PWMU.CO– Mardigu Wowiek Prasantyo yang populer di Youtube dengan nama Bossman Mardigu membuka rahasia dirinya dalam diskusi bisnis yang digelar Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (28/5/2021).
Diskusi bisnis secara virtual ini membahas tema Dinamika Ekonomi dan Keuangan Global, Dampak terhadap Ekonomi Bangsa dan Ummat: Apa Solusinya? Dibuka oleh Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas.
Dalam paparannya Mardigu Wowiek Prasantyo mengatakan, datanya tidak ada di publik karena memang selama 18 tahun berada di dunia bayangan. Baru 3-4 tahun ini boleh dikeluarkan.
”Saya 6 tahun kuliah di negeri Amerika. Saya tidak tahu siapa yang membayari sampai pulang. Tahun 1991 baru mengetahui bahwa kerja di bawah lembaga intelijen Pak Benny Moerdani. Sebuah pelajaran yang menarik saat itu hingga saat ini,” kata Mardigu.
Dia melanjutkan, dalam 25 tahun terakhir dia pebisnis. Latar belakangnya oil dan gas. Tidak banyak muncul di permukaaan. Baru lima tahun terakhir menggunakan sektor retail, dunia digital atau ekonomi digital.
”Saya penggemar buku geo ekonomi dan geo strategi. Saya dulu adalah staf khusus menteri pertahanan. Pensiun di 2019. Jadi data-data saya banyak dapat dari Departemen Pertahanan. Dari seluruh dunia karena mungkin satu-satunya sebagai intelligent economic. Sedikit orang yang memahami intelligent economic di negara ini,” ujarnya.
Dari situlah dia dapat banyak data dan buku-buku geo ekonomi dan geo strategi. Dia jelaskan, geo ekonomi adalah kekuatan geografi Indonesia untuk keuntungan ekonomi. Geo politik adalah kekuatan geografi kita untuk keunggulan politik kita di foreign policy untuk kebijakan luar negeri.
Major Strait
Dia mencontohkan, dua kerajaan yang membuat nusantara kuat adalah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Keduanya menguasai maritim, menguasai armada laut, mengontrol selat. ”Di dunia ada enam Major Strait (Selat Utama). Dua termasuk Terusan Panama dan Terusan Suez. Tapi yang alami ada Selat Lombok, Selat Makassar, Selat Sunda dan Selat Malaka,” tuturnya.
Mardigu bertanya, kenapa disebut Major Strait atau Selat Utama? Karena dilewati kapal internasional dan kapal dagang. Satu tahun kapal yang melewati Selat Malaka adalah 100 ribu mother vessel besar-besar. Isinya, di utara Indonesia itu adalah negara produsen seperti Cina, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan, Jepang.
Sebanyak 20 persen produksinya dikirim ke Amerika Utara. 80 persen produk negara-negara utara Indonesia itu dikirim ke Eropa Barat, Eropa Timur, ke Asia Barat, ke Afrika. Itu 80 persen lewat selat di Indonesia. Ada yang lewat Selat Lombok, ada yang lewat Selat Sunda, ada yang lewat Selat Malaka dulu berhenti di Singapura. Tidak ada satupun di sisi Indonesia. Dulu ada Pulau Weh. Ini yang prihatin karena sisi dalam Selat Malaka itu adalah selatan sisi Indonesia.
”Apa yang terjadi kalau Buya Anwar Abbas sebagai presiden Indonesia, misalnya, menutup seluruh selat di perairan di Indonesia. Kapal-kapal itu muter di Papua Nugini baru lewat selatan Indonesia lewat Laut Hindia. Itu tujuh hari mereka membuang 7 persen dari nilai biayanya. Tapi kalau lewat perairan kita itu kita bilang bayar aja 1 persen sebagai bayar asuransi karena maaf, kan kotorannya kita yang bersihin, kita gak dapat apa-apa selama ini,” papar Mardigu Wowiek.
Dia menerangkan, pernah dihitung kalau 1 persen dari nilai barang yang 2.000 triliun dolar maka nilainya kita dapat hampir 200 biliun dolar. Besarnya sama dengan pajak selama ini dipungut kepada rakyat.
Kenapa selama tujuh presiden RI tidak melakukan kebijakan itu, kata Mardigu Wowiek, banyak yang menghalangi. Ada UNCLOS, dicegat dengan peraturan maritim.
