PWMU.CO – Kreativitas Berlian School Meriahkan Lebaran Ketupat, Ini Filosofinya. Guru dan siswa SD Muhammadiyah 2 GKB Gresik (Berlian School) belajar membuat kerangka ketupat dan memaknai filosofinya.
Menjadi bagian masyarakat Jawa, guru Berlian School ikut memeriahkan tradisi Lebaran Ketupat yang biasanya dirayakan tanggal 7 Syawal. Hal umum jika sebelum pandemi, makan ketupat—lengkap dengan kuah opornya dan makanan ringan pendamping khasnya: lepet—bersama di sekolah. Tapi, kali ini, masih dalam suasana pandemi Covid-19, kegiatan itu tidak berlaku lagi.
Di masa pandemi yang serba terbatas, makan prasmanan bersama termasuk kegiatan terlarang di tempat kerja. Sehingga, guru yang sudah mulai bekerja di sekolah (work from office) wajib menjalankan protokol kesehatan.
Alhasil, sebagian guru yang telah berbekal ketupat dari rumah itu, makan di ruang kerja masing-masing. Ada yang menyantapnya untuk sarapan, sebagian lain menyantapnya untuk makan siang.
Latih Guru Bikin Kerangka Ketupat dan Menganyam
Tidak makan ketupat bersama bukan berarti tidak menjunjung tradisi tersebut. Guru Berlian School justru memeriahkannya dengan mengikuti pelatihan sebelum menyambut siswa. Mereka belajar bikin kerangka ketupat 3D dari pita plastik dan menganyam ketupat 2D dari kertas lipat.
Mereka sengaja bersiap melatih kreativitas dan kesabaran sebelum mengajar dan membimbing para siswa di kelasnya masing-masing. Peserta pelatihan terdiri dari dua kelompok: kelompok wali siswa kelas I-III dan kelas IV-V. Pelaksanaannya secara serentak pada Rabu, (18/5/21) sore.
Koordinator Kemahiran Hidup Fatma Hajar Islamiyah SPd menjadi pemandu tunggal untuk wali kelas IV-V. Sedangkan, Koordinator Bina Prestasi Devi Ratna Savitri SPd bersama Koordinator Konselor Bimbingan Konseling Zaitun Nailiyah SPsi memandu wali kelas I-III.
Wali kelas I-III tidak mengalami kendala dalam menganyam. Lely—panggilan Zaitun Nailiyah—lega guru-guru cepat memahami panduannya. Dia yakin, mereka siap menyalurkan ilmu dan keterampilan menganyam kepada para siswa. Apalagi, ada orangtua di rumah juga yang mendampingi para siswa.
Uji Sabar dan Telaten
Beda jenjang, beda tantangan. Di tengah mengikuti tutorial dari Fatma, Wali Kelas V al-Cazar Nur Hayati mulai hilang kesabaran. Sambil melepas tautan pita-pita plastik yang ruwet di jemari tangannya, dia menyeletuk, “Aku yakin bisa kalau ini janur! Licin sekali kalau (pakai) pita plastik begini!”
Tak lama setelah itu, melihat guru lainnya masih bingung dan fokus berkutat dengan lilitan pita-pita di jemari mereka, Nur—sapaan akrab Nur Hayati—mencoba merangkai lagi dari awal.
Selang beberapa saat, Mahzumah—perwakilan Tim Pembinaan dan Pembiasaan Karakter—juga tampak bingung. Sambil menoleh ke rekan guru di kanan dan kiri, dia bertanya, “Ustadzah, ujung (pita) yang mana ini yang ditarik selanjutnya?”
Beberapa guru lain juga memutuskan membongkar kerangka pita setengah jadinya dan memulai dari awal. Lilitan pita-pita plastik yang terlalu renggang dan mudah lepas itu menguji kesabaran mereka.
Ika Methasari SPd berkomentar, “Wis angel (susah)! Lah jariku bulat-bulat gini, iya kalau jarinya Ustadzah Fatma kecil-kecil.”
Sontak, seisi ruangan yang awalnya serius dan fokus, langsung mencair dengan tawa mendengar komentar Metha—sapaan akrabnya.
Di sudut lain, Wali Kelas V Giralda Siti Lathifah SPd tampak serius dan santai merapikan kerangka ketupatnya yang sudah jadi. Sejak awal dia tidak mengeluh kesulitan. Melihat Lathifah lancar, rekan-rekan wali kelas V mengucap syukur dan melontarkan canda.
“Alhamdulillah, besok kalau aku masih nggak bisa, anak-anakku tak suruh gabung kelas tutorial Ustadzah Lathifah saja!” ujar Nur Hayati, diikuti gelak tawa seisi ruangan.
Tetap Antusias meski Was-Was
Melihat rumitnya merangkai kerangka ketupat 3D berbahan pita plastik itu, wali kelas V al-Hambra Alindatul Khusnah SPd was-was. “Lah besok anak-anak bisa gak ya? Guru-gurunya saja bingung gini, dari tadi gak bisa-bisa,” ujarnya.
Sang pemandu tunggal, Fatma, menyemangati para wali kelas. Dia mengunjungi dan membimbing wali kelas satu per satu hingga mampu membuat kerangka ketupat.
Fatma mengaku tidak menduga pembuatannya begitu menantang. Sebab, para pesertanya sudah dewasa, bukan para siswa. “Awalnya berekspektasi tinggi karena pesertanya ibu-ibu, ternyata butuh keterampilan,” komentarnya.
Menurutnya, para wali kelas itu sebenarnya bisa, karena pada akhirnya semua keluar ruangan pelatihan membawa sebuah kerangka ketupat karyanya. “Tapi kan jarang membuat, jadi tidak terbiasa merangkainya, harus ssbar dan telaten,” tuturnya.
