Pajak Sembako Gejala Negara Bangkrut oleh M Rizal Fadillah, pemerhati politik dan kebangsaan.
PWMU.CO– Tujuan bernegara pasca kita menyatakan kemerdekaan antara lain memajukan kesejahteraan umum. Siapapun yang diberi amanat untuk berada dalam pemerintahan berkewajiban mengupayakan kesejahteraan untuk rakyatnya, bukan memberatkan dan menyengsarakan.
Kita merdeka karena tidak enak dan pahit dijajah itu. Kehidupan sulit dan segala tertekan serta dipaksa-paksa oleh pemerintah penjajah. Upeti ditarik dari berbagai sektor, urusan kebutuhan pokok dipajaki.
Penjajah hidup senang sementara rakyat jajahan menderita. Segala diawasi dari ngomong hingga batuk-batuk. Sedikit membicarakan keburukan Tuan Meneer dicap ekstremis bahkan pemberontak.
Negara kita adalah negara merdeka, tetapi tontonan perilaku penguasa belum menampilkan sosok pemerintahan negara merdeka. Kedaulatan rakyat sebagai ciri khas kemerdekaan terambil habis oleh perilaku memperkaya diri dan kroni serta membungkam aspirasi dan menginjak-injak hak asasi.
Upeti dengan bahasa santun pajak tengah digalakkan. Terma agak akademis PPN (Pajak Pertambahan Nilai) merambah kemana-mana. Rakyat bukan penikmat tetapi menjadi objek.
Di tengah pemborosan dan kegilaan korupsi justru rakyat semakin diperas. PPN akan dikenakan antara lain pada sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa surat berperangko. Beban berat kembali berada di pundak rakyat kebanyakan.
Dua kemungkinan atas kondisi ini yaitu para penyelenggara negara yang telah dihinggapi penyakit mental penjajah, mumpung berkuasa dan menikmati kekuasaan, atau memang negara ini sedang bangkrut. Sudah tak mampu membiayai rakyatnya lagi. Pajak rakyat adalah pilihan terpaksa. Duit negara cekak disebabkan pemerintah tidak amanah dan salah urus.
Draft RUU perubahan kelima UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menambah masalah bagi negeri. Sudah Omnibus Law kontroversial, UU KPK diobrak-abrik, lalu draft KUHP bid’ah akan menghukum penghina presiden, kini RUU revisi KUP pun rentan kritik.
Pemerintah di samping telah menaikkan tarif juga memperluas objek. Ada pajak sembako padahal ini barang hajat hidup orang banyak. Konsekuensinya harga sembako pasti naik.
Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan apakah pemerintah memang bermental penjajah (koloniale mentaliteit)? Jika ya rakyat harus mengubah segera dengan pemerintahan yang bermental merdeka (vrije mentaliteit) dan berorientasi kerakyatan (populitisch).
Atau apakah memang negara tengah mengalami kebangkrutan (pailliet) karena salah urus? Jika ya rakyat pun harus mengubah segera dengan pemerintahan yang lebih mampu (beter in staat) dan amanah (eerlijk).
Perubahan adalah suatu keniscayaan atas situasi dimana rakyat sudah tidak percaya lagi pada pemerintah yang memang sulit untuk dipercaya. (*)
Editor Sugeng Purwanto