Relasi Konflik Agama dan Sains oleh Agus Purwanto, Guru Besar ITS.
PWMU.CO– Teolog Kristen berlatar belakang fisika teori, Ian G Barbour, menulis buku When Science Meets Religions: Enemies, Strangers or Partners? Buku ini telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Juru Bicara Tuhan: Sains dan Agama.
Dalam buku itu Ian Barbour menjelaskan empat hubungan sains dan agama. Keempatnya adalah konflik, independen, dialog, dan integrasi.
Relasi yang paling banyak ditemui ternyata relasi konflik agama dan sains. Terkait relasi ini pikiran orang biasanya melayang pada evolusi Darwin dan dihukumnya Galileo Galilei oleh gereja karena mengungkapkan teori heliosentris. Pikiran melayang pada dua peristiwa itu tidak salah tetapi itu bayangan peristiwa yang terlalu jauh. Relasi konflik agama dan sains itu masih ada di sekitar kita saat ini.
Contohnya, saat saya menurunkan tulisan ringan dengan judul 2G: Gempa dan Gerhana yang dimuat PWMU.CO, 24 Mei 2021. Itu saya tulis setelah baru saja terjadi gempa sebagai G pertama, Jumat 21 Mei 2021. Dalam waktu yang tak terlalu lama terjadi gerhana sebagai G kedua, Rabu 26 Mei 2021.
Keduanya adalah fenomena alam tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Gerhana dapat diketahui dan diprediksi secara akurat jauh sebelumnya tetapi gempa tidak. Pada momen gerhana disunnahkan shalat gerhana dan diikuti khutbah gerhana tetapi gempa tidak.
Respon Tulisan
Tulisan tersebut saya share ke beberapa grup WA yang aku sebagai membernya. Ternyata tulisan tersebut malamnya mendapat tanggapan serius via wapri tanpa pengantar sepatah kata pun.
Salah seorang merespon tulisan itu dengan argumentasi seperti ini. Pertama, gempa itu bukan fenomena alam. Semua kejadian di alam semesta memang bisa diteorikan, bisa dirumuskan.
Kedua, tapi bagi jiwa mukmin view hidupnya tidak bertumpu pada data dan angka tapi lebih dari itu ia akan memandang dan menilai segala sesuatu dengan kekuatan iman. Jika hanya bertumpu pada data dan angka apa beda orang kafir dengan orang mukmin.
Ketiga, adalah Aisyah, istri Nabi, yang hafal lebih dari 5.000 hadits, biar kita tidak anggap remeh istri Nabi, saat ditanya perihal gempa, beliau menjawab: Jika perzinaan merajalela, musik telah meluas sebagian atsar yang lain menyebut saat wanita telah kehilangan rasa malunya, maka Allah di langitnya sana marah dan memperintahkan kepada bumi berguncanglah. Saat maksiat berhenti maka bumi diperintah untuk berhenti berguncang. Tapi saat maksiat dilanjutkan maka Allah berfirman: wahai bumi hancurkan mereka.
Keempat, gempa, ada gesekan lempengan bumi. Kita tanya siapakah yang menggerakkan dan memerintahkan agar lempengan bumi itu bergesekan? Mungkinkah terjadi dengan sendirinya?
Menurut saya, jelas ini komentar yang menarik. Setelah saya cek identitas nomor WA ternyata penulis ini anggota grup WA pembina pesantren. Artinya, penulis adalah salah seorang pengasuh atau ustadz pesantren. Saya jadi masygul, kalau pandangan ustadznya seperti ini bagaimana santrinya.
Argumen keempat disebutkan gempa ada gesekan lempengan bumi tetapi di poin pertama disebutkan gempa bukan fenomena alam. Lha, terus dia tahu dari mana kalau gempa itu gesekan lempengan bumi.
Apa karena hadits pada poin ketiga dia sebut bahwa gempa bukan fenomena alam? Dan ditutup dengan pertanyaan gak nyambung dengan isi tulisan 2G.
Menyikapi komentar ini saya hanya komentar singkat: bukan fenomena alam? gesekan lempeng bumi itu bukan fenomena alam? Ini jadi anti sains. Jadi apa yang sampeyan pahami tentang fenomena alam?
Ranah Gaib
Ternyata komentar singkat saya itu mendapat balasan esoknya. Balasannya seperti ini.