”Kita kalau mau menjadi negeri berdaulat ini adalah hak kita. Selat itu milik kita. Kita boleh pajakin, mungkin kalau pajak kesannya sangar. Zaman Hang Nadim, Hang Tuah di Kerajaan Melayu, Sriwijaya, Prameswara, Majapahit itu dipajaki. Check pointnya di Malaka dipajaki,” katanya.
Kalau zaman kita, sambung dia, bayar asuransi deh, bayar kebersihan, 1 persen nilai barang. Kita buatlah sebuah lembaga semacam SWF atau lembaganya Pak Luhut yang baru dibuat itu misalnya. Lembaga ini adalah lembaga asuransi dimana 70 persen milik Indonesia, yang 15 persen milik Tiongkok, yang 15 persen milik Amerika. Tetap dibagilah permen itu. Kan dalam foreign policy ada bagi-bagi permen.
Redraw Map
Mardigu Wowiek menjelaskan, dengan demikian kita berdaulat atas wilayah kita. Itu geo politik namanya. Dia mengkritik kebijakan foreign policy kita kok mengikuti negara lain. Harusnya kita yang memiki keputusan. Masalah itu dia ungkap di bukunya ke 15 berjudul Redraw Map.
Dia menerangkan, zaman Gajah Mada, daerah selatan Thailand, Malaysia, Filipina sampai Papua Nugini adalah wilayah nusantara, Gajah Mada belum ada redraw map. Zaman Indonesia juga tidak pernah ada.
Tapi Tiongkok dengan OBOR (One Belt One Road) itu membuat Draw Map semua negara butuh Tiongkok. One belt diikat dengan satu belt. One road, satu jalan ke Beijing. Itu dia punya mapnya.
”Amerika punya high road, Eropa punya, Indonesia ini map-nya gak pernah dibuat kita kena map-nya orang terus. Jadi negara maritim, roadnya ikut kebijakan Tiongkok. Lautnya laut kita lho, kenapa kebijakan dia yang diambil?,” tanyanya.
Untuk itu dia menyarankan, harus ada redraw map. Sampai saat ini sudah tujuh presiden kita tantang kebijakan internasionalnya. Kapan draw map untuk bisa membuat Indonesia berdaulat. ”Itu contoh kita harus mengkritik untuk mendukungnya saat ini kita bisa menggunakan sosial media untuk mengedukasi pelan-pelan,” ucapnya.
Dia sudah membuat video sosialisasi itu dengan durasi lima menit. Bekerja sama dengan tujuh profesor sudah merancang 1.500 video. Sudah jadi 500 video. Video ini berakhir kira-kira 2023. Berharap pada saat itu semua orang sudah paham geo politik dan geo ekonomi.
Negara Tanpa Arah
Dengan video itu setidaknya bisa membangkitkan lagi semangat patriotis kepada generasi muda sekarang. Menurut Mardigu Wowiek, patriotism bernegara tidak muncul memang dibuat dalam tanda petik. Puncaknya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tahun 2002.
”Saya di tahun 2002 itu memprotes keras. Kepala Badan Intelijen Pak Ian Santoso juga memprotes keras, jangan sampai ubah UUD 1945,” ujarnya.
Salah satu yang diprotes adalah hilangnya GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) sehingga kebijakannya saat ini per lima tahun tergantung pemerintahnya. Bukan kebijakan jangka panjang yang siapapun pemerintahnya mengikuti garis besar tadi. ”Itu rencana 100 tahun Indonesia menjadi negara super power. Ini kita lima tahun ngabisin anggaran saja, itu perubahan pertama,” paparnya.
Yang kedua, hilangnya Fraksi TNI Polri di DPR. Bayangin ada 2 juta saudara kita tidak punya suara di DPR. Padahal dia adalah garda terdepan pertahanan. Harusnya balik lagi dua-tiga persen atau setiap satu fraksi, ada satu TNI-Polri karena mereka punya Lemhanas, mereka mengerti apa itu bela negara.
Sementara anggota DPR dengan bayar lantas mereka jadi. Mereka tahu apa tentang bela negara. Kalau ada Fraksi TNI Polri hilang. Entah bagaimana sampai sekarang protes ini kok sedikit sekali yang menyadari. Bahwa itu dianggap penggembosan. (*)
Penulis Syahroni Nur Wachid Editor Sugeng Purwanto