Terlepas dari itu, Fatma merasa senang melihat antusiasme para peserta. “Meski susah tapi mereka tetap excited (antusias), ada yang sepulang sekolah tetap latihan sendiri di rumah,” ungkapnya.
Di Rumah, Semangat Bikin meski Sakit
Dian Fajar Rahmahyani Aprilia, ibunda Muhammad Uwais al-Qarni kelas I Bima, bersyukur meski anaknya sedang sakit, dia tetap berusaha mengayam sendiri di rumah. “Alhamdulillah mau bikin sendiri, tapi terkadang masih tanya cara menganyamnya,” ungkapnya.
“Saya bilang warnanya harus selang-seling, kuning-biru-kuning-biru,” tuturnya kepada PWMU.CO, Sabtu (22/5/21).
Dia juga antusias karena mendampinginya mudah. “Alhamdulillah, saya kasih tau kalau harus seling seling. Kalau mengguntingnya memang belum bisa lurus,” jelasnya.
Bunda Uwais menerangkan, kedua anyaman ketupat dari potongan origami itu dibuat di waktu yang berbeda. “Itu buatnya satu hari Kamis dan satu hari Jumat,” ucapnya.
Dia sengaja meminta Uwais membuat lagi keesokan harinya untuk mengisi kegiatan di rumah dengan kegiatan yang mudah dan menyenangkan. Dia juga mengaku mudah mencari bahannya.
Belajar Filosofi Kupatan
Para guru juga mendapat bekal materi seputar filosofi di balik ketupatdari Wakil Kepala Sekolah bidang Pengembangan dan Pembinaan Karakter Muhammad Taufiq MPdI. Sehingga, nantinya bisa menjelaskan materi kepada para siswa.
“Bisa memberi pemahaman kepada siswa terkait filosofi dan sejarah munculnya istilah-istilah yang sering terdengar di Indonesia, misal kupatan dan silaturahmi,” harap Taufiq.
Ternyata, lanjutnya, di Timur Tengah kita tidak menemukan tradisi seperti ini. Inilah tradisi unik yang memang ada di Indonesia. Sehingga, dia berharap, nantinya guru bisa mengenalkan Lebaran Kupatan kearifan lokal di Jawa.
“Di samping itu, juga mengenalkan mana yang ajaran agama, mana yang budaya, di mana budaya itu sejalan dengan ajaran Islam,” tuturnya.
Taufiq menjelaskan, pelaksanaan 6 hari setelah Ramadhan—sesuai tradisi di Jawa—merupakan simbol kesempurnaan menjalankan puasa. “Seolah-olah, melakukan ibadah puasa setahun penuh,” ujarnya.
Dia juga menerangkan, ketupat dalam bahasa Jawa istilahnya kupat atau kupatan, ternyata berasal dari bahasa Arab. Yaitu, kaffah atau haffatan (seluruhnya). Karena lidah orang Indonesia, tepatnya Jawa, tidak dapat mengucap dengan fasih, maka istilah populernya kupatan.
Maknanya, jika nilai puasa Ramadhan 1 hari dibalas dengan 10 kebaikan, maka jika 30 hari berpuasa maka mendapat 300 kebaikan. Mengingat dilaksanakan 6 hari setelah Ramadhan, maka 6 hari itu juga dikali 10 kebaikan. Sehingga diperoleh 60 kebaikan.
“Enam puluh kebaikan ini jika ditambah 300 kebaikan diperoleh 360 kebaikan, sama dengan 360 hari atau sama dengan puasa setahun,” terang Taufiq.
Kemudian dia mengutip sabda Rasulullah SAW:
مَن صامَ رَمَضانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتًّا مِن شَوَّالٍ، كانَ كَصِيامِ الدَّهْر
Artinya, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari di bulan Syawal,maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.”
Pahami Makna Halalbihalal
Taufiq menerangkan, halalbihalal berasal dari bahasa Arab, sebagai lawan kata dari haram. Artinya, kegiatan yang dilakukan sebagai bentuk kebebasan dan terbebaskan dari kesalahan dan dosa.
Maka, lanjutnya, ada dua implementasi. Pertama, dihalalkan kembali makan dan minum, setalah diharamkan mulai terbit fajar sampai terbenam matahari selama puasa Ramadhan.
Kedua, menghalalkan hubungan atau silaturahmi. Misal, semula renggang—baik sesama orang tua, keluarga dekat dan jauh, tetangga, maupun sahabat—karena sesuatu kesalahan yang disengaja maupun tidak.
Makna Silaturahmi
Taufiq menerangkan, menyambung persaudaraan di dalam Islam sangat dianjurkan. Dalam Islam mengenal istilah silaturrahmi. Yaitu kegiatan saling mengunjungi dan meminta maaf pada sanak saudara, keluarga, tetangga dan lain sebagainya karena kesalahan yang telah diperbuat, baik sengaja mapuan tidak.
Karena kesibukan di antara kita, lanjutnya, kegiatan silaturrahmi tidak bisa dilakukan setiap saat. Maka momen yang tepat adalah ketika liburan (cuti) hari raya.
“Semua orang diberi hak cuti atau libur pada hari tersebut. Sanak saudara bisa bertemu dan kadang-kadang berkumpul untuk melepas kerinduan,” jelasnya.
Tetapi, kondisi demikian tidak dapat dilakukan dua tahun terakhir karena wabah Covid-19. Tanpa menghilangkan makna silaturrahmi, lanjutnya, kegatan ini dapat dilakukan secara virtual; baik dengan video call, WhatsApp, atau Zoom. (*)
Kreativitas Berlian School Meriahkan Lebaran Ketupat, Ini Filosofinya; Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni