Haji gagal dan Militansi Islam oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO– Dengan alasan melindungi jamaah haji Indonesia dari terpapar Covid-19, Menteri Agama RI membatalkan keberangkatan jamaah haji Indonesia ke Tanah Suci pada musim Haji 1442 H ini.
Hampir pasti keputusan haji gagal ini menuai kekesalan, kepedihan dan kekecewaan umat Islam Indonesia. Calhaj, apalagi yang sudah berumur, yang sudah lama menunggu gilirannya bertahun-tahun harus menelan pil pahit karena batal berangkat.
Apalagi tidak ada jaminan tahun haji berikutnya mereka masih hidup. Untuk daerah-daerah tertentu seperti Madura, Sulsel, Sumbar, dan NTB, pembatalan ini bisa berarti aib keluarga.
Umat Islam Indonesia sebenarnya masyarakat yang sekuler. Mereka ini rajin menjalankan ritual Islam secara istiqomah, berpuasa Ramadhan, rajin ke masjid, namun masih menjadi nasabah bank konvensional, serta menjauhi politik praktis.
Mereka ini secara umum apolitis. Haji adalah bukti terakhir bahwa mereka sudah sempurna menjalani hidup sebagai muslim di Republik ini. Sungguh, pembatalan haji ini adalah pukulan keras bagi kekhusyukan mereka.
Bahkan oleh penjajah, ibadah haji yang semula menjadi semacam diklat advanced bagi sedikit tokoh aktivis dan ulama nusantara, telah berhasil ditransformasi menjadi lebih moderat. Bahkan hari ini, haji telah menjadi sebuah bisnis pariwisata dengan kapitalisasi yang tidak kecil.
Selama setahun pandemi ini, bisnis haji dan umrah sangat terpukul. Rentetan bisnis yang terpuruk di belakangnya cukup panjang. Biro haji dan umrah tutup. Garuda Indonesia yang selama ini menikmati revenue besar dalam melayani haji dan umrah bahkan terancam bangkrut.
Pergerakan Nasional
Pergi haji di zaman penjajahan memerlukan waktu yang lama perjalanannya. Setelah selesai dengan semua rukun berhaji, mereka tinggal di Mekkah dalam waktu yang cukup lama untuk mempelajari Islam pada tokoh-tokoh Islam dunia.
Syekh Nawawi al Bantani, Syekh Khatib Al Minangkabawy, Syekh Ahmad Al Banjariy, kemudian belakangan Syekh Hasyim Asy’ari dan Syekh Muhammad Darwis (KH Ahmad Dahlan) adalah beberapa tokoh nasional yang memperoleh pencerahan melalui interaksi dengan para ulama mashur sewaktu pergi haji.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto adalah tokoh pergerakan kebangsaan yang telah menginspirasi banyak tokoh pendiri bangsa seperti Bung Karno, Agus Salim, Kartosuwiryo dan Semaun. Jika Soekarno tidak pernah berjumpa dengan HOS Tjokroaminoto di Surabaya, mungkin dia tidak pernah menjadi proklamator.
Dalam perspektif ini, tokoh-tokoh pergerakan dan pejuang kemerdekaan memperoleh inspirasinya dari mereka yang pulang dari berhaji. Forum haji pula yang mengenalkan mereka dengan etos kemanusiaan (internasionalisme), kemerdekaan dan semangat anti-penjajahan.
Memang pesan haji yang penting adalah manusia diciptakan sama di hadapan Allah swt Tuhan Semesta Alam. Yang membedakan manusia bukan warna kulit, jabatan dan harta, tapi ketakwaannya. Elan haji ini pula yang memungkinkan berbagai suku di nusantara bisa menerima gagasan tentang sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia; melampaui sukuisme mereka masing-masing. Artinya, menjadi muslim (yang disempurnakan melalui haji) adalah aset bagi bangsa Indonesia.
Kita menyesalkan narasi islamofobia yang menyudutkan Islam sebagai musuh Pancasila, dan muslim anti-NKRI. Semoga pembatalan pemberangkatan haji ini bukan bagian dari narasi panjang permusuhan terhadap Islam, apalagi muslim Indonesia.
Jika pemerintah bisa dipercaya dan berterus terang sejak awal, pembatalan ini tidak harus menyeluruh : yang sehat dan sudah berumur lebih dari 70 tahun masih bisa berangkat. Semoga keputusan yang sudah dibuat merupakan mismanajemen saja, bukan maladministrasi publik dengan menjadikan pandemi Covid-19 ini sebagai weapon of mass deception.
Rosyid College of Arts Gunung Anyar 5/6/2021
Editor Sugeng Purwanto