Perang Media Palestina-Israel dianalisis oleh Dr Robby Habiba Abror MHum dalam sebuah diskusi yang menarik.
PWMU.CO – Tidak ada lagi bahasa ke manusia. Yang tersisa hanya bahasa kekerasan. Tidak ada lagi air mata, belas kasih, dan kepedulian. Yang tersisa hanya mata air keangkuhan dan kepentingan.
Pernyataan puitis itu disampaikan Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PWM DIY 2015-2020 dan pengamat media Dr Robby Habiba Abror MHum pada Diskusi Masa Depan Palestina dengan topik “Analisis Pemberitaan Konflik Israel Palestina“, Sabtu (29/5/2021).
Menurutnya, saat ini kita sedang mengalami kekacauan bahasa atau semantik, karena kesadaran dan kecerdasan kadang melebur dalam adukan emosional.
“Jika kita harus mengatakan kebenaran, seperti tersedak oleh ketakutan dan ancaman atas konsistensi kita sendiri,” ujarnya.
Kadang, sambungnya, memilih bahasa yang disamarkan, diperhalus, atau jika tidak tahan lagi disentakkan dengan sadar.
Label Media
Kaprodi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga itu mengatakan, ketika harus menyebut dua istilah yang sama-sama berisiko penyebutannya, langsung menempatkan media itu berpihak kepada siapa.
Misal, saat harus menyebut entitas Zionis Israel. Kata-kata ‘Zionis’ sudah pasti melabeli media tersebut sebagai anti-Israel. Sebaliknya, jika ada media yang menyebut ‘gerilyawan teroris Hamas’, pasti media itu sudah menempatkan Hamas pada posisi berseberangan.
Itulah mengapa, menurutnya, kedua istilah ini berisiko dan sering dihindari dalam diskusi-diskusi terbuka.
Bahasa Terkait Konteks
Robby bercerita, ketika dia SD, dengan polos menulis di dinding kamarnya, “Tinta para ulama lebih mulai dari pada darah para syuhada”. Waktu itu dia selalu menulis apa saja ceramah orang yang dia kagumi, karena masih kecil. Tapi sekarang dia memahami, ternyata darah para syuhada tidak kalah mulia daripada tinta para ulama.
Dari fenomena ini, dia belajar, setiap bahasa mengandung konteks. “Makna bahasa itu lahir dari ikatan peristiwa dan akan selalu diproduksi terus-menerus,” ujarnya.
Sebenarnya, lanjutnya, kita sudah paham bahwa konflik harus diakhiri. Peperangan itu harus segera diselesaikan karena sudah jatuh banyak korban. Tapi jika bahasa perdamaian sudah menjadi langka, bahasa kekerasan yang muncul diwajarkan, dianggap biasa.
“Padahal, jelas-jelas merobek rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan,” komentarnya.
Hancurkan Hamas lewat Media
Robby mengatakan, perang asimetris 11 hari Israel-Palestina ini telah membuka mata dunia. Kemudian dari pernyataan Duta Besar RI untuk Lebanon “Jangankan mesin perang, mesin jahit di rumah saja kelihatan oleh Israel (dari pantauan CCTV)” muncul pertanyaan menarik.
Menurutnya, menimbulkan tanda tanya, “Jika begitu, kenapa yang diserang harus gedung-gedung bertingkat tempat siaran media-media internasional?”
Dia mengungkap, bagaimana Menteri Pertahanan Israel dengan enteng menjawab, “Itu tempat persembunyian Hamas.” Sehingga Israel menghantamnya dengan rudal pesawat tempur.
Robby pun menyimpulkan, yang satu (Israel) menguasai kepemilikan senjata berat, jaringan internasional, dan aset serba melimpah. Sedangkan yang satu (Palestina), serba lemah, kalah, dan menderita.
“Israel tidak hanya menggunakan senjata berat untuk menghancurkan Hamas, tapi juga melalui media. Misal Twitter untuk strategi menipu Hamas,” kata dia.
Dia mencontohkan, melalui Twitter Israel mengatakan pasukan daratnya bergerak menyerbu Gaza. Jadi seolah-olah invasi atau serangan darat Israel sedang berlangsung.
Kemudian, para pejuang Hamas menjawab tantangan itu, “Silakan masuk diperbatasan kami, kami akan hancurkan pasukan anda.”
Ternyata, lanjutnya, ketika Brigade al-Qasam dan Jihad Islam masuk ke terowongan-terowongan Gaza, Israel langsung membombardirnya dengan bom. Bomnya dengan pesawat tempur, khusus penghancur bunker dan gedung.
“Delapan puluh pejuang Hamas tewas. Setelah itu, tweet Israel tersebut dihapus,” ucapnya.
Media pun menyebut misi itu sebagai penipuan besar-besaran. Israel memancing, mengumpulkan pejuang Hamas dalam jumlah besar, sehingga dapat membunuh dalam satu serangan yang mematikan.
Terang-terangan Saling Serang di Media
Dia mengungkap, menjelang lebaran, pandangan matanya tidak lepas dari berita-berita Palestina. Baik dari media Palestina maupun media Lebanon.
Saat itu, media banyak memberikan informasi cepat. Informasi berubah menit per menit bahkan dalam hitungan detik. Misal pada media Suroya al-Quds, ada pernyataan “Kalau kau serang, kau pukul, maka aku pukul.”
Media lain, Qatar al-Qasa beberapa menit kemudian menyerang dengan berita bom kota Metivot, dengan ledakan roket sebagai tanggapan atas pemboman waktu itu.
Robby mengatakan, penindasan, perampasan, serta aneksasi Israel atas Palestina saat presiden Amerika Donald Trump masih menjabat, jelas-jelas dilakukan di siang hari. Maksudnya, disiarkan di seluruh media secara terang-terangan.
“Tidak ada perlawanan-perlawanan wacana yang sanggup meloloskan semua pemberitaan agar Israel dapat melepaskan kembali kota itu pada Palestina,” terangnya mengungkap salah satu ketidakadilan yang terjadi di Palestina.
Menariknya, setelah gencatan senjata itu, solidaritas atas Palestina banyak digalang. Wajah kekerasan itu dipertontonkan dengan jelas dan disiarkan setiap hari dengan ragam yang berbeda-beda.
Dia juga mengungkap, Facebook saat itu membatasi tagar. Tagar seperti #gazaundertake dalam bahasa Arab maupun Inggris diblokir. Kemudian pada Selasa (25/5/21), Facebook meminta maaf karena telah melabeli tagar itu dan kata-kata seperti ‘syahid’ dan ‘jihad’. Ini dianggap sebagai hasutan untuk memberantas. Facebook pun berjanji akan memperbaiki algoritmanya.
Tanggapan Netanyahu Israel Lakukan Apartheid
Bersama menteri luar negeri Amerika Serikat Antony Blinken, perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu berterima kasih kepada Amerika Serikat. Dia menyampaikannya lima hari yang lalu, saat menggelar konferensi pers di Yerusalem Barat.
Sebab, Amerika dengan tegas mendukung hak Israel untuk membela dan mempertahankan diri. Netanyahu mengingatkan, kalau Hamas berani merusak ketenangan dan menyerang Israel lagi, dia mengancam dengan tanggapan yang sangat kuat.
Robby lanjut bercerita, dua hari yang lalu, Netanyahu sangat marah ketika menteri luar negeri Perancis Jean-Yves Le Drian mengatakan Israel telah melakukan Apharteid di Palestina. Netanyahu spontan bilang, “Ini menlu kurang ajar, itu kalimat palsu dan tidak memiliki dasar.”
Melihat fenomena ini, Robby berkomentar, “Sebenarnya kita semua sudah tau apartheid termasuk pelanggaran HAM berat, kejahatan internasional, tapi mengapa dibiarkan?”
Masing-masing kita ini, imbuhnya, sesungguhnya dalam hati sudah punya jawabannya tanpa harus memaparkan riset ilmiah.
Kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina seperti menembak warga, menindih leher pakai lutut, menurutnya mirip kasus George Floyd di Amerika. Kasus ini menggerakkan kerusuhan di banyak kota besar di Amerika.
Maka, menurutnya, sesungguhnya harus ada kesatuan kemanusiaan untuk memenangkan kebenaran atas ketidakadilan yang dialami saudara di Palestina.
“Siapa pun yang dalam dirinya masih tersisa rasa kemanusiaan dan keadilan, harus bersuara lantang untuk melawan setiap bentuk penjajahan,” pesannya. (*)
Perang Media Palestina-Israel, Begini Analisisnya: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni