PWMU.CO– Gerakan Reformasi telah mengubah wajah demokrasi di Indonesia dari otoriter menjadi terbuka. Namun perkembangan demokrasi pada rezim sekarang ini malah memburuk yang ditandai dengan penguasaan pemerintahan dan ekonomi oleh oligarki.
The Economist Intelligence Unit (EIU), Februari 2021 mencatat indeks demokrasi Indonesia pada skor 6.3. Ini merupakan angka terendah yang diperoleh Indonesia dalam kurun waktu 14 tahun terakhir. Dari keprihatinan ini alangkah baiknya kita melihat kembali kilas baik lahirnya demokrasi agar cita-cita reformasi tak diselewengkan penguasa.
Di Istana Negara, 23 tahun yang lalu, 21 Mei 1998 pukul 09.00, Presiden Soeharto membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai presiden setelah 32 tahun berkuasa.
”Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998,” kata Soeharto datar.
Setelah itu Wakil Presiden BJ Habibie maju membacakan sumpah dan janji sebagai presiden. Sesuai pasal 8 UUD 1945, Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Pergantian kepemimpinan berjalan sederhana dan lancar.
Peristiwa itu disiarkan luas oleh semua televisi sebagai puncak gerakan Reformasi yang dipimpin Amien Rais dan demonstrasi mahasiswa. Benar-benar menandai lengser keprabonnya Soeharto dari singgasananya sejak dia dikukuhkan menjadi presiden oleh MPR tahun 1966.
Selesai serah terima jabatan presiden, dengan wajah tanpa ekspresi Soeharto menyalami Habibie dan pejabat lain kemudian pergi meninggalkan istana dikawal putrinya Mbak Tutut pulang menuju rumahnya untuk madeg pandhita menikmati masa tuanya.
Mundurnya Soeharto di atas tampuk kekuasaannya dilatarbelakangi sederet peristiwa berdarah-darah, perlawanan rakyat, dan pengkhianatan pejabat dalam gerakan Reformasi.
Kilas Balik
18 Mei 1998, Ketua DPR/ MPR Harmoko setelah Rapat Pimpinan DPR pukul 15.20 di Gedung DPR mengharapkan kemunduran Presiden Soeharto dari jabatannya secara arif dan bijaksana.
19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang para ulama dan tokoh masyarakat dikoordinasi Nurcholis Madjid. Presiden Soeharto mengumumkan selekas mungkin mengadakan reshuffle Kabinet menjadi Kabinet Reformasi dan membentuk Komite Reformasi.
Sore hari Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita ditemani Menperindag Mohamad Hasan dan Menteri Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng melaporkan aksi penjarahan dan pembakaran yang mengakibatkan rusaknya jaringan distribusi ekonomi.
20 Mei 1998, 14 menteri bidang Ekuin sepakat tidak bersedia menjabat dalam Kabinet Reformasi lewat surat.
Malam Soeharto bertemu dengan mantan Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno. Pukul 23.00, Soeharto memanggil Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadillah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menyampaikan menyerahkan kekuasaan presiden kepada Waprs BJHabibie besok pagi 21 Mei 1998.
Di luar itu demonstrasi mahasiswa dan rakyat memberi tekanan kepada pemerintah. Apalagi aparat keamanan bertindak keras sehingga timbul korban mati dan luka.
8 Maret 1998, menjelang Sidang Umum MPR, mahasiswa mengawali demonstrasi menuntut perbaikan ekonomi dan Soeharto lengser dan jangan dipilih lagi. Terjadi kekerasan aparat sehingga mahasiswa di Yogya Moses Gatutkaca meninggal.
10 Maret 1998 ternyata Sidang Umum MPR memilih Soeharto dan BJ Habibie sebagai presiden dan wapres untuk periode 1998-2003.
11 Maret 1998 unjuk rasa besar-besaran mahasiswa di berbagai kota memprotes hasil Sidang Umum MPR.
12 Mei 1998 empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal ditembak aparat keamanan. Selain itu 600 demonstran terluka saat bentrok dengan aparat keamanan.
13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan rasial dan pembakaran di Jakarta.
18 Mei 1998, demonstrasi mahasiswa menguasai gedung MPR/DPR. Situasi buruk makin menekan pemerintah. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto