Mobilisasi Dana Palestina Itu Biasa tapi Ngeri bagi Rezim oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Solidaritas Islam menguat: fobia Islam juga meningkat signifikan.
Bagi umat Islam Indonesia, pandemi Covid 19, Zionisme atas Palestina, genosida Rohingya bukan saja musibah tapi juga sekaligus media untuk kembali merekat solidaritas bahwa umat Islam adalah satu tubuh. Jadi bukan jumlah uangnya yang ditakutkan tapi mobilisasi umat itu yang membuat mereka ngeri.
Berbagai musibah itu seakan dikirim Tuhan agar menjadi jawaban bagi umat Islam yang terbelah karena perbedaan pilihan politik, ideologi, dan manhaj kembali menyatu karena senasib dan sepenanggungan.
Tapi bisa juga menjadi ancaman. Ada yang kemudian gerah melihat potensi umat Islam dalam menyikapi berbagai masalah. Aksi solidaritas ini bisa menjadi tamparan kuat bagi rezim karena mengikis kepercayaan dan mengalihkannya pada kekuatan alternatif, semisal Muhammadiyah dan harakah lainnya.
Bahkan ada yang secara personal mendapat limpahan kepercayaan teologis sebut saja Ustadz Adi Hidayat. Di tengah upaya keras mengembalikan kepercayaan publik, rezim kita tak cukup piawai bahkan banyak terkesan melawan suasana kebatinan rakyat. Ini soal besar yang harus segera diurai.
Banyak kebijakan pemerintah yang dirasa melawan suasana hati rakyat. Ini sesuatu yang menurut saya tidak patut. Mestinya ngemong bukan melawan kepatutan kolektif.
Kebutuhan rakyat atau keinginan penguasa? Demikian kira-kira yang patut dipertanyakan terhadap kebijakan rezim Jokowi saat ini. Sebagai seorang ratu yang mendapat ’wahyu keprabon’ sudah selayaknya memahami suasana hati atau suasana kebatinan rakyat kata Bung Karno, yang kemudian menjelma dalam sebuah perilaku dan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Bukan pada segelintir elite yang sarat kepentingan.
Gerakan Civil Society
Realitasnya Muhammadiyah tumbuh menjadi alternatif gerakan civil society yang prospektif. Menabalkan diri sebagai harakah profetik. Lintas batas agama suku ras bahkan negara.
Dengan tidak menyebut jumlah tapi kekuatan gotong royong dari berbagai lapis status sosial ekonomi dan pendidikan gerakan filantropi ini mendapatkan bentuknya yang otentik. Sebagai kekuatan rakyat sekaligus mobilisasi umat Islam secara holistik. Mungkin model ini yang diingini Kuntowidjojo, cendekiawan besar dua puluh tahun yang lalu.
Daya resonansinya kuat terasa, bukan persoalan jumlah yang didapat, tapi kekuatan spiritualnya yang menggetarkan, tergambar jelas di dalamnya. Berbanding terbalik dengan bantuan yang diberikan oleh negara atau kerajaan secara gelondong meski lebih banyak.
Prof Haedar Nashir, saya pikir cukup paham dengan suasana kebatinan umat Islam saat ini. Beliau berkata, mendukung Palestina bagi bangsa Indonesia sebenarnya normal. Bukan sesuatu yang luar biasa. Kaum muslimin yang mobilisasi dana juga proporsional. Tidak melupakan nasib bangsa di negeri sendiri.
Tapi ini mengerikan bagi rezim dan menakutkan bagi orang lain, saya bilang.
Editor Sugeng Purwanto