-lain,” kritiknya.
Slamet Budiarto menyampaikan, masyarakat itu menilai dari sisi pelayanan, sehingga kita perlu membangun sebuah komunitas di setiap rumah sakit, yaitu komunitas pelayanan PKU penolong kesengsaraan umum yang sesungguhnya.
“Bagaimana kita memperbaiki pelayanan kita: rumah sakit, klinik Muhammadiyah/Aisyiyah untuk kembali ke tujuan awal pendirian PKU Muhammadiyah,” ucapnya.
Manusia yang Paling Baik
Slamet Budiarto mengutip hadits Thabrani: “Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang bermanfaat bagi manusia.”
Dia menjelaskan baiknya apapun kita di RS kalau tidak bersikap ramah, maka kita di anggap tidak ada kebaikan.
“Jadi ini adalah rangkaian kita membangun RS dan klinik Muhammadiyah,” jelasnya.
Direktur RS Islam Pondok Kopi Jakarta ini menjelaskan, dokter, perawat, bidan, apoteker, tenaga kesehatan lain, dan tenaga penunjang punya kesempatan yang sangat banyak untuk bisa masuk surga. Di antara alasannya, setiap hari nakes (tenaga kesehatan) menolong orang susah atau sakit, ikhtiar menyelamatkan nyawa manusia, ikhtiar menyembuhkan penyakit, dan dibutuhkan oleh orang banyak.
“Jadi kita nakes harus bersyukur bahwa kita punya kesempatan lebih dari profesi lain, sehingga lebih dekat dengan Tuhan kita selama kita memenuhi beberapa persyaratan dibanding profesi lain,” ucap Wakil Ketua IDI Jakarta itu.
Menurutnya, nakes setiap hari melayani orang susah. Kalau ini dimaknai sebagai sebuah pekerjaan dengan penuh ibadah dan kebaikan, maka kita justru lebih dekat dengan Allah SWT, dibanding dengan profesi lain.
Nakes Diuji
Dokter Slamet Budiarto menlanjutkan, di era Covid-19 ini dokter, perawat, apoteker, analis laboratorium, dan nakes lainnya, serta tenaga non-nakes yang menangani dengan maksimal pasien Covid-19 balasannya ada dalam Surat al- Maidah ayat 32: “Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia.”
“Ini kita diuji bukan banyaknya kita mengelola penyakit pasien Covid-19, tetapi bagaimana kita bersungguh-sungguh menyelamatkan jiwa manusia yang kena sakit Covid-19,” ujarnya sambil mengutip data angka kematian Covid-19 di Indonesia mencapai 2,7 persen atau lima tertnggi di dunia.
“Di India saja, sambungnya, yang sekarang lagi meledak itu angka kematian Covid-19 adalah 1,7 persen. Artinya apa? ada apa di Indonesia, kalau semua dokter dan tenaga kesehatan serta tenaga penunjangnya mengacu pada kita memelihara kehidupan seorang manusia, maka dia akan seperti memelihara kehidupan seluruh manusia.” tegasnya.
Ini. sambungnya, adalah introspeksi kita bagaimana merawat pasien Covid-19 di ICU yang sudah dekat dengan kematian. Bagaimana kita bersungguh-sungguh untuk menyelamatkan nyawa manusia. Ini adalah PR kita semua.
10 Penyakit yang Merusak Nakes
Slamet Budiarto mengatakan ada 10 penyakit tenaga kesehatan yang merusak pahala. Pertama sombong. Kenapa sombong karena merasa dibutuhkan oleh orang lain dan merasa ilmunya tinggi.
Yang kedua tidak diniatkan ibadah tapi hanya rutinitas bekerja mencari rezeki. Ketiga tidak bersungguh-sungguh mengobati pasien.
Keempat kurang ikhlas melayani pasien BPJS karena tarifnya kecil. “Jadi kurang ikhlas dalam menangani,” sentilnya.
Kelima, membedakan pelayanan antarpasien. Pasien miskin dan pasien kaya dibedakan. Keenam tidak ramah terhadap pasien dan rekan kerja.
“Ketujuh sulit dihubungi pasien apalagi dokter yang keren dimintai telpon aja muter-muter ndak dikasih,” sindirnya.
Kedelapan jarang minta maaf terhadap pasien. Kesembilan kurang empati terhadap pasien. Dan terakhir menarik jasa medis terlalu mahal.
Bekerja sebagai Ibadah
Slamet Budiarto menurutkan sudah saatnya tenaga medis dan tenaga kesehatan serta tenaga penunjang menjadikan tempat bekerja sebagai tempat ibadah.
“Bagaimana caranya kita biasakan mulai dari diri sendiri mulai direktur sampai clining service kita niatkan sebagai tempat ibadah. “Jangan disia-siakan karena kematian itu dekat saat di era pandemi Covid-19 ini,” ujarnya.
Dia mengajak membiasakan di lingkungan rumah sakit itu senyum. Juga mengajak dokter proatif, tidak menunggu. Langsung datangi dan ditanya apa yang bisa saya bantu termasuk dokter pun bisa melakukan itu. “Ini adalah pelayanan kita menuju ke filantropi. Kita sekarang bukan aamannya untuk sombong,” ujarnya.
“Nah apakah ini sudah kita biasakan seluruh tenaga kesehatan dokter, perawat, bidan, selalu minta maaf apabila datang terlambat. Kita harus menganggap pasien kita adalah aku, keluargaku, dan temanku. “Aku peduli, aku layani, aku hormati sepenuh hari,” pesannya.
Menurutnya, tanpa menganggap pasien sebagai saya, kelurga saya, dan teman saya, pasti pelayanannya tidak baik dan kurang optimal. “Jadi semboyan ini harus ada di rumah sakit,” kata dia.
Kemudian lanjutnya, RS juga harus diangap sebagai tempat beribadahku sehingga bisa bekerja menyenangkan, bahagia, dan ikhlas. “Ini harus tertanam betul di staf kita mulai dari clining service sampai direktur,” tegasnya.
Dia menekankan, mendirikan RS Muhammadiyah itu adalah untuk menolong kesengsaraan umum. Itu nomer satu. Bukan berlomba-lomba mendirikan gedung yang tinggi. “Iya betul mendirikan gedung yang tinggi sesuai kebutuhan, tetapi lebih penting lagi pelayanan kita adalah membantu orang kesusahan,” ujarnya mengingatkan.
Kemudian indikator lain adalah economic value, kita melakukan social value tapi RS kita tidak berlanjut itu juga tidak baik. Keuntungannya bagaimana ya dikembalikan lagi ke kebutuhan soaial untuk professional dalam pelayanan. “Jangan berlomba-lomba untuk mendapatkan uang dimasukkan deposito. Harusnya karena tujuan kita adalah PKU uang dikembalikan lagi ke sosail,” tuturnya.
Dia juga mengingatkan, memberikan kesejahteraan kepada karyawan itu adalah salah satu ibadah juga, termasuk memberikan jasa medis, dan lain-lain kalau ada uangnya.
“Jadi kesimpulannya, mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan sesuai surat al-Baqarah ayat 148,” ujarnya. (*)
Penulis Slamet Hariadi Editor Mohammad Nurfatoni