PWMU.CO – Tiga Kemenangan Muslim di Bulan Syawal dipaparkan oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Dra Hj Shoimah Kastolani.
Dia menyampaikan saat memberikan tausiah Idul Fitri pada Halalbihalal dan Silaturahmi Idul Fitri 1442 Keluarga Besar Muhammadiyah. Kegiatan ini digelar secara virtual oleh PP Muhammadiyah, Ahad (23/5/2021).
Shoimah Kastolani menyampaikan wajah-wajah yang berseri-seri di bulan Syawal semoga menjadi pertanda bahwa kita termasuk orang yang menang.
“Sesungguhnya orang yang menang adalah mereka yang sudah mendapatkan ampunan atau maghfirah Allah SWT karena telah melaksanakan sebulan penuh ramadhan yang didasari dengan keimanan dan keikhlasan dan mengharap ridha Allah,” ujarnya.
“Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yaitu Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” tambahnya.
Jaga 11 Bulan Berikutnya
Insyaallah, lanjutnya, amal ibadah shaleh yang biasa dilakukan oleh para Muslimin sekalian termasuk kita bersama adalah membentuk karakter kedisiplinan. Dan mudah-mudahan itu akan dipertahankan sampai di bulan-bulan berikutnya sampai di bulan ramadhan lagi.
“Apalagi ketika kemarin di bulan Ramadhan kita menegakkan qiyamul lail, kita bertadarus dan kita juga ber-tadabbur al-Quran. Kita juga bersimpuh bermunajah memohon maghfirah Allah SWT,” ungkapnya.
Menurutnya ini akan menjadikan perhiasan jiwa menjadi jiwa yang bersih. Bulan Syawal mengakhiri bulan Ramadhan bukan berarti kita terhenti mendulang kebajikan, mendulang kebaikan juga amal shaleh. Justru sebaliknya dari itu mulai bulan Syawal ini maka kita akan meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
“Saya ingin mengungkapkan ucapan Umar bin Abdul Aziz yang mengatakan bahwa Idul Fitri bukan milik yang mempunyai baju baru tetapi Idul Fitri adalah milik orang yang takut akan siksa Allah. Idul Fitri bukan milik orang yang mempunyai kendaraan mewah tetapi Idul Fitri adalah milik mereka yang diampuni dosa-dosanya oleh Allah,” kutipnya.
Kemenangan Spiritual
Hakikat Idul Fitri, sambungnya, memang kembali kepada fitri. Kembali kepada kemenangan. Tentu saja fitri dan kemenangan itu akan kita pertahankan pada bulan-bulan berikutnya
“Kemenangan yang bagaimana sebetulnya yang harus kita raih. Saya ingin menyampaikan ada tiga hal. Pertama adalah kemenangan spiritual. Kemenangan spiritual adalah kemenangan jiwa. Jiwa yang bersih. Bersih dari syirik, bersih dari hasad dan dengki serta bersih dari kesombongan. Yang semua insyaallah terkikis ketika bulan Ramadhan kemarin,” urainya.
Tentu saja, ujarnya, kita akan mempertahankan kesucian tersebut sebagaimana Surat asy-Syam ayat 9-10 yang maknanya sungguh telah menang dan beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan merugi orang yang mengotori jiwanya.
“Oleh karena itu orang yang bersih jiwanya Insyaallah akan membentengi diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah, membentengi diri dari penyimpangan dan membentengi diri dari penodaan terhadap aturan-aturan Allah. Sehingga termotivasi kita akan taat kepada Allah,” jelasnya.
“Apabila sifat takwa itu sudah mendarah daging dalam tubuh kita maka kita akan melaksanakan perintah-perintah Allah. Kita akan mengakui atau kita akan mentaati aturan-aturan yang diberikan oleh Allah. Dan insyaallah kita akan menjauhi larangannya pula,” imbuhnya.
Jujur dan Amanah
Bulan Ramadhan, lanjutnya, juga mengajarkan kepada kita, mendidik jiwa kita supaya jujur dan amanah. Ibadah puasa memang ujian kejujuran karena yang tahu hanya Allah SWT.
“Kejujuran adalah sebuah kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Yang pemiliknya apabila mampu mempertahankan kejujuran tersebut maka dia akan menjalankan tugas-tugas yang diamanahkan dengan baik,” jelasnya.
Sifat jujur dan keadilan, menurutnya, adalah tuntutan yang harus diemban oleh seluruh elemen masyarakat. Baik itu sebagai pejabat, pimpinan, hakim, politikus pengusaha, wartawan, akademisi atau rakyat jelata sekalipun.
“Ketidakharmonisan itulah yang nanti akan merusak dari kejujuran dan dari amal-amal kita. Oleh karena itu kalau kita bisa mempertahankan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, jangan sampai terjadi krisis kejujuran, karena akan menjadi kehancuran,” terangnya.
“Ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga pun itu karena diawali ketidakjujuran dari rumah tangga tersebut dan penghuni rumah tangga tersebut. Mungkin juga bisa merusak persyarikatan dan amal usahanya apabila pengelolanya tidak mengedepankan kejujuran,” tambahnya.
Apabila, sambungnya Shoimah, pejabat sudah mampu jujur terhadap rakyatnya. Apabila suami sudah mampu jujur terhadap rumah tangganya. Apabila diri kita sendiri bisa jujur terhadap diri kita dan masyarakat. Apabila pimpinan persyarikatan dan amal usaha bisa jujur dalam mengelola amal usaha ini maka Insyaallah kedamaian yang akan didapatkan.
Kemenangan Emosional
Kedua adalah kemenangan emosional. Kemenangan emosional ini juga disebut kecerdasan emosi. Dan kecerdasan emosi tersebut adalah juga pertanda sabar. Sabar bukan satu kelemahan tetapi sabar adalah suatu kekuatan. Tentu saja juga harus kita pertahankan.
“Dalam sebuah ungkapan Rasulullah bersabda orang yang kuat bukan orang yang selalu menang dalam perkelahian atau dalam berdebat, tetapi orang yang menang adalah orang yang mampu mengendalikan diri di waktu marah,” sitirnya.
Menurutnya kesabaran merupakan karakter yang utama. Puasa dengan membangun kecerdasan emosional adalah sangat dekat sekali. Bisa ditandai ketika kita puasa pun jangan membuat kegaduhan. Dan apabila ada orang yang mengajak bertengkar maka katakanlah ini saya sedang berpuasa.
“Seseorang yang sedang berpuasa akan menahan emosinya sehingga tidak membuat balasan cacian atau dendam, baik itu dalam sikap ucapan maupun di dalam kita pergaulan sehari-hari,” terangnya.
Puasa, lanjutnya, juga bisa merekat jalinan persaudaraan. Empati bisa merasakan kekuatan atau keresahan dari saudara kita yang biasa kita sebut itu adalah gerakan taawun
“Oleh karena itu maka dengan adanya zakat fitri maka sebetulnya Itu diwajibkan bagi semua orang termasuk orang miskin sekalipun. Kalau mereka bisa memberi maka dia bisa merasakan nikmat untuk memberi,” tuturnya.
Kemenangan Intelektual
Ketiga adalah kemenangan intelektual. Kemenangan intelektual ini melahirkan sosok muslim yang menang dan sosok muslim yang terintelektual. Kemenangan ditandai dengan kecerdasan dalam membaca situasi. Yang kemudian memberikan keseimbangan bagi diri dan pemikiran
“Sebagai orang muslim tentu saja kita akan mempertahankan kecerdasan intelektual ini. Selama ini banyak orang yang mengukur kecerdasan intelektual adalah karena bisa melampaui nilai-nilai yang ditentukan. Tetapi kecerdasan intelektual di dalam Islam adalah sesuainya antara kualitas dengan kuantitas,” tuturnya.
Rasulullah, ungkapnya, juga menyampaikan ajarannya kepada kita semua. Orang yang berakal cerdas adalah orang yang mengingat kematian dan mempersiapkan kematian tersebut.
“Dengan demikian kecerdasan emosional di dalam Islam adalah mampu membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Mampu mempertimbangkan mana yang manfaat mana yang madharat. Mengerti pula mana yang hak dan mana itu kewajiban,” tuturnya.
“Juga paham kepada apa dan siapa dia harus berpihak. Kecerdasan inilah sebetulnya yang akan kita persiapkan dan akan kita pertahankan 11 bulan sampai nanti di bulan ramadhan,” imbuhnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.