PWMU.CO – Universitas Aisyiyah Harus Jadi Pusat Keunggulan (center of excellent). Demikian amanat Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir.
Dia menyampaikan itu dalam Silaturrahim Idul Fitri 1442 Unisa Yogyakarta dengan tema Semangat Tajdid Aisyiyah dalam Mengelola Perubahan, Senin (24/5/2021)
Menurut Haedar, tema yang diangkat Unisa Yogyakarta ini menarik, penting dan krusial bagi keluarga besar Muhammadiyah dan Aisyiyah secara keseluruhan. Lebih-lebih bagi PTMA (perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah) khusunya Unisa dengan tiga universitas yakni Unisa Yogyakarta, Surakarta dan Bandung.
Mengawali amanatnya, Haedar mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, semoga keluarga besar Universitas Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta memperoleh rahmat dan hidayat setelah melaksanakan puasa selama satu bulan lamanya.
Unisa Yogyakarta sebagai pelopor kampus Unisa di Indonesia, menurut Haedar, harus selalu terdepan dalam mengelola perubahan, lebih-lebih di era revolusi 4.0 yang sangat luas dan masif ini.
“Perubahan-perubahan itu sangat mempengaruhi seluruh ranah kehidupan kita, bahkan bukan hanya ekonomi, politik, budaya, termasuk pendidikan, tetapi juga pada alam pikiran dan pola hidup masyarakat,” katanya.
Dalam konteks dunia pendidikan, Haedar menyatakan, kita berhadapan dengan realitas globalisasi bahwa setiap lembaga pendidikan di manapun bisa hadir di tengah-tengah kita.
“Monash University misalnya, sudah ada di Bumi Serpong Damai. Nanti sebentar lagi yang lain-lain berdatangan, bahkan mungkin mereka hadir secara otonom,” katanya.
“Mudah-mudahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) di Malaysia bisa segera berdiri tahun ini, sebagai wujud kita merespon globalisasi dengan sikap yang pro aktif, bukan reaktif atau menjadi objek,” imbuh Haedar.
PTMA Harus Beradaptasi
Atas dasar itu, Haedar mengatakan, sudah semestinya PTMA beradaptasi dengan persaingan global itu.
“Bagaimana kita bisa bersaing dengan lembaga-lembaga perguruan tinggi dari negara maju, yang mereka sudah punya pengalaman panjang, jaringan luas dan standar akademik berstandar internasional. Kita dipaksa untuk beradaptasi dengan persaingan itu, suka atau tidak suka,” tandasnya.
Dalam hal diaspora sumber daya manusia (SDM), Haedar juga menuturkan, Indonesia sudah banyak mengirim tenaga kerja ke luar negeri, tetapi belum seimbang antara tenaga fisik dan profesional, padahal dunia luar sangat membutuhkan tenaga-tenaga yang profesional.
“Relasi global seperti ini yang meniscayakan kita untuk merespon perubahan. Apakah SDM kita bisa bersaing? Tenaga kesehatan misalnya. Apakah Unisa siap mengirim lulusannya bertanding, bersaing dengan tenaga tenaga asing?” tanyanya.
Perubahan mentalitas dan pola pikir dalam revolusi sains dan teknologi ini yang menurut Haedar harus dimiliki seluruh warga Muhammadiyah, Aisyiyah lebih-lebih civitas Unisa Yogyakarta untuk menjadi orang-orang yang berkeunggulan, berkemajuan dan memiliki mentalitas untuk bisa bersaing.
“Perguruan tinggi ini kan punya proyeksi, yakni ingin hadir menjadi lembaga pendidikan yang bersifat unggul. Perguruan tinggi yang unggul itu pertama memiliki kemampuan berkompetisi, kedua ketika dikomparasikan tetap berada di depan dan teratas,” tutur Haedar. (*)
Penulis Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni