PWMU.CO – Tiga Langkah Lawan Imperialisme Israel ditawarkan Ketua MUI Bidang Kerja Sama Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Prof Dr H Sudarnoto Abdul Hakim MA.
Dia mengajukannya pada Pengajian Nasional Gerakan Solidaritas Palestina dan Politik Timur Tengah. Kegiatan ini digelar secara virtual oleh Lazismu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (21/5/2021) malam.
Spirit Imperialisme Israel
Prof Sudarnoto mengatakan, akar utama persoalan di Palestina adalah spirit imperialisme Israel. Yaitu melakukan okupasi, mengambil tanah Palestina sedikit demi sedikit sejak tahun 40-an.
Dia lantas mengungkap contoh jelas adanya peristiwa pengusiran penduduk. Sebelumnya, Israel juga sudah melakukan ini di berbagai tempat untuk pemukiman-pemukiman baru Yahudi.
Akibatnya, tidak sedikit masyarakat Palestina yang homeless (tidak punya rumah). Belum lagi Israel memblokir sumber airnya, sehingga masyarakat Palestina tidak bisa mengakses air.
Menurutnya, kemiskinan dan kesengsaraan yang masyarakat Palestina alami itu struktural. “Karena dilakukan sebuah negara. Ini tindakan teroris yang harus dilawan, termasuk oleh Amerika!” tuturnya.
Langkah Diplomasi
Prof Sudarnoto menawarkan sejumlah langkah yang bisa dilakukan. Pertama, otoritas negara. Yaitu dengan mengambil langkah-langkah diplomasi. “Ini sudah sering dan sampai hari ini masih dilakukan,” ujar dia.
Menurut Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam UIN Jakarta itu, posisi Indonesia masih penting di lingkungan Asia. Jadi negara-negara Asia harus memadukan energinya. “Supaya sinergi bersatu untuk memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan Israel-Palestina,” harap Sudarnoto.
Manfaatkan Negara Nonblok
Kedua, Indonesia bisa memanfaatkan negara-negara nonblok. Sebab, menurut Prof Sudarnoto, ini ladang yang sangat luar biasa untuk memerankan peran diplomatiknya.
Sampai beberapa hari ini, lanjutnya, pembicaraan-pembicaraan tingkat tinggi telah berlangsung. Misal, ada pertemuan eksekutif Menteri Luar Negeri anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
Pada kesempatan itu, hampir semua menteri-menteri luar negeri (menlu) menyampaikan gagasan dalam pidatonya. “Termasuk menlu kita,” ungkapnya.
Meskipun dia tau, sebagaimana yang diberitakan, tidak semua negara-negara OKI bersepakat alias sepaham dalam satu pandangan.
“Saya setuju dengan pandangan Pak Dubes Hajriyanto yang mengatakan negara-negara Arab itu tampaknya lebih takut ke Iran daripada Israel,” ucapnya.
Meski, tambahnya, tentu saja karena ada alasan-alasan syiah-sunni.
Lantas dia mengatakan, tampak jelas negara-negara Arab Saudi selama ini telah menjalin normalisasi hubungan dengan Israel. “Ini agak menyulitkan posisi Palestina,” komentarnya.
Kemudian, Palestina tampak merasa ditinggal oleh negara-negara itu. Persoalan-persoalan di Palestina ini menjadi semakin rumit. Tidak saja karena faksi-faksi yang ada di Palestina. Tapi juga Hamas yang sudah cukup lama itu juga “berseteru”.
Akibatnya, jadi faktor yang menyulitkan upaya-upaya penyelesaian persoalan Palestina-Israel.
Dia mengungkap, meskipun keputusan terakhir two state solution itu menjadi langkah yang jauh lebih moderat dibanding berbagai alternatif yang diusulkan, tapi Israel tidak menerima two state solution ini dengan sepenuh hati.
Menurut Prof Sudarnoto, posisi Indonesia untuk mempertahankan two state solution jadi bagian penting. “Tentu saja apa yang saya sampaikan ini jadi bagian otoritas negara,” tuturnya.
Negara, lanjutnya, terus-menerus harus mencoba meyakinkan secara bersama-sama, memadukan sinergi, menyelesaikan persoalan-persoalan di Palestina dan Israel.
Peran Civil Society
Ketiga, peran civil society, seperti Muhammadiyah, NU, dan berbagai kekuatan-kekuatan masyarakat itu menurut Sudarnoto punya peranan sangat penting. Istilah diplomasi kemanusiaan dan diplomasi perdamaian itu menjadi sangat penting dan jadi pilar politik. Menurut Sudarnoto, tampaknya Indonesia memegang teguh hal ini.
Dia menyimpulkan, bagian penting politik luar negeri bangsa Indonesia adalah diplomasi kemanusiaan. Ini sebagai strategi untuk meyakinkan negara-negara yang konflik, negara mana pun, atau komunitas masyarakat internasional mana pun untuk bersama-sama selesaikan krisis kemanusiaan. Misal, karena terjadi bencana atau persengketaan seperti yang terjadi di Palestina dan Israel itu.
Menurutnya, Indonesia telah memperoleh tempat yang sangat baik dalam rangka menjalankan diplomasi kemanusiaan ini. Hal ini tidak terlepas dari peran-peran sangat penting yang juga Muhammadiyah lakukan.
Muhammadiyah Aid—sebagaimana Prof Hilman telah menyebut di sambutannya—menjadi bagian penting. Tujuannya, tidak saja menempatkan posisi bangsa Indonesia ikut menyelesaikan masalah kemanusiaan, tapi dalam waktu bersamaan posisi bangsa Indonesia tetap diperhitungkan.
Karena itu, menurutnya, apa yang dilakukan Muhammadiyah melalui program-program Muhammadiyah Aid atau Lazismu itu mesti dilakukan seiring langkah-langkah diplomatik yang dilakukan negara-negara tadi. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni