PWMU.CO – Sufisme Muhammadiyah dalam laku orang-orang bersahaja. Mereka hidup sederhana dalam keseharian dan menjadi teladan.
Demikian yang disampaikan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Prof Dr Biyanto MAg, dalam “Silaturahim Idul Fitri 1442 dan Diskusi Buku Muhammadiyah dan Orang-Orang Bersahaja”, Ahad (30/5/21).
Menurut Biyanto, inspirasi kesahajaan dalam kehidupan keseharian seringkali dicontohkan para Pimpinan Muhammadiyah Jawa Timur. “Ada Ustadz Abdurrahim Nur, Prof Fasich, lalu Prof Thohir Luth, dan sekarang Pak Saad Ibrahim. Sebelumnya ada Pak Syafiq Mughni,” ujarnya.
Hal tersebut, menurutnya, sama dengan buku yang ditulis Hajriyanto Yasin Thohari dalam Muhammadiyah dan Orang-orang Bersahaja (MOB). Buku tersebut menceritakan bagaimana kehidupan tokoh-tokoh Muhammadiyah, organisasi yang sangat luar biasa tetapi hidupnya sangat sederhana dan sangat bersahaja.
“Ada tokoh seperti Pak AR Fachruddin, Pak Malik Fadjar, dan Buya Syafi’i Ma’arif. Saya kira cerita-cerita ringan dengan nilai-nilai yang sederhana tapi hidup di tengah-tengah masyarakat kita, keluarga besar Muhammadiyah-Aisyiyah itu sungguh luar biasa,” paparnya.
Agar Beragama Tidak Kering
Biyanto mengatakan, tulisan Duta Besar RI untuk Lebanon dalam banyak artikel yang dimuat dalam buku tersebut basis umumnya adalah ajaran tentang sufi. “Jadi bagaimana sufi di Muhammadiyah itu diajarkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga kemudian menjadi teladan bagi warga persyarikatan,” ungkapnya.
Dalam dokumen resmi Muhammadiyah, sambungnya, meskipun sufisme itu tidak populer, tetapi Muhammadiyah memutuskan bahwa perilaku sufistik itu sangat penting.
“Bahkan dalam tingkat tertentu, misalnya berkendara dengan mendengarkan lagu-lagu yang memuat spiritualitas. Kita suka dengan lagu shalawat dan lain-lain, itu semua merupakan bagian pada hemat saya, di Muhammadiyah itu kita butuh sesuatu yang bersifat spiritualitas itu. Supaya tidak kering dalam beragama. Maka sufisme sangat penting,” terang dia.
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu kemudian mencontohkan salah satu tokoh Muhammadiyah Jatim yakni Ustadz Abdurrahim Nur. Menurut Ustadz Rahim—panggilan Abdurrahim Nur, bahwa laku sufisme dalam Muhammadiyah itu harusnya dijalankan oleh seorang sufi dengan tetap berpijak pada ajaran tauhid rububiyah dan uluhiyah.
“Saya ketika itu ikut menulis buku Pergumulan Tokoh Muhammadiyah menuju Sufi, yang saat di-launching Ustadz Rahim masih hidup. Menurut saya ini penting, sufisme berbasis pada tauhid, bersendikan pada syara’, al-Quran dan as-Sunnah,” jelasnya.
Sufisme di Muhammadiyah, Ada tapi Nirtarekat
Buku sufisme di Muhammadiyah lainnya yang menarik adalah tulisan Dr Khozin MSi, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), yang menulis buku Sufi tanpa Tarekat. “Jadi sufisme di Muhammadiyah itu polanya adalah sufisme nirtarekat, tanpa tarekat,” paparnya.
Biyanto menambahkan, dalam dialog yang dikutip dari Muhammadiyah Studies tentang catatan elemen-elemen sufi dalam Muhammadiyah, Mitsuo Nakamura pernah berdialog dengan Pak AR Fachruddin, tentang kemungkinan Muhammadiyah masuk menjadi gerakan sufi atau tarekat.
“Pak AR lalu mengatakan mustahil dengan jawaban yang tegas. Lalu Pak AR menyampaikan bagaimana pimpinan dan warga persyarikatan itu menonjolkan akhlak mulia. Kita semua sepakat bahwa sufisme itu substansinya ya akhlak mulia. Soal-soal yang lain itu hanya menjadi pinggiran saja,” imbuh Biyanto.
Buku Dr Khozin ini menjadi menarik, karena menunjukkan pada kita semua bahwa di Muhammadiyah itu sufisme ada. “Hanya nirtarekat,” tambahnya.
Biyanto lalu menjelaskan, beberapa kesimpulan dari tulisan di jurnalnya yang berjudul Typology Sufisme Muhammadiyah. “Jadi sufisme Muhammadiyah itu bersandar pada tauhid, dipraktikkan dalam bingkai syariah. Tentu saja dasar teologisnya adalah al-Quran dan as-Sunnah,” terang dia.
Etos Chauvinisme dan Sufisme di Muhammadiyah
Saat diundang PWM Jatim bicara topik menjaga nilai-nilai keunggulan yang dimiliki Muhammadiyah, Hajriyanto Y Thohari, kata Biyanto, mengaitkan akhlak mulia dengan etos Chauvinisme. “Sufisme Muhammadiyah itu banyak dikaitkan dengan etos Chauvinisme, Mas Hajri dulu mengutip dari bukunya Webber dan Cliffort Gertz,” jelasnya.
Etos Chauvinisme itu, lanjutnya, menghasilkan sikap-sikap yang berkesesuaian dengan yang dimiliki oleh pimpinan dan warga Muhammadiyah, yakni sederhana dan bersahaja serta suka menabung untuk dunia dan akhirat.
“Etos lainnya adalah kerja sebagai panggilan, termasuk mendatangi rapat-rapat organisasi rutin tanpa transpor itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Tradisi yang kaya adalah organisasinya bukan individunya,” kata dia.
Organisasinya Kaya, Orangnya Sederhana
Ini menjadi sesuatu yang luar biasa, beda dengan organisasi lain, yang mungkin organisasinya kaya, individunya juga kaya. “Tapi di Muhammadiyah sangat sederhana, yang kaya itu organisasinya, yang besar itu amal usahanya, sementara orangnya sangat sederhana,” papar Biyanto.
Jadi, lanjutnya, semacam ada kesadaran etika berorganisasi, yakni bagaimana memajukan organisasi. “Seperti Pak Haedar bilang dalam buku MOB ini, bahwa ada kesadaran yang luar biasa dari warga dan pimpinan Muhammadiyah untuk memajukan organisasi,” tambahnya.
Selain itu, kata Biyanto, juga memiliki etos amal shalih. Prinsip tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Pemurah, dermawan, cinta sesama, dan voluntary, serta gerakan etik lainnya yang menekankan ajaran agama tentang pentingnya memberi.
“Jadi menurut saya ini yang fundamental. Maka yang dilakukan oleh warga dan pimpinan Muhammadiyah seperti yang ada dalam buku MOB ini adalah, bagian dari cara warga dan pimpinan Muhammadiyah menerjemahkan ajaran islam dan ada keteladanan dari pendiri dan ideolog Muhammadiyah,” ungkap Biyanto.
Orang-orang Bersahaja dalam Muhammadiyah
Kesederhanaan, kesahajaan, dan sikap-sikap baik yang dimiliki elite dan warga Muhammadiyah itu adalah sangat otentik dan bersumber pada norma asas teologi. Di samping itu ada keteladanan dalam kehidupan sehari-hari yang ditampilkan secara otentik.
“Karakter yang penting menurut Pak Haedar adalah merawat kata, yakni kesatuan antara kata dan perbuatan. Kesahajaan itu berarti keteladanan yang diwujudkan oleh siapapun dalam setiap aspek kehidupan,” ujar dia.
Jadi tidak heran di Muhammadiyah itu muncul orang-orang yang bersahaja, yang mencoba menerjemahkan ajaran sufisme dalam perspektif Muhammadiyah. “Hal-hal yang ditulis Hajriyanto Thohari itu sesuatu yang luar biasa, apalagi ditulis oleh insider, antropolog sehingga tulisannya sangat hidup dan enak dibaca,” pungkasnya.
Silaturahim Idul Fitri 1442 H dan Diskusi Buku “Muhammadiyah dan Orang-Orang Bersahaja” digelar Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Bintaro, Jakarta Selatan secara virtual via Zoom dan Live Streaming YouTube.
Selain menghadirkan narasumber dan penulis buku Hajriyanto Y Thohari, turut mengundang para pembedah buku, yakni Prof Dr Biyanto, Wakil Dekan I FAI Uhamka Jakarta Al Fatimah Nur Fuad PhD, dan Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah (NA) Diyah Puspitarini SPd MPd. (*)
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.