PWMU.CO – Reformasi PBB untuk Hentikan Hak Veto Amerika diusulkan Ketua MUI Bidang Kerja Sama Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Prof Dr H Sudarnoto Abdul Hakim MA.
Dia mengusulkannya pada Pengajian Nasional Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah. Kegiatan ini digelar secara virtual oleh Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (21/5/2021) sore.
Menurut Sudarnoto, perlakuan Israel menjadi peristiwa kelam paling bersejarah di abad ke- 21. Karena, menurutnya secara kasat mata, Israel melakukan genosida. “Ini bukan pertempuran perorangan, tapi penghancuran genosida!” tegasnya.
Peristiwa itu terjadi di ujung bulan suci Ramadhan. Saat umat Islam beribadah di masjid al-Aqsa. Peristiwa ini sudah terjadi di waktu yang panjang. “Apakah kemarin puncak tragedi Palestina? Kita belum tau,” ucapnya.
Dukungan Hak Veto Amerika
Sudarnoto mengungkap, meski Mesir usul menghentikan peperangan, tapi pengalaman sejarah menunjukkan terlampau banyak pelanggaran-pelanggaran ratusan resolusi dewan keamanan PBB yang Israel lakukan.
Dia menyatakan, penyebab Israel melanggar resolusi hukum internasional itu karena mendapat dukungan Amerika yang punya hak veto. Maka, dia menyimpulkan, America is always America (Amerika selalu Amerika).
“Siapapun presidennya tidak jauh berbeda sepanjang itu menyangkut Timur Tengah, khususnya Palestina,” komentarnya.
Sebelumnya, lanjut Sudarnoto, Donald Trump memperburuk situasi dengan tindakan-tindakan atau kebijakan-kebijakan politik yang diskriminatif karena sifat yang rasialis.
Sudarnoto menerangkan, Trump terus menjunjung white supremacy. Di samping itu, pada era itu juga terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran melawan tindakan rasialis di bawah pimpinan Donald Trump. “Ini memperburuk situasi di Amerika di tengah pandemi,” ujarnya.
Komitmen Joe Biden Pakai Hadits
Sudarnoto juga menekankan kebijakan di luar negeri terkait Palestina. Misal, saat Joe Biden menjanjikan langkah-langkah konstruktif terhadap dunia Islam di Amerika. Kenyataannya, menurut Sudarnoto, saat ini tidak bisa terbukti.
Saat itu banyak media massa mengutip pidato Joe Biden karena mengutip hadits, “Man ra-a minkum munkaron fal yughayyirhu biyadih fa in lam yastathi’ fabilisaanih fa in lam yastathi’ fabiqalbih wa dzalika adh’aful iman.”
Artinya, “Barangsiapa menyaksikan kemunkaran dihadapan kita, maka harus ada langkah-langkah kongkrit untuk menghentikan kemungkaran itu dengan kekuasaannya.” Sudarnoto memakai kekuasaan itu sebagai kekuasaan politik, militer, ekonomi, dan sebagainya.
Dia berpendapat, pesan moral yang ingin Joe Biden sampaikan tentu ingin menarik simpati umat Islam. Tapi dalam waktu bersamaan, dia ingin berkomitmen Amerika juga akan berada di garda terdepan dalam menghadapi segala bentuk kemungkaran.
Kemungkaran Global
Menurut Sudarnoto, banyak kemungkaran di tingkat global. “Hari ini, global injustice (ketidakadilan global) sudah terjadi dengan berbagai kemiskinan di berbagai wilayah, termasuk konflik-konflik yang terabadikan di Timur Tengah,” terangnya.
Menurutnya, ini karena ketidakadilan global. Misal, melalui keputusan-keputusan di tingkat internasional. Juga berkaitan dengan upaya negara—seperti Amerika Serikat—melakukan tindakan brutal seperti yang militer Israel tunjukkan.
Kalau Amerika selama ini mengklaim berada di garda depan melawan terorisme global, maka Sudarnoto rasa, Amerika juga harus bertanggung jawab terhadap terorisme yang selama ini Israel lakukan.
“Tapi seperti yang saya sampaikan tadi, Biden tidak melakukan itu,” ungkapnya.
Inilah, yang menurut Sudarnoto membuat situasinya memburuk. Karena veto selalu memotong keputusan-keputusan internasional melalui mekanisme Dewan Keamanan PBB.
Usul Kongkrit, Gerakan Reformasi PBB
Menurut Sudarnoto, harus ada langkah-langkah kongkrit dari berbagai negara anggota PBB untuk melakukan gerakan reformasi terhadap PBB.
“Tranformasi kelembagaan sangat penting, sehingga hak veto sebagaimana selama ini digunakan Amerika, kalau mungkin, bisa dihentikan!” tuturnya.
Dia memaparkan, Perancis atau Inggris pernah usul agar veto diatur sedemikian rupa yang lebih fleksibel. Supaya, tidak menyentuh persoalan hidup mati. Juga agar tidak menyentuh penistaan terhadap kemanusiaan sebagaimana di Palestina saat ini.
Sayangnya, sampai hari ini belum bisa terwujud. “Saya kira pekerjaan besar ke depan—secara politik diplomasi— bagaimana meyakinkan bisa melakukan proses demokratisasi fleksibilitas dalam penetapan veto,” ujarnya Sudarnoto.
Kalau dulu, lanjutnya, sebelum PBB–masih jadi Liga Bangsa-Bangsa—kalau tidak salah ada 15 atau 16 negara yang memiliki hak veto. Sekarang hanya lima.
Menurutnya, untuk merubah konsep veto, ada saja kemungkinannya. “Lantas, bagaimana kemungkinan hal ini diperjuangkan!” tandasnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni