Kekuatan Muhammadiyah Menjadi Kohesi Umat oleh Dr Slamet Muliono Redjosari, dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel.
PWMU.CO– Peta politik Indonesia saat ini mulai membincangkan calon presiden 2024. Beberapa nama dijagokan menduduki posisi ini. Dari kalangan muslim dan nasionalis.
Umat Islam sangat berkepentingan terjadi perubahan peta politik pada Pilpres 2024. Sebab belakangan ini terus menerus mengalami stigma buruk bahkan marginalisasi di sektor ekonomi, sosial, dan politik.
Mimpi besar umat mengharapkan elite partai politik Islam bersatu dan mempersatukan kekuatan politik umat yang selama ini terkotak-kotak dan tercerai-berai. Bisa memunculkan satu nama pemimpin yang bisa memperjuangkan aspirasi rakyat.
Harapan itu mungkin saja utopia. Karena realitas politik menunjukkan bahwa kepentingan elite politik hanya pribadi dan kelompoknya. Umat Islam menjadi objek dan bulan-bulanan oleh kelompok nasionalis sekuler.
Banyak kasus yang menunjukkan adanya marginalisasi umat Islam. Misalnya, tuduhan terorisme dan radikalisme. Yang terbaru, Pancasila ditafsirkan seolah-olah umat Islam tidak berkontribusi pada perumusan dasar negara ini.
Ormas Islam pun terjadi pembelahan. Ada ormas yang ikut larut dan banyak memperoleh keuntungan ketika merapat kepada rezim ini. Namun ada pula ormas yang menjaga jarak dengan pemerintah. Efeknya memperoleh tekanan dari rezim.
Sudah jadi watak politik, ormas yang merapat ke pemerintah justru ikut larut memusuhi dan menstigma umat Islam. Mengawal pemerintah bebas kolusi dan korupsipun tidak bisa. Apalagi ikut menjaga wibawa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang dikebiri dengan menyingkirkan pegawai berkomitmen lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Padahal umat Islam sangat berharap ormas Islam yang masuk dalam lingkaran kekuasaan bisa memainkan peran positif, namun realitas politik berkata lain. Malah menempatkan dirinya jadi subordinasi rezim.
Kohesi Sosial Politik
Muhammadiyah yang dikenal sebagai ormas Islam yang mandiri dan banyak kontribusinya bagi negara khususnya dalam bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan, lebih banyak memilih di luar kekuasaan.
Posisi ini secara politik dan ekonomi jelas kurang menguntungkan. Namun dalam konteks sebagai penyeimbang kekuasaan, posisi Muhammadiyah sangat strategis karena bisa menjadi fungsi kontrol. Independensinya yang sudah teruji berpotensi besar sebagai kohesi sosial bagi umat Islam yang menginginkan perubahan yang lebih baik.
Kekuatan Muhammadiyah sebagai ormas mandiri bisa menjadi pusat perubahan politik kebangsaan. Itu sudah dibuktikan dengan kekuatan Amien Rais yang saat itu menjabat ketua Muhammadiyah bisa memimpin Reformasi 1998.
Karakter gerakan dakwah Muhammadiyah yang tidak memburu kekuasaan politik dan tidak menyembah kekuasaan apalagi berorientasi materi sudah terbukti. Dengan konsentrasi pada bidang agama, pendidikan, sosial, kesehatan, dan filantropi, Muhammadiyah diharapkan bisa menjadi kekuatan besar dalam mengawal kegelisahan politik umat Islam belakangan ini.
Kekuasaan politik memang bukan tujuan Muhammadyah tetapi langkah Muhammadiyah selama ini setidaknya bisa memberi jalan bagi mereka yang menginginkan perubahan politik. Islam berkemajuan yang menjadi trade mark Muhammadiyah berpotensi besar memberi ruang bagi bersatunya kegelisahan umat Islam yang saat ini mengalami ketertindasan dan marginalisasi.
Orang luar melihat bahwa Muhammadiyah merupakan ormas yang berani dan mampu bersikap tegak tanpa tergoda kekuasaan. Muhammadiyah harus menjadi kohesi sosial bagi mereka yang ingin berjalan lurus dalam mengawal tegaknya keadilan.
Memang susah mencapai persatuan umat. Hanya ilusi. Namun apa yang diperankan Muhammadiyah dalam berbangsa setidaknya memberi jalan alternatif untuk memperkuat dan membesarkan jamaah Islam berkemajuan mencapai kohesi komunitas Islam.
Oleh karena itu, kita perlu membesarkan jamaah dan komunitas Islam ini dalam satu jalan sehingga memberi spirit tegaknya kebenaran di negeri ini.
Saat ini umat Islam membutuhkan kohesi sosial sebagai syarat persatuan umat. Kekuatan Muhammadiyah yang mandiri dan tegak dengan gagasan-gagasan yang berkemajuan bisa menjadi perekat sosial di tengah kekuasaan yang hegemonik. (*)
Editor Sugeng Purwanto