1. Menurut kamus, fenomena alam termasuk lafdhul musytarok bahkan ada enam sampai delapan makna. Sering kali saintis yang kerasukan rasionalisme dalam makna menuhankan logika dan akal meneorikan setiap kejadian alam sebagai fenomena alam dalam makna gejala alam yang menegasikan peran dan kehendak Tuhan. Ini sangat bahaya karena ultimate goalnya Tuhan dianggap ‘pensiun’ alias alam semesta berjalan dengan kehendaknya sendiri dan meniadakan kehendak Tuhan.
2. Saya tidak anti sains. Saya bahkan senang buku Nalar Ayat-Ayat Semesta yang menjelaskan tentang 800-an ayat-ayat tentang pengetahuan. Saya juga senang tafsir tentang as-samawaat dengan metode kekinian.
3. Tapi kalau sudah menyentuh ranah gaib seperti hanya gempa yang saintis sendiri mengakui tidak bisa diprediksi kemunculannya, apa salahnya sih kemudian para saintis juga bermarja’ pada bagaimana dalil-dalil naqli tentang itu. Perkataan shohabiyah tentang gempa, perkataan orang-orang saleh tentang gempa ?
4. Tampaknya ada kecendrungan gengsi jika merujuk perkataan mereka? Padahal dari rumusan saintis juga banyak yang trial and error. Bahkan hingga detik ini antara aliran yang geosentris atau heliosentris juga belum menemukan titik temu.
Ternyata menurutnya gempa itu perkara gaib karena tidak dapat diprediksi seperti kutulis. Lebih lanjut dia pun telah apriori bahwa ilmuwan itu gengsi tidak mau merujuk ungkapan orang saleh dan rumusan ilmuwan itu trial and error.
Ustadz ini pun menutup dengan contoh khas geosentris atau heliosentris juga belum menemukan titik temu. Yang terakhir ini nyanyian klasik sebagian sejawat asatidz.
Inilah contoh nyata, aktual dan dekat konflik (pemahaman) agama dan sains. Konflik agama dan sains tidak hanya terjadi di masa lalu di lingkungan Nasrani, melainkan juga saat ini di kalangan sarjana muslim. Saya pun membalas cukup panjang tulisan itu sebagai berikut.
Dalam sains itu ada yang namanya confidence level teoritisasi dan prediksi fenomena gerhana itu hampir 100 persen, sedangkan fenomena alam seperti gempa itu diketahui dengan derajat lebih rendah. Contoh tsunami sebagai ikutan gempa.
Tsunami Selat Sunda beberapa tahun lalu telah diprediksi dan ditulis dalam jurnal sekitar tiga tahun sebelumnya. Tetapi seperti yang saya tulis kemarin tidak menulis definit seperti kasus gerhana. Gempa dan tsunami Selat Sunda disebut dalam rentang waktu dan wilayah. Jadi manusia bisa tahu meskipun tidak sepresisi gerhana.
Bumi Datar
Geosentris dan heliosentris belum menemukan titik temu? Maksudnya di kalangan sarjana agama? Di kalangan ilmuwan urusan heliosentris sudah selesai.
Sebagian mufasir menerima gagasan bumi datar. Padahal flat earth tidak dapat menjelaskan fenomena gerhana pemahaman yang harus terus diperbaiki.
Ada contoh lain yang lebih presisi tentang hubungan sains dan orang saleh. Di dalam Ilmu Falak banyak metode yang dikembangkan untuk menghitung tinggi bulan.
Metoda terkini yang dikembangkan Kemenag bekerja sama dengan Departemen Astronomi ITB adalah sistem atau Metoda Ephemeris. Metode ini telah ditrainingkan kepada ahli falak berbagai ormas Islam di Indonesia.
Metode inilah yang kemudian menjadi rujukan utama saat jelang Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah. Meskipun demikian, tetap saja ada sekelompok orang yang menggunakan metoda lama yang dikembangkan oleh orang saleh. Meski metode ini, saat menentukan gerhana matahari total tahun 1983 meleset sekitar enam jam. Sedangkan Metoda Ephemeris berbeda detik.
Teruslah belajar terlebih tentang sains dan relasinya dengan agama. (*)
Editor Sugeng Purwanto